Dilema desentralisasi: Melahirkan oligarki lokal, memperluas dinasti politik
- Written by Puteri Atikah, M.Si, Dosen, Universitas Negeri Medan

● Lebih dari dua dekade Reformasi, desentralisasi justru memunculkan oligarki lokal dan dinasti politik.
● Dalam desentralisasi, kekuasaan politik masih terkonsentrasi pada segelintir elite lama.
● Partai politik malah memperkuat politik patronase.
Setelah kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru, Indonesia memasuki era Reformasi yang ditandai dengan perubahan signifikan dalam sistem politik dan pemerintahan[1]. Salah satu agenda utama Reformasi adalah pelaksanaan desentralisasi sebagian kekuasaan pusat ke daerah.
Desentralisasi diyakini dapat mendorong munculnya kekuatan politik lokal[2], mempermudah penyerapan aspirasi masyarakat daerah[3], menekan korupsi, dan mempercepat[4] pembangunan daerah.
Namun, setelah lebih dari dua dekade Reformasi, desentralisasi justru menimbulkan paradoks. Kemunculan oligarki lokal[5], dinasti politik[6], serta maraknya kasus korupsi kepala daerah adalah fenomena yang terjadi dalam sistem desentralisasi.
Fenomena ini menunjukkan desentralisasi tidak serta-merta[7] menghasilkan demokrasi substantif pada tingkat lokal. Di sinilah keterbatasan pandangan neoinstitusionalisme[8]. Pandangan ini gagal memahami kekuatan ekonomi dan politik yang bertahan dan beradaptasi di dalam kondisi demokratis.
Sebaliknya, dalam perspektif teori oligarki[9], desentralisasi bukanlah proses yang otomatis mendorong demokratisasi, melainkan dapat menjadi arena baru bagi kekuatan politik oligarkis.
Lahirnya oligarki lokal dan dinasti politik
Momen Reformasi yang ditandai dengan desentralisasi kekuasaan pusat ke daerah–diharapkan akan mendorong demokratisasi. Namun pada kenyataannya, desentralisasi tidak secara otomatis melahirkan demokrasi substantif di dalam politik lokal.
Sebaliknya, desentralisasi malah membuka jalan bagi hubungan patronase yang menciptakan loyalitas pada kepentingan elite politik daripada kepentingan publik. Muncul pula aliansi–aliansi politik baru yang lahir dari jaringan elite politik lama dikarenakan tidak terjadi perubahan kekuasaan ekonomi dan politik pasca-kejatuhan Orde Baru.
Pemilu pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, misalnya, alih-alih menjadi arena pertarungan demokratis bagi aktor-aktor politik baru, justru melahirkan aliansi baru antara elite lama dan elite baru.
Beberapa kepala daerah yang dianggap reformis seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, dan Anies Baswedan tidak muncul dari kekuatan politik yang terpisahkan dari jaringan elite lama. Bahkan Jokowi yang di awal karier politiknya dianggap bebas dari jaringan oligarki, ternyata didukung oleh jaringan politik warisan Orde Baru.
Pemilu 2024 adalah manifestasi dari menguatnya kekuatan politik oligarki ini, yang ditandai dengan aliansi kekuatan politik lama dan baru. Koalisi antara Prabowo dan dinasti Jokowi adalah bukti nyata dari aliansi politik lama dan baru.
Baik Presiden Prabowo Subianto ataupun Presiden Joko Widodo berhasil merangkul para aktivis 98 dengan memberikan mereka posisi dalam pemerintahan. Kondisi yang sama dapat dilihat dari kemunculan sejumlah politikus muda dari kalangan selebritas yang mendapatkan jabatan karena peran mereka di media.
Publik bisa melihat hampir semua partai politik yang bertahan dan terbentuk pasca-Reformasi memiliki keterkaitan dengan jaringan elite Orde Baru. Partai Golkar, PPP dan bahkan PDIP merupakan bagian dari warisan politik Orde Baru.
Partai–partai yang lahir pada era Reformasi seperti Nasdem, Gerindra, PKB, Hanura, PAN dan PKS pun tidak lepas dan terus bergantung pada dominasi jaringan politik lama. Secara institusional, politik formal pasca-Reformasi masih didominasi oleh kekuatan elite lama.
Di sisi lain, tingginya biaya politik elektoral mengakibatkan pertarungan hanya bisa diakses oleh elite–elite lokal yang memiliki kontrol terhadap sumber daya. Dalam kondisi inilah terjalin aliansi antara elite lama dan elite baru dalam pilkada.
Di Sumatera Utara, misalnya, ada jaringan keluarga Shah punya peran dominan dalam konstelasi politik lokal. Mereka bukan hanya berlatar belakang pengusaha, tetapi juga aktif dalam ormas kepemudaan, Pemuda Pancasila.
Meskipun sebelumnya muncul gubernur dari kalangan akademisi, seperti Gatot Pujo Nugroho, tetap saja dukungan politiknya tidak lepas dari jaringan politik Orde Baru, yaitu Hanura. Tanpa melupakan pasangan politik Gatot saat itu adalah Tengku Erry Nuradi yang berlatar belakang pengusaha dan adik dari Tengku Rizal Nurdin yang merupakan elite politik dan militer masa Orde Baru.
Aliansi tersebut turut memperkuat konfigurasi politik oligarkis, salah satu dampaknya adalah kemunculan dinasti politik. Dapat dilihat dari konstelasi politik lokal di Sumatera Utara didominasi oleh jaringan dinasti politik yang didukung oleh elite politik pusat, salah satu yang paling kontroversial adalah dinasti Jokowi.
Dengan kata lain, meskipun terdapat perubahan secara institusional dalam desentralisasi, kekuasaan politik masih terkonsentrasi pada segelintir elite lama.
Tarik menarik politik pusat dan lokal
Dinamika tarik-menarik kekuatan antara politik pusat dan daerah terus mewarnai lanskap politik Indonesia setelah Reformasi. Namun demikian, pemerintah pusat tetap mempertahankan kendali melalui regulasi, kontrol fiskal, dan struktur partai politik yang tersentralisasi. Misalnya saja, sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, kewenangan penilaian AMDAL yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah daerah, saat ini beralih ke pemerintah pusat.
Padahal dampak lingkungan yang bisa terjadi akan dirasakan oleh masyarakat di daerah. Apalagi banyak fakta di lapangan menunjukkan terjadinya konflik antara industri dengan masyarakat akibat dari kerusakan lingkungan.
Dalam konteks ini, kewenangan penilaian AMDAL oleh pemerintah pusat dapat memperbesar kemungkinan pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan dengan kondisi dan kebutuhan di daerah.
Selain itu, desentralisasi tidak otomatis memberikan kewenangan fiskal yang lebih luas kepada pemerintah daerah. Kebijakan fiskal masih didominasi oleh pemerintah pusat, khususnya melalui Kementerian Keuangan.
Pemerintah pusat dan daerah kerap saling tarik-menarik jika sudah menyoal dana transfer ke daerah, yang dipicu oleh ketimpangan dalam pembagian Dana Bagi Hasil (DBH). Di sisi lain, postur APBD juga harus disesuaikan dengan kebijakan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Partai politik jadi tempat kumpul oligarkis
Hambatan lain bagi otonomi daerah adalah struktur kekuasaan partai politik yang tersentralisasi. Pasca-otoritarianisme Orde Baru, partai politik tidak menjadi institusi demokrasi yang menjalankan fungsi artikulasi aspirasi masyarakat.
Dalam konteks ini, partai politik yang seharusnya menjadi lembaga demokratis dan mendorong akuntabilitas institusional, malah menguatkan politik patronase. Alhasil pencalonan kepala daerah lebih ditentukan oleh keputusan elite partai di tingkat pusat daripada aspirasi kader di daerah.
Kegagalan Reformasi dalam membangun dan mengonsolidasikan kekuatan politik baru justru memberi ruang dominasi elite politik lama. Mereka membentuk aliansi dengan elite baru untuk bertanding dalam sistem pemilu demokratis, seperti pilkada.
Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan masyarakat sipil yang kuat untuk menandingi dominasi oligarki. Konsolidasi serikat buruh, petani dan organisasi perempuan merupakan bagian penting dari basis sosial progresif dan demokratis. Ini menjadi pekerjaan penting bagi para akademisi dan aktivis prodemokrasi.
References
- ^ perubahan signifikan dalam sistem politik dan pemerintahan (openresearch-repository.anu.edu.au)
- ^ munculnya kekuatan politik lokal (link.springer.com)
- ^ mempermudah penyerapan aspirasi masyarakat daerah (www.sciencedirect.com)
- ^ mempercepat (documents1.worldbank.org)
- ^ oligarki lokal (books.google.co.id)
- ^ dinasti politik (www.researchgate.net)
- ^ tidak serta-merta (openresearch-repository.anu.edu.au)
- ^ pandangan neoinstitusionalisme (documents1.worldbank.org)
- ^ perspektif teori oligarki (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Donny Hery/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Kemarrravv13/Shutterstock (www.shutterstock.com)
Authors: Puteri Atikah, M.Si, Dosen, Universitas Negeri Medan