Dari piring, melawan perubahan iklim
- Written by Dr. Junaid Ali Saeed Rana, Dean of Faculty of IT and Business, University of Jakarta International

● Pola makan berbasis nabati bisa mengurangi jejak karbon dan emisi gas rumah kaca
● Kesadaran Milenial dan Gen Z semakin meningkat mengenai dampak makanan terhadap kesehatan dan lingkungan
● Harga, aksesibilitas, dan greenwashing masih menjadi kendala utama yang menghambat transisi ke pola makan berkelanjutan
Jika ingin hidup sehat sekaligus ramah lingkungan, kamu bisa mulai melakukannya dari hal sederhana: lewat makanan di piringmu.
Riset membuktikan[1] bahwa makanan yang menyehatkan—terutama dari tumbuhan—merupakan pilihan terbaik untuk manusia dan lingkungan.
Jika masyarakat seluruh dunia menjadi vegan[2], emisi sektor pangan global akan turun hingga 70% pada 2050. Di saat yang sama, mengonsumsi makanan sehat[3] (buah, sayuran, dan kacang-kacangan) berpotensi mengurangi berbagai risiko penyakit kronis, seperti diabetes, jantung koroner, dan kolesterol.
Kabar baiknya, penelitian kami[4] menunjukkan tren peningkatan kesadaran dalam mengonsumsi makanan berbasis nabati di Indonesia, terutama di kalangan Milenial dan Gen Z perkotaan. Hanya saja, anak muda yang ingin mengadopsi gaya hidup berkelanjutan ini masih harus menghadapi sejumlah tantangan, seperti harga mahal, akses terbatas, greenwashing, dan kurangnya informasi.
Kenapa makanan nabati lebih rendah karbon?
Produksi makanan dari tumbuhan umumnya membutuhkan sumber daya dan energi yang jauh lebih sedikit dibandingkan makanan hewani, sehingga emisi gas rumah kaca yang dihasilkan lebih rendah.
Contohnya produksi daging[5] membutuhkan lahan yang luas untuk menanam pakan ternak dan merumput. Emisi terbesar berasal dari kotoran ternak yang mengandung metana[6]—gas ini memiliki dampak pemanasan global 84 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida (CO2) dan bisa bertahan selama 20 tahun.
Sebaliknya, limbah dari tanaman lebih mudah dikelola dan memiliki dampak lingkungan lebih rendah. Menanam pangan nabati dengan sistem yang baik, bahkan bisa meningkatkan kesuburan tanah.
Dengan kata lain, mengonsumsi lebih banyak makanan dari tumbuhan bisa berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Makanan sehat berkelanjutan jadi kesadaran baru
Riset yang saya lakukan bersama tim[7] menunjukkan bahwa Milenial dan Gen Z makin menyadari bahwa makanan yang mereka konsumsi enggak cuma berdampak buat kesehatan, tetapi juga Bumi.
Penelitian kami berlangsung antara April hingga Juli 2023 di tiga restoran sehat hits di Jakarta: SNCTRY, SaladStop!, dan Burgreens. Restoran-restoran ini kami pilih karena menyajikan makanan sehat sekaligus mengedepankan prinsip keberlanjutan dalam bahan baku dan bisnis mereka.
Kami meneliti 210 responden berusia 18–42 tahun yang pernah makan di restoran tersebut. Hasilnya, mereka yang memilih makanan sehat cenderung lebih sadar lingkungan[8].
Penelitian kami menunjukkan, kesadaran akan kesehatan berkontribusi 65,3%[9] terhadap pola konsumsi makanan berkelanjutan. Artinya, semakin peduli seseorang terhadap kesehatannya, semakin besar kemungkinan mereka memilih makanan yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, faktor kepercayaan berperan besar. Sebanyak 39,7% variasi pola konsumsi berkelanjutan ditentukan oleh kepercayaan konsumen[10]. Artinya, semakin transparan sebuah brand soal bahan makanan dan proses produksinya, semakin tinggi kemungkinan pelanggan membeli produk nabati tersebut.
Kesadaran ini juga didorong oleh media sosial dan influencer yang aktif mempromosikan pola makan berbasis nabati. Ditambah, makin banyak bisnis makanan yang sadar lingkungan[11] dan menjadikan keberlanjutan sebagai nilai jual mereka.
Beberapa strategi yang bisa diterapkan bisnis makanan, antara lain:
Transparansi rantai pasok: Beri tahu konsumen dari mana bahan makanan berasal, apakah organik, dan bagaimana proses produksinya.
Label yang jelas dan kredibel: Pastikan produk memiliki sertifikasi keberlanjutan yang diakui.
Kemitraan dengan influencer dan aktivis lingkungan: Tingkatkan kesadaran konsumen lewat konten edukatif yang relatable di media sosial.
Kampanye edukasi: Bantu konsumen memahami pentingnya makanan berkelanjutan.
Harga yang lebih terjangkau: Pastikan makanan berkelanjutan bisa diakses lebih banyak orang, bukan hanya kalangan tertentu.
Selain para pebisnis yang harus berbenah, pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi yang jelas mengenai pelabelan makanan, serta memberikan subsidi insentif bagi bisnis berkelanjutan. Sementara konsumen harus meningkatkan literasi pangan serta aktif mendukung merek-merek ramah lingkungan sembari menuntut transparansi dari perusahaan-perusahaan makanan.
Milenial dan Gen Z berperan besar dalam perubahan ini. Dengan kesadaran penuh mengenai dampak kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, keputusan kecil kita dalam mengubah pola makan bisa membentuk industri makanan yang lebih bertanggung jawab sebagai normal baru, sekaligus menciptakan masa depan yang lebih hijau.
Jadi, sudah siap memulai perjalanan makan sehat berkelanjutan kamu?
Dr. Evi Susanti, S.E., M.M. selaku Associate Professor dan Head of Quality Assurance University of Jakarta International (UNIJI) bersama Thalia Agustina dari Jurusan Manajemen UNIJI berkontribusi dalam penelitian ini.
References
- ^ Riset membuktikan (www.pnas.org)
- ^ menjadi vegan (www.pnas.org)
- ^ mengonsumsi makanan sehat (www.pnas.org)
- ^ penelitian kami (www.researchgate.net)
- ^ produksi daging (www.sciencedirect.com)
- ^ metana (www.edf.org)
- ^ Riset yang saya lakukan bersama tim (www.researchgate.net)
- ^ lebih sadar lingkungan (www.researchgate.net)
- ^ 65,3% (www.researchgate.net)
- ^ kepercayaan konsumen (www.researchgate.net)
- ^ bisnis makanan yang sadar lingkungan (www.researchgate.net)
Authors: Dr. Junaid Ali Saeed Rana, Dean of Faculty of IT and Business, University of Jakarta International
Read more https://theconversation.com/dari-piring-melawan-perubahan-iklim-251918