Riset: Pembersihan polusi udara di Cina dan Asia Timur kemungkinan jadi pemicu utama suhu Bumi semakin memanas
- Written by Laura Wilcox, Professor, National Centre for Atmospheric Science, University of Reading

Laju pemanasan global terus meningkat[1] sejak 2010, membawa kita pada tahun-tahun terpanas dalam sejarah.
Penyebab pasti dari semakin cepatnya kenaikan suhu Bumi ini masih belum sepenuhnya dipahami dan menjadi salah satu pertanyaan terbesar dalam dunia sains saat ini.
Studi terbaru kami[2] mengungkapkan bahwa penurunan polusi udara—terutama di Cina dan Asia Timur–menjadi salah satu alasan utama mengapa pemanasan global kini berlangsung lebih cepat.
Sebelumnya, kebijakan global untuk mengurangi emisi sulfur dari sektor pelayaran sempat disebut-sebut sebagai faktor penyebab[3]. Sulfur dioksida (SO₂) dari pembakaran bahan bakar kapal membentuk aerosol (partikel halus) di atmosfer yang meredam panas matahari masuk ke Bumi.
Hal itu secara tidak sengaja menekan laju pemanasan global. Ketika selubung itu hilang, maka Bumi memanas.
Namun, upaya itu baru dimulai pada 2020 dan dianggap terlalu lemah[4] untuk menjelaskan percepatan pemanasan global yang terjadi.
Para peneliti NASA menduga bahwa perubahan pola awan mungkin turut berperan, baik karena berkurangnya tutupan awan di wilayah tropis[5] maupun di Samudra Pasifik bagian utara[6].
Namun, satu faktor penting yang belum banyak dihitung secara rinci adalah dampak dari upaya besar-besaran negara-negara di Asia Timur—terutama Cina—dalam mengatasi polusi udara lewat kebijakan yang ketat.
Sejak 2013, emisi sulfur dioksida (SO₂) di Asia Timur sudah turun sebesar 75%. Upaya pembersihan polusi itu gencar dilakukan tepat ketika pemanasan global terasa semakin parah.
Studi kami[7] menelusuri keterkaitan antara perbaikan kualitas udara di Asia Timur dan suhu global. Riset ini melibatkan delapan tim pemodel iklim dari berbagai belahan dunia.
Kami menemukan bahwa udara yang tercemar selama ini mungkin telah menutupi dampak keseluruhan dari pemanasan global. Udara yang kini lebih bersih justru mengungkapkan lebih jelas kondisi sesungguhnya pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia.
Selain menyebabkan jutaan kematian dini[8], polusi udara “menyelubungi” sebagian panas matahari sehingga permukaan planet terasa lebih dingin. Jumlah polusi yang besar selama ini mampu menahan laju pemanasan global akibat emisi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia hingga sekitar 0.5°C[9] dalam satu abad terakhir.
Namun, ketika polusi udara dibersihkan—yang mana tentu ini sangat penting untuk kesehatan manusia—"payung buatan" itu ikut lenyap. Karena emisi gas rumah kaca tetap meningkat, permukaan Bumi kini memanas lebih cepat dari sebelumnya.
Read more: Hasil dua studi global baru: Bumi sudah melampaui batas pemanasan global 1,5°C[10]
Tim kami menggunakan 160 simulasi komputer dari delapan model iklim global. Dengan ini, kami bisa lebih akurat menghitung dampak polusi udara dari Asia Timur[11] terhadap suhu dan pola curah hujan global.
Kami mensimulasikan skenario pembersihan polusi yang serupa dengan yang terjadi di dunia sejak 2010. Hasilnya, terdapat tambahan pemanasan global sekitar 0,07°C.
Angka ini mungkin terlihat kecil dibandingkan total pemanasan global sejak 1850 (sekitar 1,3°C). Namun sebenarnya kenaikan itu cukup signifikan untuk menjelaskan percepatan pemanasan yang kita rasakan belakangan ini.
Apalagi kami telah mengeluarkan pengaruh fluktuasi suhu tahunan akibat siklus alami seperti El Niño, fenomena iklim di Pasifik yang menghangatkan suhu global.
Berdasarkan tren jangka panjang, seharusnya kita hanya mengalami pemanasan sekitar 0,23°C sejak 2010. Namun, pengamatan menunjukkan kenaikan suhu mencapai 0,33°C.
Tambahan 0,1°C ini sebagian besar bisa dijelaskan oleh pembersihan polusi udara di Asia Timur.
Faktor lain yang juga berperan adalah penurunan emisi sektor pelayaran[13] serta lonjakan konsentrasi metana[14] di atmosfer belakangan ini.
Polusi udara mendinginkan Bumi dengan cara mengubah sifat awan sehingga lebih banyak memantulkan sinar matahari. Pembersihan polusi udara di Asia Timur mengurangi efek bayangan ini di wilayah tersebut.
Berkurangnya polusi juga juga menurunkan jumlah polutan yang terbawa angin melintasi Samudra Pasifik utara. Ini membuat awan di Pasifik timur memantulkan lebih sedikit sinar matahari.
Pola perubahan di wilayah Pasifik Utara yang kami simulasikan dalam model studi ini cocok dengan apa yang terlihat dalam pengamatan satelit. Hasil pemodelan ataupun pengamatan suhu membuktikan kawasan tersebut memanas secara signifikan, khususnya di wilayah yang tertiup angin dari Asia Timur.
Penyebab utama pemanasan global tetaplah emisi gas rumah kaca. Mengurangi polusi udara adalah langkah yang perlu dan sudah seharusnya dilakukan.
Pembersihan ini bukan penyebab tambahan pemanasan, melainkan menghilangkan efek pendinginan buatan yang selama ini menutupi sebagian dampak dari perubahan iklim—seperti cuaca ekstrem dan konsekuensi lainnya.
Pemanasan global akan terus berlanjut selama beberapa dekade ke depan[15]. Dan tentu saja, emisi gas rumah kaca yang kita hasilkan di masa lalu dan yang masih kita hasilkan saat ini akan terus memengaruhi iklim hingga berabad-abad ke depan.
Sebaliknya, polusi udara dapat menghilang dari atmosfer dengan cepat. Jadi, percepatan pemanasan global akibat hilangnya efek pendinginan dari polusi ini kemungkinan hanya akan berlangsung sementara.
References
- ^ meningkat (www.carbonbrief.org)
- ^ Studi terbaru kami (www.nature.com)
- ^ penyebab (agupubs.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ terlalu lemah (acp.copernicus.org)
- ^ wilayah tropis (link.springer.com)
- ^ Samudra Pasifik bagian utara (link.springer.com)
- ^ Studi kami (www.nature.com)
- ^ jutaan kematian dini (www.who.int)
- ^ 0.5°C (www.ipcc.ch)
- ^ Hasil dua studi global baru: Bumi sudah melampaui batas pemanasan global 1,5°C (theconversation.com)
- ^ dampak polusi udara dari Asia Timur (iopscience.iop.org)
- ^ Shaun Robinson/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ pelayaran (agupubs.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ konsentrasi metana (www.nature.com)
- ^ selama beberapa dekade ke depan (www.ipcc.ch)
Authors: Laura Wilcox, Professor, National Centre for Atmospheric Science, University of Reading