Penyangkalan pemerkosaan massal Mei 1998 dapat memperburuk diplomasi Indonesia
- Written by Ayu Anastasya Rachman, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Bina Mandiri Gorontalo

● Fadli Zon menyangkal pemerkosaan 1998 berisiko mengulang kecaman dunia internasional terhadap Indonesia.
● Cara suatu bangsa menghadapi masa lalu sangat memengaruhi posisi diplomatik mereka di dunia internasional.
● Mengakui pemerkosaan Mei 1998 bisa jadi upaya membuktikan kepemimpinan moral dalam diplomasi Indonesia.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, yang menyebut kasus pemerkosaan massal Mei 1998 sebagai “rumor”, memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. Pernyataan ini juga muncul di tengah proyek penulisan ulang sejarah nasional yang dinilai berisiko mengaburkan fakta sejarah.[1][2]
Read more: Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998: Revisi sejarah picu kemarahan publik[3]
Padahal, Tragedi Mei 1998 bukan hanya membuka jalan menuju era Reformasi, tetapi juga berdampak besar terhadap citra dan hubungan internasional Indonesia.
Dunia internasional[4] mengecam kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan pembakaran, penjarahan, dan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk perempuan dari etnis Tionghoa.
Pemerkosaan juga memantik penerbitan dokumen khusus dari Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan (UN Special Rapporteur)[5].
Kecaman senada bisa saja terulang kembali apabila pemerintah terus menyangkal pemerkosaan Mei 1998. Tak hanya oleh masyarakat Indonesia, pengingkaran ini dapat merusak citra negara di mata dunia dan menghambat kerja sama internasional—seperti yang terjadi di masa lalu dan pengalaman negara-negara lainnya.
Dunia internasional mengecam Tragedi 1998
Komunitas global tak diam terhadap tragedi berikut pemerkosaan Mei 1998. Saat itu, pemerintah Indonesia dianggap gagal melindungi warganya[6], terutama kelompok minoritas.
Negara-negara seperti Singapura, Taiwan, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat (AS) secara terbuka mengecam pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka menilai bahwa Indonesia apatis dan tidak tanggap.[7][8][9]
Kecaman ini berdampak langsung pada hubungan diplomatik Indonesia. Beberapa negara mitra menunda kerja sama bilateral, terutama dalam bidang pendidikan dan budaya (pertukaran pelajar dan mahasiswa).[10]
Ketidakpercayaan terhadap komitmen Indonesia dalam menegakkan HAM menjadi penghalang dalam negosiasi internasional, termasuk dalam forum ASEAN dan PBB.[11]
Hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia Timur seperti Taiwan dan Hong Kong sempat memburuk karena banyak warga keturunan Tionghoa di negara-negara tersebut merasa bersolidaritas dengan korban di Indonesia[12].
Masyarakat etnis Tionghoa Filipina mengecam pemerintah Indonesia yang gagal meredam dampak kerusuhan Mei 1998 terhadap warga Tionghoa di Tanah Air.Beberapa komunitas diaspora dari etnis Tionghoa menyerukan boikot terhadap produk Indonesia dan menuntut pemerintah mereka untuk menekan Jakarta secara diplomatik.[13]
AS dan Uni Eropa sempat menempatkan Indonesia dalam pengawasan khusus terkait pelanggaran HAM. Bantuan luar negeri dan kerja sama militer sempat ditinjau ulang. Beberapa program ditunda hingga ada jaminan reformasi hukum dan perlindungan HAM.[14][15]
Citra negatif Indonesia pasca-kerusuhan Mei 1998 juga sempat berdampak pada sektor ekonomi. Investor asing menjadi ragu untuk menanamkan modal karena instabilitas sosial dan politik. [16]
Sektor pariwisata mengalami penurunan tajam, terutama dari wisatawan asal negara-negara yang mengecam tragedi[17] tersebut.
Ketidakmampuan Indonesia dalam menindaklanjuti laporan internasional pun memperkuat persepsi negatif[18] terhadap sistem hukum dan perlindungan HAM di Indonesia.
Belajar dari negara lain
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa cara suatu bangsa menghadapi masa lalu sangat memengaruhi posisi diplomatik mereka di dunia internasional.
Jerman berhasil membangun kembali reputasinya melalui pengakuan Holocaust dan pendidikan sejarah yang transparan.[19]
Sementara Austria mengalami hambatan diplomatik karena lama mengklaim diri sebagai korban Nazi, bukan pelaku.[20]
Jepang menghadapi ketegangan berkepanjangan dengan Korea Selatan dan Cina akibat minimnya pengakuan terhadap praktik “comfort women”[22] atau budak seks pada masa Perang Dunia II.
Pentingnya memori politik dalam diplomasi
Memori politik adalah ingatan kolektif suatu bangsa terhadap peristiwa-peristiwa penting yang membentuk identitas nasional dan arah kebijakan publik.
Kathrin Bachleitner dari University of Oxford menjelaskan[23], negara dapat menggunakan konstruksi memori kolektif secara strategis untuk membentuk citra tertentu di panggung internasional, terutama pascakonflik.
Read more: Mengenang Mei 1998: Antara ingatan kolektif dan harmoni antaretnis akar rumput[24]
Aleida Assmann, pakar teori memori budaya, menekankan bahwa pengelolaan memori yang terbuka dan jujur dapat menjadi sarana untuk membangun perdamaian[25]. Negara yang memiliki memori politik yang jujur dan terbuka cenderung lebih dipercaya oleh mitra internasional.
Sebaliknya, negara yang menutup-nutupi sejarah kelamnya berisiko dianggap tidak stabil secara moral dan politik. Memori politik yang sehat memungkinkan masyarakat untuk belajar dari masa lalu, mencegah pengulangan tragedi, dan membangun diplomasi yang berbasis nilai dan moral.
Strategi memperbaiki citra Indonesia
Pemerintah dapat mengeluarkan pernyataan resmi yang mengakui tragedi Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM dan menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga.
Pernyataan ini akan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap keadilan dan pemulihan.
Pembentukan lembaga independen untuk mengungkap fakta sejarah dan memberikan rekomendasi kebijakan juga dapat menjadi langkah penting. Afrika Selatan mendirikan lembaga ini pasca-apartheid.[26]
Selain itu, kurikulum nasional dapat mencakup pembahasan tentang tragedi Mei 1998 secara objektif. Harapannya, generasi muda memahami pentingnya keadilan, pluralisme, dan toleransi.
Indonesia dapat memperkuat diplomasi publik melalui kerja sama budaya, seni, dan pendidikan yang menekankan komitmen terhadap HAM dan keberagaman. Berbagai sarana diplomasi publik seperti festival budaya, pameran sejarah, dan pertukaran pelajar dapat membangun citra positif.
Kerja sama sama dengan lembaga seperti UN Women, UNESCO, dan Human Rights Watch untuk membangun program pemulihan dan advokasi korban dapat menunjukkan keseriusan Indonesia dalam memperbaiki masa lalu[28].
Diplomasi perlu kepemimpinan bermoral
Dalam era global yang menuntut transparansi dan akuntabilitas, pengakuan sejarah adalah fondasi penting bagi diplomasi yang bermartabat.
Indonesia berpeluang untuk menunjukkan kepemimpinan moral di kawasan dengan menghadapi masa lalu secara jujur dan bertanggung jawab.
Dengan langkah-langkah strategis, Indonesia dapat memperbaiki citra, memperkuat hubungan internasional, dan membangun masa depan yang lebih adil dan merangkul semua kalangan.
References
- ^ gelombang kritik dari berbagai kalangan. (www.bbc.com)
- ^ berisiko mengaburkan fakta sejarah. (www.kompas.id)
- ^ Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998: Revisi sejarah picu kemarahan publik (theconversation.com)
- ^ Dunia internasional (www.tempo.co)
- ^ Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan (UN Special Rapporteur) (perpustakaan.komnasperempuan.go.id)
- ^ dianggap gagal melindungi warganya (www.tempo.co)
- ^ Singapura, Taiwan, Malaysia, Thailand, (www.latimes.com)
- ^ mengecam pelanggaran HAM di Indonesia. (adst.org)
- ^ Indonesia apatis dan tidak tanggap. (www.tandfonline.com)
- ^ bidang pendidikan dan budaya (pertukaran pelajar dan mahasiswa). (www.jstor.org)
- ^ forum ASEAN dan PBB. (adst.org)
- ^ merasa bersolidaritas dengan korban di Indonesia (www.scmp.com)
- ^ menyerukan boikot terhadap produk Indonesia dan menuntut pemerintah mereka untuk menekan Jakarta secara diplomatik. (www.rchss.sinica.edu.tw)
- ^ pengawasan khusus terkait pelanggaran HAM. (irp.fas.org)
- ^ hingga ada jaminan reformasi hukum dan perlindungan HAM. (www.cfr.org)
- ^ instabilitas sosial dan politik. (adst.org)
- ^ negara-negara yang mengecam tragedi (www.vice.com)
- ^ memperkuat persepsi negatif (www.state.gov)
- ^ pengakuan Holocaust dan pendidikan sejarah yang transparan. (www.facinghistory.org)
- ^ korban Nazi, bukan pelaku. (www.dw.com)
- ^ (Yunhoo Lee/Flickr) (www.flickr.com)
- ^ “comfort women” (apjjf.org)
- ^ Kathrin Bachleitner dari University of Oxford menjelaskan (www.jstor.org)
- ^ Mengenang Mei 1998: Antara ingatan kolektif dan harmoni antaretnis akar rumput (theconversation.com)
- ^ membangun perdamaian (link.springer.com)
- ^ pasca-apartheid. (www.jstor.org)
- ^ (LBH Jakarta) (bantuanhukum.or.id)
- ^ memperbaiki masa lalu (katadata.co.id)
Authors: Ayu Anastasya Rachman, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Bina Mandiri Gorontalo