Asian Spectator

Men's Weekly

.

‘Love-hate relationship’ dengan Pak Ogah: Membantu atau mengganggu lalu lintas?

  • Written by Angga Marditama Sultan Sufanir, Assistant Professor, Politeknik Negeri Bandung
‘Love-hate relationship’ dengan Pak Ogah: Membantu atau mengganggu lalu lintas?

● Peran Pak Ogah bisa membantu mengurai kemacetan, tapi juga kerap merugikan pengendara.

● Keberadaan Pak Ogah melanggar hukum, karena mereka tidak memiliki izin resmi dari pemerintah untuk mengatur lalu lintas.

● Adanya Pak Ogah di jalan raya adalah cerminan dari persoalan sosial, terutama terkait keterbatasan lapangan pekerjaan.

Fenomena “Pak Ogah"—sebutan bagi individu yang secara sukarela mengatur lalu lintas di persimpangan jalan tanpa otoritas resmi—merupakan pemandangan umum di berbagai kota di Indonesia.

Mereka sering terlihat di titik-titik rawan macet seperti pertigaan, putaran balik[1], atau perlintasan kereta api[2].

Kehadiran Pak Ogah bisa membawa dampak positif maupun negatif. Mereka bisa saja membantu mengurai kemacetan, tetapi sering juga justru memperparahnya.

Pak Ogah yang sedang mengatur lalu lintas di suatu persimpangan jalan di Jakarta
Pak Ogah yang sedang mengatur lalu lintas di suatu persimpangan jalan di Jakarta. 'Shutterstock/Fireeeee[3]

Peran informal Pak Ogah

Dalam konteks lalu lintas, pengaturan arus kendaraan idealnya dilakukan oleh petugas berwenang yang memiliki pelatihan dan otoritas hukum. Namun, kekosongan pengawasan di beberapa titik rawan sering kali diisi oleh Pak Ogah[4], yang beroperasi tanpa standar operasional prosedur atau pelatihan keselamatan.

Peran informal dalam ruang publik merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok tanpa mandat resmi dari otoritas[5], tapi memiliki dampak signifikan terhadap fungsi sosial atau operasional suatu sistem[6].

Pak Ogah biasanya beroperasi di lokasi-lokasi yang tidak dijaga oleh petugas resmi, seperti di jalur putar balik depan SPBU Bunder Gresik, di mana mereka membantu pengendara memutar arah dengan imbalan sukarela.

Ilustrasi jalur putaran balik.

Berdasarkan wawancara awak media dan polisi pada kasus perkelahian memakai senjata tajam antara dua Pak Ogah, pendapatan mereka bervariasi, mulai dari Rp250 ribu per hari bahkan bisa lebih, tergantung pada jumlah pengendara yang melintas.

Jika diasumsikan dalam sebulan ada 30 hari, mereka bisa mendapatkan uang Rp7,5 juta per bulan tanpa dipotong pajak, iuran BPJS, dan lain-lain. Pendapatan pekerja informal ini di atas UMR[7] Gresik yang hanya Rp4,6 juta.

Pak Ogah bantu urai kemacetan

Seringkali Pak Ogah dapat membantu mengurai kemacetan[8] di titik-titik tertentu dengan mengatur lalu lintas secara efektif.

Peran ini terutama terlihat di kawasan padat dan persimpangan jalan yang tidak dijaga petugas resmi. Kehadiran Pak Ogah mampu memperlancar arus kendaraan dan mencegah penumpukan lalu lintas.

Dengan pengalaman lapangan dan pemahaman kondisi lokal, mereka sigap mengarahkan kendaraan di waktu-waktu ramai. Meskipun tidak memiliki kewenangan formal, aksi spontan dan responsif dari Pak Ogah memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan kelancaran lalu lintas, terutama di wilayah-wilayah yang kurang terjangkau pengawasan petugas.

Selain itu, keberadaan Pak Ogah di jalanan sering kali memberikan bantuan nyata[9] bagi pejalan kaki yang hendak menyebrang dan pengendara mobil atau motor yang akan berputar arah di jalan-jalan ramai.

Dengan gerakan tangan yang cepat dan instruksi sederhana, mereka membantu menciptakan celah bagi kendaraan untuk bermanuver, terutama di titik-titik rawan macet atau persimpangan tanpa lampu lalu lintas. Meskipun peran mereka tidak resmi, banyak pengendara merasa terbantu dan memberikan imbalan seikhlasnya sebagai bentuk apresiasi.

Pak Ogah bisa merugikan pengendara

Meskipun merasa terbantu, tidak sedikit pengendara yang berpendapat bahwa kehadiran Pak Ogah justru memperparah kemacetan[10] di jalan raya. Ini karena banyak Pak Ogah yang cenderung mengutamakan kendaraan yang memberikan imbalan[11], sehingga mengabaikan hak pengguna jalan lain dan menciptakan ketidakseimbangan arus lalu lintas.

Tidak sedikit pula laporan yang mengeluhkan tindakan mereka yang kadang meminta imbalan secara paksa[12] atau melakukan pemerasan.

Contohnya adalah seorang Pak Ogah di Jalan Dago, Kota Bandung, yang sempat viral videonya di media sosial. Ia berpura-pura terlindas kakinya dan meminta uang damai[13] kepada pengendara mobil dengan pelat luar Bandung.

Pura-Pura Kaki Terlindas, Pak Ogah Memalak Wisatawan di Jalan Dago Bandung.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan aturan yang jelas, keberadaan Pak Ogah dapat merugikan pengguna jalan lain dan memperburuk kondisi lalu lintas.

Kehadiran Pak Ogah melanggar hukum

Menjadi Pak Ogah sebenarnya adalah aktivitas yang melanggar hukum. Mereka tidak memiliki izin resmi dari pemerintah atau lembaga terkait, sehingga keberadaan mereka dianggap ilegal dan dapat dikenai sanksi hukum.

Misalnya, di DKI Jakarta, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum[14] melarang setiap orang tanpa kewenangan untuk mengatur lalu lintas dengan maksud memperoleh imbalan jasa. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana kurungan antara 10 hingga 60 hari atau denda antara Rp 100.000 hingga Rp 20.000.000.

Demikian pula, di Makassar, Perda Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2021[15] mengatur bahwa pelaku yang tetap beroperasi setelah tiga kali peringatan dapat dikenai sanksi pidana ringan berupa kurungan hingga 3 bulan atau denda hingga Rp 50.000.000.

Selain melanggar hukum, aktivitas Pak Ogah juga berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan karena mereka tidak memiliki pelatihan resmi dalam pengaturan lalu lintas. Oleh karena itu, meskipun niat mereka membantu, tindakan mereka tetap tidak sah di mata hukum dan dapat menimbulkan risiko bagi masyarakat.

Jangan salahkan Pak Ogah

Meski ilegal, keberadaan Pak Ogah di jalan raya merupakan cerminan dari persoalan sosial yang seharusnya ditangani oleh pemerintah, terutama terkait dengan keterbatasan lapangan pekerjaan[16] dan rendahnya tingkat pendidikan[17].

Mereka umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah[18], dan profesi ini menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka dan keluarga.

Walaupun aktivitasnya tidak sesuai dengan UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2029 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan[19], tapi menghapus keberadaannya tanpa menyediakan alternatif pekerjaan yang layak dapat memperburuk kondisi sosial mereka.

Karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan, seperti menyediakan pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan menciptakan lapangan kerja[20].

References

  1. ^ pertigaan, putaran balik (radarjakarta.id)
  2. ^ perlintasan kereta api (rm.id)
  3. ^ 'Shutterstock/Fireeeee (www.shutterstock.com)
  4. ^ kekosongan pengawasan di beberapa titik rawan sering kali diisi oleh Pak Ogah (www.kompasiana.com)
  5. ^ tanpa mandat resmi dari otoritas (www.researchgate.net)
  6. ^ memiliki dampak signifikan terhadap fungsi sosial atau operasional suatu sistem (ejournal3.undip.ac.id)
  7. ^ Pendapatan pekerja informal ini di atas UMR (surabaya.tribunnews.com)
  8. ^ mengurai kemacetan (insidelombok.id)
  9. ^ bantuan nyata (rembuk.republika.co.id)
  10. ^ memperparah kemacetan (jurnal.ranahresearch.com)
  11. ^ mengutamakan kendaraan yang memberikan imbalan (www.tempo.co)
  12. ^ meminta imbalan secara paksa (megapolitan.kompas.com)
  13. ^ berpura-pura terlindas kakinya dan meminta uang damai (news.detik.com)
  14. ^ Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (perqara.com)
  15. ^ Perda Kota Makassar Nomor 7 Tahun 2021 (www.detik.com)
  16. ^ keterbatasan lapangan pekerjaan (ejournal.iaiibrahimy.ac.id)
  17. ^ rendahnya tingkat pendidikan (lintascelebes.com)
  18. ^ kalangan ekonomi menengah ke bawah (journal.student.uny.ac.id)
  19. ^ UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2029 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (peraturan.bpk.go.id)
  20. ^ pelatihan keterampilan, bantuan modal usaha, dan menciptakan lapangan kerja (ojs.unm.ac.id)

Authors: Angga Marditama Sultan Sufanir, Assistant Professor, Politeknik Negeri Bandung

Read more https://theconversation.com/love-hate-relationship-dengan-pak-ogah-membantu-atau-mengganggu-lalu-lintas-256886

Magazine

‘Love-hate relationship’ dengan Pak Ogah: Membantu atau mengganggu lalu lintas?

Ilustrasi Pak Ogah sedang mengatur lalu lintas. Misgianto Misgianto/Shutterstock● Peran Pak Ogah bisa membantu mengurai kemacetan, tapi juga kerap merugikan pengendara.● Keberadaan Pak Oga...

Kampanye lingkungan bagi Gen Z: Perlu contoh nyata, bukan perintah apalagi ceramah

● Gen Z memiliki kesadaran lingkungan tinggi dan literasi yang baik soal perubahan iklim.● Perilaku pro-lingkungan Gen Z lebih dipengaruhi oleh tindakan nyata yang dicontohkan orang-orang ...

MK wajibkan biaya SD hingga SMP gratis: Bagaimana putusan ini bisa diterapkan?

CC BYMahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk wajib menyediakan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah ...