Keterampilan tinggi, perlindungan rendah: tantangan legal pekerja asing di Indonesia
- Written by Wayne Palmer, Senior Research Fellow, Bielefeld University

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya.
Pesatnya hilirisasi di Indonesia mendatangkan banyak tenaga asing terampil. Namun, perlindungan hukum mereka nyatanya minim. Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris[2] dan terjemahannya menjadi bagian dari serial #PantauPrabowo atas persetujuan penulis, untuk menjadi catatan bagi Prabowo-Gibran yang telah berkomitmen melanjutkan program hilirisasi
Negara berkembang seperti Indonesia mengandalkan tenaga kerja asing berketerampilan tinggi dan bergaji besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi[3]. Sayangnya, perlindungan terhadap hak-hak hukum mereka sering diabaikan[4], yang tidak hanya memengaruhi produktivitas dan kesejahteraan mereka, tetapi juga citra Indonesia sebagai negara tujuan tenaga kerja asing.
Penelitian saya mengeksplorasi[5] kelemahan dalam institusi pasar tenaga kerja Indonesia, seperti sistem penyelesaian sengketa perburuhan di tingkat nasional[6], yang menunjukkan bahwa mekanisme saat ini belum memadai untuk melindungi hak-hak pekerja asing berketerampilan tinggi.
Temuan penelitian
Penelitian saya menemukan bahwa sistem penyelesaian sengketa di tingkat nasional memiliki banyak kekurangan, seperti proses yang lambat dan kecenderungan berpihak pada pemberi kerja. Hal ini membatasi kemampuan sistem untuk melindungi semua pekerja secara efektif. Bagi pekerja asing, sengketa semakin rumit karena undang-undang keimigrasian memperbolehkan pemberi kerja untuk membatalkan[7] izin tinggal pekerja. Akibatnya, pemerintah sering kali meminta pekerja asing untuk meninggalkan Indonesia, meskipun mereka mengalami pemecatan yang tidak adil.
Mayoritas pekerja asing yang terlibat adalah dari Asia Timur Laut (Cina, Jepang, dan Korea[8]), yang umumnya terlibat dalam proyek investasi besar. Dengan program hilirisasi[9] yang sedang berlangsung, jumlah pekerja asing di Indonesia akan terus bertambah.
Pada 2023, pemerintah Indonesia mengeluarkan 168.048[10] izin kerja bagi tenaga kerja asing. Destinasi utamanya adalah Sulawesi Tengah (18.678[11]), Jakarta (13.862[12]), dan Jawa Barat (10.807[13]). Hingga Juli 2024, pemerintah telah mengeluarkan izin kerja 14% lebih banyak dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penelitian saya mencatat 92 sengketa perburuhan yang melibatkan pekerja asing sejak 2006 hingga 2022 yang diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial. Satu sengketa tambahan diajukan pada 2023, tetapi Pengadilan Hubungan Industrial belum menerbitkan[14] putusannya meskipun ada kewajiban hukum untuk melakukannya.
Penelitian saya juga didukung oleh 98 wawancara kualitatif dengan pemangku kepentingan, seperti pembuat kebijakan, aktivis hak-hak pekerja, profesional hukum, dan pekerja asing lainnya, termasuk pasangan dari tenaga kerja asing, pekerja jarak jauh, dan pekerja digital nomaden.
Di banyak negara, jumlah sengketa perburuhan yang terdaftar hanyalah puncak gunung es, karena pekerja sering kali lebih memilih menyudahi sengketa daripada menginvestasikan waktu, tenaga, dan biaya untuk melawan perusahaan yang lebih kuat.

CC BY[15]
Pekerja asing yang mengajukan sengketa semuanya bekerja di perusahaan Indonesia, bukan di perusahaan multinasional, dan berasal dari lebih dari 20 negara. Sengketa ini tersebar di 13 yurisdiksi lokal, dan mayoritas diinisiasi oleh pekerja, bukan pemberi kerja.