Asian Spectator

Men's Weekly

.

Wacana gelar pahlawan Suharto: Sarat konflik kepentingan, langgengkan impunitas

  • Written by Alviani Sabillah, Peneliti, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Wacana gelar pahlawan Suharto: Sarat konflik kepentingan, langgengkan impunitas

● MPR menghapus nama Suharto dari Tap MPR dan berencana memberikannya gelar pahlawan nasional.

● Keterlibatan Suharto dalam kejahatan HAM dan KKN bertentangan dengan integritas moral.

● Wacana ini diyakini hanya ambisi Presiden Prabowo Subianto.

Sampai saat ini, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Suharto menuai sejumlah kritik dari masyarakat sipil. Rencana pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Kedua Suharto, kian intens belakangan ini.

Sebelumnya, MPR telah resmi mencabut nama Suharto[1] dari Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) per September 2024 lalu.

Namanya dihapus, setelah 32 tahun masa kepemimpinan yang dipenuhi dengan dosa kejahatan hak asasi manusia (HAM), korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Artinya, nama Suharto seakan dianggap tidak terlibat dalam tindakan KKN selama masa jabatannya.

Situasi ini semakin mengiris hati para penyintas pelanggaran HAM berat masa lalu, di tengah kekosongan upaya penuntasan pelanggaran HAM berat di Indonesia. MPR secara terang mendorong rencana pemberian gelar penghargaan dan tanda jasa kepada Suharto (Lihat Risalah Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Anggota MPR Periode 2019-2024, hlm 45).

Memang, dari deretan aturan hukum yang ikut mengatur tentang pemberian gelar pahlawan nasional, tidak ada satupun yang eksplisit menyebut melarang pemeberian gelar pada Suharto. Pada akhirnya, semua proses ini adalah proses politik.

Apa kata hukum?

Pemberian gelar dan kehormatan kepada seseorang diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan[2]. Jauh sebelum beleid ini lahir, pengaturan pemberian gelar dan kehormatan telah hadir sejak 1954 melalui UU Nomor 30 Tahun 1954 tentang Tanda Kehormatan Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia[3].

Poster korban pelanggaran HAM Marsinah (kiri) di samping poster mantan Presiden Suharto dalam Aksi Kamisan. Toto Santiko Budi/Shutterstock[4]

Penelusuran sejarah lahirnya UU 20 tahun 2009 memang tidak dapat dipisahkan dari konteks pemberian tanda jasa dan kehormatan kepada para anggota angkatan perang republik Indonesia.

UU tersebut menurunkan sejumlah peraturan terkait dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan[5], Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional sebagaimana diubah Permensos Nomor 13 Tahun 2018[6].

Sederet aturan tersebut mengatur beberapa hal antara lain landasan asas-asas dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk mendapat gelar dan tanda kehormatan, serta mekanisme yang perlu ditempuh. Termasuk mengatur pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut, termasuk presiden, dewan gelar, tim peneliti/pengkaji pemberian gelar dan kehormatan.

Yang perlu diketahui, gelar itu tak hanya sebatas gelar semata. Seseorang yang mendapat gelar/tanda kehormatan–melalui ahli waris, akan mendapat fasilitas dan insentif tertentu, yakni berupa hak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dan tunjangan berkelanjutan. Ini diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial[7] dan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2018 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Serta Besaran Tunjangan Berkelanjutan Bagi Pejuang, Perintis Kemerdekaan, Dan Keluarga Pahlawan Nasional[8].

Namun, terlepas dari deretan aturan tersebut, pemberian gelar akan diputuskan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Mekanisme pemberian gelar dan tanda kehormatan memberikan kekuasaan besar kepada presiden dalam penentuannya.

Artinya, kembali lagi, keputusan akhir tetap di tangan Presiden Prabowo Subianto, mantan menantu dari Suharto sendiri. Dikaitkan dengan situasi sekarang, relasi personal antara keluarga Suharto dan Prabowo memiliki potensi konflik kepentingan yang besar.

Ambisi Presiden (mantan menantu) Prabowo?

Rencana memuluskan Suharto untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional tampaknya telah menjadi cita-cita Prabowo. Ia sempat mengutarakannya secara terbuka dalam suatu pertemuan pada tahun 2014[9].

Presiden Prabowo Subianto menyapa masyarakat dalam acara peringatan HUT TNI ke-79 di Monas, Jakarta. Donny Hery/Shutterstock[10]

Indikasi konflik kepentingan Prabowo dan keluarga Cendana tidak bisa dipungkiri. Terlebih, Prabowo masuk dalam daftar terduga kuat dalang utama dibalik penculikan aktivis dalam kerusuhan 1998 yang terjadi saat rezim Suharto berkuasa.

Saat itu, Prabowo adalah Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus (Kopassus) yang menaungi Tim Mawar–tim yang mengeksekusi penculikan aktivis tersebut. Titiek Suharto, mantan istri Prabowo yang juga anak kandung Suharto, masuk dalam daftar tim pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Hanya saja, seharusnya dipahami bahwa Pasal 2 UU 20 tahun 2009 melandasi asas-asas yang harus dipenuhi dalam seluruh proses pemberian gelar dan tanda kehormatan, seperti asas kemanusiaan, kerakyatan, kehati-hatian, keobjektifan, dan keterbukaan. Asas ini harus hadir baik dalam proses pemberian gelar dan tanda jasa, maupun pertimbangan substansial terhadap calon penerima gelar dan tanda jasa itu sendiri.

Secara khusus, Pasal 4 dan 5 Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 menyebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang diusulkan mendapat gelar dan tanda jasa.

Pertanyaannya kemudian, apakah Suharto memenuhi syarat tersebut?

Suharto tidak memenuhi syarat integritas moral dan keteladanan

Fakta-fakta tertulis dalam laporan Transparency International, World Bank, Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 140 PK/Pdt/2015[11], Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998, dan rentetan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah kepemimpinan Suharto didokumentasikan oleh GEMAS (Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto) menunjukkan catatan serius atas pelanggaran HAM, penyalahgunaan kewenangan, dan KKN[12] yang dilakukan Suharto selama 32 tahun kepemimpinannya silam. Melalui Putusan MA Nomor 140 Tahun 2015, Yayasan Supersemar milik Suharto dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Spanduk dengan pesan menolak Suharto, mantan presiden Indonesia, untuk diberi gelar pahlawan, oleh peserta Aksi Kamisan. Toto Santiko Budi/Shutterstock[13]

Dalam catatan Transparency International[14], Suharto tercatat sebagai pemimpin dunia yang paling banyak menggelapkan uang negara (korupsi), yaitu kiranya sebesar US$35 miliar (Rp563,5 triliun).

Selain itu, Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative[15] oleh Kantor PBB urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia pada 2005 menyebutkan bahwa Suharto menduduki peringkat satu sebagai (mantan) Presiden terkorup di abad 20.

Pencabutan nama Suharto dari Tap MPR tidak dapat serta merta menghapus catatan keterlibatannya dalam kejahatan HAM, KKN, dan penyalahgunaan kewenangan yang jelas-jelas bertentangan dengan integritas moral dan keteladanan.

Jangan sampai tindakan atas keputusan yang dibuat oleh negara dalam hal ini justru melanggengkan pelanggaran HAM, KKN dan penyalahgunaan kekuasaan, melanggengkan impunitas, serta mencederai demokrasi.

References

  1. ^ mencabut nama Suharto (antikorupsi.org)
  2. ^ Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (www.hukumonline.com)
  3. ^ UU Nomor 30 Tahun 1954 tentang Tanda Kehormatan Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (www.hukumonline.com)
  4. ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  5. ^ Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (www.hukumonline.com)
  6. ^ Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional sebagaimana diubah Permensos Nomor 13 Tahun 2018 (www.hukumonline.com)
  7. ^ UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (www.hukumonline.com)
  8. ^ Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2018 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Serta Besaran Tunjangan Berkelanjutan Bagi Pejuang, Perintis Kemerdekaan, Dan Keluarga Pahlawan Nasional (www.hukumonline.com)
  9. ^ dalam suatu pertemuan pada tahun 2014 (nasional.kompas.com)
  10. ^ Donny Hery/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  11. ^ Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 140 PK/Pdt/2015 (putusan3.mahkamahagung.go.id)
  12. ^ catatan serius atas pelanggaran HAM, penyalahgunaan kewenangan, dan KKN (kbr.id)
  13. ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  14. ^ catatan Transparency International (www.nytimes.com)
  15. ^ Laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative (www.unodc.org)

Authors: Alviani Sabillah, Peneliti, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Read more https://theconversation.com/wacana-gelar-pahlawan-suharto-sarat-konflik-kepentingan-langgengkan-impunitas-258459

Magazine

Memilih menjadi lajang? Simak 5 tip ini untuk terus berkembang

Memasuki usia 20-30 tahun, banyak dari kita yang memasuki proses pencarian identitas dan membangun kehidupan sebagai orang dewasa. Tentunya lingkungan punya ekspektasi khusus untuk kita: menemukan cin...

Tips membangun rumah nyaman hemat energi, tanpa AC dan minim lampu

● Desain rumah ramah lingkungan bisa mengurangi konsumsi energi secara signifikan.● Cahaya matahari dan aliran udara optimal dapat membuat rumah di iklim tropis seperti Indonesia tetap nya...

Wacana gelar pahlawan Suharto: Sarat konflik kepentingan, langgengkan impunitas

Foto makro Presiden Suharto pada uang kertas Indonesia dengan nilai nominal Rp50.000 yang diterbitkan pada tahun 1993. Uang kertas edisi khusus terbuat dari plastik.Djohan Rianto/Shutterstock● M...