Riset: Kendaraan listrik hanya bisa benar-benar turunkan emisi jika bauran energi terbarukan tumbuh di atas 65% per tahun
- Written by Glenn Jolodoro, Researcher, Universitas Padjadjaran

● EV tidak otomatis menurunkan emisi.
● Tanpa transisi ke energi terbarukan, kendaraan listrik hanya memindahkan emisi dari kendaraan ke pembangkit listrik.
● Untuk menjadi solusi transisi energi, EV harus didukung infrastruktur, kebijakan transportasi berkelanjutan, dan bauran energi bersih di atas 65% per tahun.
Pada era awal penjualan kendaraan listrik (EV) di Indonesia, realisasi penjualan unitnya terus bertumbuh[1]. Sepanjang 2021-2023, misalnya, laju pertumbuhan tahunannya rata-rata berkisar 206,6%[2].
Studi[3] kami menunjukkan bahwa adopsi kendaraan listrik bisa mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan. Namun, EV tidak secara otomatis menurunkan emisi.
Tanpa transisi ke sumber energi terbarukan berkelanjutan secara paralel, penggunaan kendaraan listrik hanya akan memindahkan emisi dari knalpot ke cerobong pembangkit listrik.
Lebih jauh lagi, efektivitas model kendaraan baru ini sangat bergantung pada infrastruktur pendukung dan kebijakan transportasi yang mendukung efisiensi energi secara menyeluruh.
Tiga skenario adopsi EV
Kami memanfaatkan data dari Google Environmental Insights Explorer[4] (Google EIE) untuk menganalisis konsumsi BBM dan emisi sektor transportasi. Saat ini data terlengkap dan akurat tersedia untuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat[5], sehingga kami memakai wilayah tersebut sebagai sampel dalam studi ini.
Di NTB, mobil masih menjadi penyumbang emisi terbesar, meski sepeda motor lebih sering digunakan. Sepanjang tahun 2023 menunjukkan bahwa mobil menyumbang 1,78 juta ton CO₂e, sementara motor sekitar 0,83 juta ton—padahal jumlah perjalanan motor lima kali lebih banyak. Artinya, jika Indonesia ingin menekan emisi dari sektor transportasi, fokus utama harus pada elektrifikasi mobil pribadi.
Kami juga melakukan simulasi tiga skenario adopsi EV[6] dengan mempertimbangkan pertumbuhan kendaraan, kebutuhan energi atau BBM, serta dinamika emisi karbon. Kami memakai asumsi jumlah total kendaraan pada 2050 adalah sekitar 57 juta unit.
Hasilnya adalah sebagai berikut:
Skenario business as usual: Jika EV mencapai lebih dari 50% pangsa pasar (sekitar 31 juta unit) pada 2050 tanpa perubahan bauran energi—misalnya, pembangkit masih didominasi batu bara—konsumsi BBM memang bakal menurun, tetapi pasokan listrik tidak bisa mengimbangi. Akibatnya, emisi tetap tinggi dan terjadi defisit energi. Dalam kondisi ini, masyarakat berisiko kembali beralih ke kendaraan berbahan bakar konvensional.
Skenario moderat: Jika pangsa pasar EV ditargetkan 23% (sekitar 13 juta unit) pada 2050, dengan pertumbuhan energi terbarukan 15-31% per tahun, pasokan listrik cukup stabil. BBM bisa ditekan hingga 25%, dan impor turun separuhnya. Namun, emisi tetap tinggi karena ketergantungan pada batu bara masih besar.
Skenario optimistis: Jika adopsi EV menembus 50% dan energi terbarukan tumbuh 30–65% per tahun, konsumsi BBM turun signifikan. Sayangnya, emisi masih tetap tinggi.
Jadi, ketiga skenario masih menghasilkan emisi yang besar. Untuk benar-benar menurunkannya, hitungan kami, bauran energi terbarukan harus tumbuh di atas 65% per tahun. Dan yang penting dicatat, seluruh rantai pasoknya juga harus dijamin bersih.
Bagaimana membuat EV jadi solusi transisi energi?
Transisi energi, khususnya di sektor transportasi, tidak cukup sekadar mengganti mesin berbahan bakar fosil ke baterai. Langkah ini menuntut transformasi besar yang membutuhkan paradigma baru dalam membangun sistem transportasi yang efisien, terjangkau, dan rendah karbon.
Kendaraan listrik harus dilihat sebagai salah satu bagian dari strategi besar mencapai kedaulatan energi. Manfaat penghematan devisa, penguatan ketahanan ekonomi, dan pengurangan kerentanan terhadap gejolak global hanya akan terwujud jika syarat utama terpenuhi: pasokan listrik EV bersumber dari energi terbarukan.
Selain itu, perlu adanya infrastruktur pendukung yang masif dan merata. Ketersediaan stasiun pengisian daya (charging station) yang berbasis energi terbarukan, jalur tol utama, hingga kawasan penyangga menjadi kebutuhan utama.
Selanjutnya, industri baterai dalam negeri perlu dikembangkan melalui kebijakan multisektor. Tujuannya, agar ketergantungan pada impor BBM tidak berganti menjadi ketergantungan baru pada impor baterai. Hal ini juga menyangkut isu keberlanjutan, karena banyak kasus kerusakan lingkungan terjadi akibat penambangan nikel sebagai bahan baku baterai.
Belajar dari Cina[9], pemerintah bisa mengadopsi pendekatan integratif yang melibatkan berbagai sektor: memperkuat kemitraan dengan UMKM dalam rantai pasok lokal, mempercepat proses perizinan berbasis risiko, menjamin kepastian regulasi dan hukum untuk investor, serta mendanai riset dan pengembangan secara berkelanjutan melalui kolaborasi kampus, industri, dan lembaga litbang. Dukungan kebijakan jangka panjang seperti insentif fiskal dan prioritas pada teknologi dalam negeri terbukti berhasil menjadikan Cina sebagai pemimpin global[10] dalam industri baterai dan kendaraan listrik.
Reformasi menyeluruh terhadap Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) tak kalah penting. Sistem transportasi masa depan harus mampu mengurangi jumlah perjalanan tanpa mengorbankan mobilitas.
Bus listrik, KRL, dan MRT harus menjadi tulang punggung transportasi kota, sementara mobil listrik pribadi cukup menjadi pelengkap.
Hal ini sejalan dengan konsep transportasi masa depan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)[11], yang menekankan bahwa pusat kota seharusnya rendah emisi berkat tingginya penggunaan transportasi publik.
Artinya, untuk menurunkan emisi secara signifikan, pemerintah perlu fokus membangun transportasi umum yang terintegrasi dan efisien di pusat dan luar kota.
Pemerintah—melalui Kementerian ESDM, Perhubungan, Perindustrian, serta BUMN terkait harus menyusun peta jalan terpadu yang terintegrasi. Pelibatan sektor swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)[13] dapat mempercepat pembiayaan infrastruktur tanpa membebani anggaran negara.
Model-model bisnis inovatif seperti battery swapping[14] atau layanan berlangganan baterai patut dipertimbangkan untuk menjangkau masyarakat dengan daya beli terbatas.
Keberhasilan transisi energi sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan keberanian mengambil langkah reformasi struktural. Tanpa itu, EV berisiko menjadi solusi semu yang tak menyentuh akar persoalan.
References
- ^ bertumbuh (industri.kontan.co.id)
- ^ 206,6% (ejournal.publine.or.id)
- ^ Studi (doi.org)
- ^ Google Environmental Insights Explorer (insights.sustainability.google)
- ^ Provinsi Nusa Tenggara Barat (insights.sustainability.google)
- ^ simulasi tiga skenario adopsi EV (doi.org)
- ^ Glenn Jolodoro/MDPI (www.mdpi.com)
- ^ Glenn Jolodoro/MDPI (www.mdpi.com)
- ^ Cina (hbr.org)
- ^ pemimpin global (about.bnef.com)
- ^ Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (www.oecd.org)
- ^ The Future of Public Transport Funding/OECD (www.oecd.org)
- ^ Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) (kpbu.kemenkeu.go.id)
- ^ battery swapping (hbr.org)
Authors: Glenn Jolodoro, Researcher, Universitas Padjadjaran