Kandungan nutrisi ikan salmon budi daya turun drastis
- Written by Richard Newton, Lecturer in Aquaculture, University of Stirling

Ikan salmon hasil budidaya telah menjadi salah satu komoditas bisnis pangan yang paling menggiurkan[1] di dunia. Hal tersebut karena manfaat kesehatannya. Sudah lama diketahui bahwa minyak ikan[2] pada salmon mengandung asam lemak omega-3 kompleks yang berkhasiat untuk perkembangan otak, kesehatan mental, dan kognisi[3].
Asam lemak omega-3 salmon bersumber dari makanan ikan itu sendiri. Untuk ikan yang dibudidayakan, makanan bersumber dari “bahan laut” yang terbuat dari ikan liar yang digiling seperti ikan teri dan produk sampingan ikan sebagai pengganti tepung ikan dan minyak ikan.
Namun, pada kenyataannya pasokan omega-3 global sangat terbatas, baik yang bersumber dari hasil laut budidaya maupun hasil laut alami. Banyak perikanan utama yang memasok bahan-bahan laut sudah mencapai tahap eksploitasi pada pertengahan 1990-an[4]. Sejak pertumbuhan akuakultur salmon, peningkatan volume pasokan bahan-bahan laut[5] yang terbatas telah diambil alih oleh pelaku budidaya ikan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan dan peningkatan kebutuhan biaya bahan-bahan ini. Degradasi yang telah terlihat sekarang adalah merosotnya proporsi minyak ikan dalam makanan ikan salmon yang dibudidayakan. Kandungan omega-3 kompleks telah digantikan oleh minyak nabati secara alamiah.
Pada periode 2006-2015, jumlah omega-3 dalam satu porsi salmon sudah berkurang setengahnya[6]. Ironisnya, industri salmon makin mengedepankan kandungan omega-3[7] sebagai nilai jual utama[8] produknya. Padahal, saat ini, dibutuhkan dua porsi[9] salmon Skotlandia hasil budidaya per minggu untuk bisa memenuhi asupan yang direkomendasikan untuk orang dewasa.
Pelaku industri salmon harus lebih efisien, jika ingin terus berkembang dan mempertahankan target omega-3nya. Industri makanan laut juga harus berbuat lebih banyak untuk mencegah hilangnya omega-3 melalui rantai nilainya secara menyeluruh. Bagian dari upaya efisiensi ini adalah memproduksi lebih banyak minyak ikan.
Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan nilai produk sampingan perikanan dan akuakultur seperti sisa-sisa makanan, kulit dan kepala, sehingga lebih banyak omega-3 yang tersimpan dalam sistem pangan (dan pakan).
Pada prakteknya, ada kesadaran besar untuk menggunakan ikan utuh. Hal ini mendorong kemajuan yang baik dalam meningkatkan penggunaan produk sampingan. Sekarang diperkirakan bahwa sekitar setengah dari pasokan minyak ikan global bersumber dari perikanan, dan khususnya akuakultur, sumber pemrosesan. Namun, masih ada banyak limbah[10] dan kesulitan logistik dalam menyimpan dan mengangkut produk sampingan makanan laut[11].
Insentif industri untuk menggunakan produk sampingan sebagian besar terikat pada hukum ekonomi. Karena itu, kelangkaan minyak ikan global mendorong harga di atas US$8.000/ton (Rp130 jutaan)[12] pada tahun 2024. Bukti dari 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa penggunaan ikan liar secara keseluruhan dalam industri salmon Eropa telah menurun (digantikan oleh bahan-bahan nabati), sementara produksi telah tumbuh beberapa kali lipat.
Meskipun ada perbaikan dan pengurangan dalam penggunaan bahan-bahan laut alamiah, industri ini masih mendapat tekanan besar dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok konservasi. Mereka khawatir tentang penggunaan ikan sebagai pakan[13], yang dapat merusak persepsi publik terhadap industri akuakultur.
Untuk menilai takaran penggunaan ikan sebagai pakan dalam akuakultur, perlu menghitung rasio “ikan masuk ikan keluar” (Fifo) layaknya konsep yang mengukur rasio biomassa ikan yang termasuk dalam pakan ikan terhadap biomassa ikan yang akhirnya diproduksi untuk konsumsi. Tujuannya adalah agar lebih banyak ikan yang diproduksi untuk konsumsi manusia daripada yang digunakan sebagai pakan, dan ini akan menghasilkan Fifo kurang dari 1[14].
Lembaga sertifikasi seperti Aquaculture Stewardship Council[15] dan Best Aquaculture Practices[16] telah mengadopsi berbagai bentuk metrik Fifo. Akan tetapi, hingga saat ini, Fifo belum membahas salah satu alasan mendasar untuk memasukkan bahan-bahan laut ke dalam pakan akuakultur, yakni menyediakan kebutuhan omega-3 bagi konsumen. Tidak ada pertimbangkan kandungan omega-3 dalam pakan ikan, maupun dalam produk akhir dalam kedua sertifikasi tersebut.
Demikian pula, penelitian retensi nutrisi pada salmon hanya sebatas meneliti tingkat retensi pakan hingga ikan yang dibudidayakan. Omega-3 yang hilang dalam proses bahan baku ikan menjadi pakan saat ini belum diukur. Dengan memperkenalkan ukuran baru kami, nutrisi Fifo[17] (nFifo), nutrisi dapat dilacak dari penangkapan ikan liar, pemisahannya menjadi tepung dan minyak, hingga produk akhir yang dijual kepada konsumen.
Metode yang digunakan dalam nFifo lebih mengutamakan penggunaan sumber daya produk sampingan daripada bahan baku murni. Alhasil, makanan yang mengandung produk sampingan menerima nFifo yang lebih rendah. Secara teori, hal ini seharusnya mendorong inisiatif ekonomi sirkular.
Pembelajaran tersebut penting dalam pengembangan industri bahan makanan laut. Makanan laut sangat mudah rusak, terutama produk sampingannya. Namun, makanan laut juga merupakan sumber omega-3 terkaya, seperti dari ikan haring atau makarel.
Akan tetapi, biaya untuk mempertahankan, menstabilkan, menyimpan, dan mengangkut produk sampingan kerap mahal. Ini terutama berlaku di atas kapal penangkap ikan, karena ruang sangat terbatas dan produk sampingan sering kali dibuang ke laut.
Adaptasi metrik yang mencegah pemborosan sumber daya hayati sangat penting untuk produksi pangan berkelanjutan. Pakan salmon saat ini mengandung sekitar 20% hingga 25% bahan laut, tetapi hanya sekitar 5% yang berasal dari produk sampingan. Hal ini menghasilkan nFIFO sebesar 2,17.
Penggunaan bahan laut yang bersumber dari produk sampingan mengurangi nFifo tersebut hingga di bawah 0,5. Yang terpenting, hal ini tetap memberikan tingkat omega-3 yang sama kepada konsumen.
Jika industri makanan laut serius mengarah pada produksi berkelanjutan, industri tersebut perlu jauh lebih efisien dalam mengelola sumber daya. Metrik nFifo menghubungkan penggunaan ikan liar dengan omega-3 yang dikonsumsi dalam salmon yang dibudidayakan untuk pertama kalinya—tetapi metrik ini juga dapat diterapkan pada spesies dan nutrisi lain.
Metodologi ini serupa dengan yang digunakan untuk mengukur dampak lingkungan terhadap perubahan iklim, penggunaan lahan atau air. Metodologi ini memungkinkan untuk menilai pertukaran dari penyertaan dan penggantian bahan-bahan laut dalam makanan ikan di berbagai titik produksi.
Misalnya, meskipun bahan-bahan laut[19] dapat menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap perikanan, bahan-bahan tersebut memiliki jejak karbon yang relatif rendah dan hampir tidak meninggalkan jejak dibandingkan dengan bahan-bahan nabati. Hal ini berpotensi mengarah pada pendekatan yang lebih seimbang dan berkelanjutan terhadap produksi makanan laut.
Harapannya, metrik nFifo dan alat yang mudah diakses untuk menghitungnya (tersedia di situs web Blue Food Performance[20], akan diadopsi oleh lembaga sertifikasi. Ini juga dapat mendorong agar indikator keberlanjutan yang lebih kompleks menjadi arus utama, yang memungkinkan konsumen membuat pilihan yang lebih bijak berdasarkan nilai gizi dan dampak lingkungan dari produk yang mereka beli.
References
- ^ menggiurkan (www.salmonscotland.co.uk)
- ^ minyak ikan (www.nhs.uk)
- ^ perkembangan otak, kesehatan mental, dan kognisi (www.sciencedirect.com)
- ^ 1990-an (www.sciencedirect.com)
- ^ volume pasokan bahan-bahan laut (www.tandfonline.com)
- ^ berkurang setengahnya (www.nature.com)
- ^ mengedepankan kandungan omega-3 (asc-aqua.org)
- ^ nilai jual utama (eatforum.org)
- ^ dua porsi (www.nature.com)
- ^ banyak limbah (www.sciencedirect.com)
- ^ produk sampingan makanan laut (dspace.stir.ac.uk)
- ^ US$8.000/ton (Rp130 jutaan) (www.tandfonline.com)
- ^ ikan sebagai pakan (journals.plos.org)
- ^ Fifo kurang dari 1 (www.sciencedirect.com)
- ^ Aquaculture Stewardship Council (asc-aqua.org)
- ^ Best Aquaculture Practices (www.bapcertification.org)
- ^ nutrisi Fifo (www.sciencedirect.com)
- ^ T. Schneider/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ bahan-bahan laut (www.sciencedirect.com)
- ^ Blue Food Performance (bluefoodperformance.com)
Authors: Richard Newton, Lecturer in Aquaculture, University of Stirling
Read more https://theconversation.com/kandungan-nutrisi-ikan-salmon-budi-daya-turun-drastis-259439