Bagaimana mengubah ‘eco-anxiety’ kita menjadi aksi untuk Bumi?
- Written by Rian Mantasa Salve Prastica, PhD candidate studying urban water engineering, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland

● Krisis iklim bisa memicu kecemasan berlebihan (‘eco-anxiety’) yang berdampak buruk bagi kesehatan.
● Mengurangi paparan berita negatif, bergabung dengan komunitas lingkungan, dan ikut aksi bisa membantu mengubah kecemasan menjadi tindakan positif
● Kampus dan media sosial bisa berperan menumbuhkan minat anak muda untuk terlibat aksi lingkungan.
Perubahan iklim hingga bencana alam yang terjadi di mana-mana barangkali sering membuatmu merasa cemas, takut, atau khawatir.
Perasaan yang muncul itu sebenarnya wajar dan menandakan bahwa kamu memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Namun, jika sudah di level berlebihan atau bahkan sampai membuat stres dan pesimis akan masa depanmu dan juga Bumi, tandanya kamu sudah mulai mengalami eco-anxiety[1].
Rasa cemas karena situasi lingkungan yang berlangsung terus-menerus bisa berdampak buruk bagi kesehatan[2]. Menurut berbagai studi, gejala eco-anxiety bermacam-macam, mulai dari rasa tidak berdaya, frustasi, hingga perasaan putus asa.
Keresahan juga bisa memicu serangan panik atau panic attack bahkan gangguan konsentrasi dan gangguan tidur[3]. Sebuah studi menyebut, Gen Z[4] adalah kelompok yang paling banyak mengalami eco-anxiety. Studi lainnya[5] menyebut peningkatan kecemasan anak muda terkait krisis iklim ini bisa sampai memengaruhi kesehatan mental mereka.
Read more: Eco-anxiety : kegelisahan anak muda terhadap perubahan iklim[6]
Lalu, bagaimana caranya agar eco-anxiety kamu tidak berlarut-larut?
Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk mengalihkan energimu, di antaranya lewat pengembangan dan kontrol diri, keterlibatan sosial, dan aksi lingkungan. Berikut langkah-langkah yang bisa kamu ambil:
1. Batasi paparan informasi negatif
Salah satu penyebab eco-anxiety adalah terlalu banyak mengonsumsi berita yang berisi kabar buruk dan membuat pesimistis.
Untuk itu, kamu harus mengimbangi konten-konten yang kamu ikuti di media sosial. Selain mengikuti akun-akun yang sering membahas permasalahan lingkungan, kamu juga bisa mengikuti akun-akun yang berisi konten positif[7] atau aksi-aksi lingkungan.
Rasa cemas muncul karena kita merasa tidak bisa mengendalikan situasi buruk. Dengan mengikuti akun-akun yang menawarkan solusi lingkungan, rasa optimisme akan muncul karena kita melihat bukti bahwa keadaan bisa diubah dengan aksi nyata.
Read more: Efek Pandawara Group: bagaimana konten positif bisa mengobati 'eco-anxiety' kita[8]
2. Bergabung dengan komunitas
Cari komunitas atau organisasi yang fokus pada pelestarian lingkungan. Bergabung dengan komunitas yang memiliki tujuan dan concern yang sama bisa memberikan dukungan emosional dan memperkuat rasa keterhubungan.
3. Terlibat dalam aksi lingkungan
Langkah selanjutnya yang bisa kamu lakukan adalah berpartisipasi dalam aksi lingkungan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Sebuah studi membuktikan partisipasi bisa membangun keyakinan diri dan kelompok[9] dalam mengatasi krisis lingkungan (self and community efficacy).
Di level sederhana, mungkin kamu bisa ikut clicktivism[10] dengan mendukung aksi lingkungan secara daring, atau secara aktif mengunggah konten-konten pro-lingkungan.
Di level lebih luas, kamu bisa aktif dalam berbagai aksi, seperti eco-volunteering[11], memberi edukasi[12] ke masyarakat terdampak bencana, atau bergabung sebagai aktivis konservasi[13].
Kami menemui kelompok muda sekitar yang ternyata punya banyak usulan dan ingin terlibat mengatasi masalah air dan mengurangi risiko banjir, tetapi mereka tidak tahu cara menyampaikannya. Kami lalu menjembatani komunikasi mereka dengan pemerintah setempat lewat sebuah forum, termasuk salah satunya Wali Kota Bogor saat itu, Bima Arya.
Dari hasil diskusi, tercetus beberapa rekomendasi pemberdayaan masyarakat seperti pelatihan pengelolaan air (termasuk teknik untuk mencegah pencemaran dan menjaga kelestarian sumber air) dan mendorong penerapan sistem pemanen air hujan. Dari sini, masyarakat bisa belajar melakukan konservasi air.
Secara umum, saluran resmi bagi anak muda untuk terlibat dalam kebijakan dan aksi lingkungan masih minim, sementara forum formal sering tidak inklusif atau sesuai dengan gaya komunikasi mereka. Akibatnya, muncul rasa frustrasi, tidak dipercaya, atau bahkan apatis, karena merasa suara mereka tidak didengar atau tidak berdampak.
Salah satu kelompok yang paling resah akan krisis iklim adalah anak muda. Mereka kebanyakan berada di kampus dan media sosial (medsos). Oleh karena itu, dua medium ini strategis untuk memengaruhi pola pikir dan perilaku anak muda.
Kampus bisa mengintegrasikan program dan isu lingkungan dalam mata kuliah, baik melalui studi kasus, proyek akhir, atau melalui kolaborasi dengan mitra dalam edukasi atau kampanye peduli lingkungan.
Pendekatan ini pernah saya lakukan saat mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya menyelaraskan praktikum teknik lingkungan (identifikasi sumber pencemaran dan analisis perencanaan saluran sungai) dengan program kegiatan mahasiswa seperti aksi bersih sungai[15]. Dengan demikian, mahasiswa bisa belajar sambil berkontribusi nyata terhadap lingkungan.
Atau kampus juga bisa berkolaborasi dengan mitra untuk mengampanyekan program-program pro-lingkungan, seperti pengurangan penggunaan plastik sekali pakai[16] yang dilakukan di kantin kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).
Media sosial juga bisa mendorong perubahan dengan menyajikan narasi[17] dan storytelling untuk mendorong perubahan sosial.
Contoh akun pegiat lingkungan yang berpengaruh adalah @pandawaragroup [18] dan @aeshnina[19]. Pandawara menggugah kesadaran publik dengan membersihkan sungai yang kotor.
Sementara Nina, mengadvokasi perubahan ke pemerintah lokal, pusat, bahkan hingga ke tingkat internasional[20], seperti saat berbicara di forum UNFCC COP26 pada 2021 dan Global Plastic Treaty Negotiation pada akhir 2024.
Beberapa waktu lalu, Pandawara juga diundang berdiskusi bersama presiden [21] untuk membahas solusi masalah sampah di Indonesia. Meski belum ada tindak lanjut konkret, ini membuktikan bahwa konsistensi kampanye lingkungan bisa berdampak besar.
Rasa cemas tidak akan mengubah apa-apa. Kalau kamu belum bisa melakukan aksi-aksi besar, enggak apa-apa kok! Kamu bisa memulai dari langkah sederhana, seperti menyebar konten-konten aksi lingkungan lewat medsos kamu atau mengubah perilaku jadi ramah lingkungan.
Selamat Hari Bumi! Jadi, kapan kamu memulai aksimu?
References
- ^ eco-anxiety (www.sciencedirect.com)
- ^ kesehatan (www.mdpi.com)
- ^ gangguan konsentrasi dan gangguan tidur (www.sciencedirect.com)
- ^ Gen Z (www.mdpi.com)
- ^ Studi lainnya (papers.ssrn.com)
- ^ Eco-anxiety : kegelisahan anak muda terhadap perubahan iklim (theconversation.com)
- ^ konten positif (theconversation.com)
- ^ Efek Pandawara Group: bagaimana konten positif bisa mengobati 'eco-anxiety' kita (theconversation.com)
- ^ keyakinan diri dan kelompok (scholarworks.uvm.edu)
- ^ clicktivism (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ eco-volunteering (www.naturevolution.org)
- ^ edukasi (www.antaranews.com)
- ^ aktivis konservasi (radarbanyumas.disway.id)
- ^ studi (bridges.monash.edu)
- ^ aksi bersih sungai (warta-jogja.com)
- ^ pengurangan penggunaan plastik sekali pakai (www.antaranews.com)
- ^ narasi (www.sciencedirect.com)
- ^ @pandawaragroup (www.instagram.com)
- ^ @aeshnina (www.instagram.com)
- ^ pemerintah lokal, pusat, bahkan hingga ke tingkat internasional (www.google.com)
- ^ berdiskusi bersama presiden (www.tempo.co)
Authors: Rian Mantasa Salve Prastica, PhD candidate studying urban water engineering, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland
Read more https://theconversation.com/bagaimana-mengubah-eco-anxiety-kita-menjadi-aksi-untuk-bumi-252897