Demotivasi bukan kemalasan: Pahami sinyal psikologis yang satu ini
- Written by Nur'aini Azizah, Dosen Psikologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati

● Demotivasi adalah kondisi psikologis yang sering muncul saat makna, kendali, atau keterhubungan dalam aktivitas terganggu.
● Penyebabnya meliputi hilangnya relevansi tugas, beban kerja berlebih, otonomi kurang, kelelahan, dan rutinitas monoton.
● Ada beragam cara mengelola demotivasi. Mulai dari menemukan kembali makna personal, hingga menyesuaikan ekspektasi.
Pernah mengalami hari-hari ketika segalanya terasa berat? Pekerjaan menumpuk, tenggat waktu mendekat, tetapi dorongan untuk mulai seolah menghilang?
Banyak orang menganggap kondisi seperti ini sebagai kemalasan. Kita buru-buru menyalahkan diri sendiri: kurang disiplin, kurang motivasi, atau terlalu manja.
Padahal, dalam banyak kasus, yang terjadi bukan malas, melainkan demotivasi. Ini adalah kondisi psikologis[1] yang berkaitan erat dengan turunnya motivasi intrinsik atau dorongan yang datang dari dalam diri, bukan eksternal.
Demotivasi adalah pengalaman manusiawi. Mereka yang biasanya aktif dan penuh semangat pun bisa mengalaminya. Menurut teori Self-Determination (determinasi diri)[2], motivasi akan bertahan ketika tiga kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Tiga kebutuhan dasar manusia antara lain merasa mampu, memiliki kendali, dan terhubung dengan orang lain.
Jika salah satunya terganggu, motivasi bisa melemah tanpa kita sadari.
Maka, ketika semangat kerja atau belajar tiba-tiba meredup, mungkin yang kita butuhkan bukan nasihat motivasional, melainkan ruang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri.
Demotivasi vs kemalasan
Label “malas” sering kali melekat begitu saja pada seseorang yang terlihat tidak produktif. Padahal, dari sudut pandang psikologi, kondisi ini lebih kompleks.
Kemalasan cenderung dipahami sebagai sifat dan stigma yang melekat pada karakter seseorang. Sementara demotivasi[3] adalah keadaan psikologis yang bersifat sementara dan dipengaruhi oleh konteks.
Seseorang bisa saja terlihat tidak bergerak, tapi bukan berarti tidak peduli. Bisa jadi dirinya sedang mengalami konflik batin antara keinginan dan kapasitas, antara tanggung jawab dan keterbatasan energi mental. Artinya, demotivasi[4] bukanlah kekurangan kemauan, melainkan kehilangan arah atau makna.
Penelitian di Amerika Serikat (AS) pada 2017 menunjukkan bahwa persepsi terhadap relevansi tugas sangat menentukan tingkat motivasi seseorang. Ketika sebuah tugas tidak lagi terasa bermakna, semangat untuk mengerjakannya menurun drastis.[5][6]
Demotivasi juga bisa muncul ketika individu merasa tidak memiliki kendali atas apa yang mereka lakukan[7]. Dalam konteks pekerjaan atau studi, perasaan dikekang, dipantau berlebihan, atau tidak diberikan ruang untuk mengambil keputusan sendiri dapat secara signifikan mengikis motivasi.
Penyebab umum demotivasi
Penelitian tahun 2019 pada mahasiswa Papua menunjukkan bahwa persepsi atas makna berpengaruh besar terhadap motivasi jangka panjang[8]. Tanpa makna, seseorang akan kesulitan mempertahankan keterlibatan emosional dan kognitif dalam pekerjaannya[9].
Artinya, ketika tugas atau pekerjaan tidak lagi terasa penting, semangat pun mulai luntur. Aktivitas yang dulunya menyenangkan berubah menjadi rutinitas kosong.
Faktor lain yang sering memicu demotivasi adalah beban kerja yang berlebihan. Saat terlalu banyak hal harus dilakukan dalam waktu bersamaan, otak merasa kewalahan. Dalam kondisi ini, kita cenderung tidak tahu dari mana harus memulai.
Fenomena ini dikenal sebagai mental overload (kelebihan beban mental)[10]—tekanan kognitif yang terlalu besar sehingga menghambat pengambilan keputusan dan fokus. Alih-alih menjadi produktif, kita malah terdorong untuk menunda atau menghindari aktivitas.
Rasa kehilangan kendali juga memengaruhi motivasi. Ketika seseorang merasa dipaksa, diawasi terus-menerus, atau tidak diberi ruang untuk memilih, kebutuhan dasar akan otonomi menjadi tidak terpenuhi.
Demotivasi juga dapat muncul dari kelelahan emosional dan fisik yang tersembunyi. Banyak orang mengabaikan kebutuhan istirahat hingga tubuh dan pikiran memprotes secara halus.
Menurunnya motivasi sering kali merupakan cara tubuh “memaksa” kita berhenti sebelum benar-benar kehabisan energi. Burnout atau kelelahan psikologis yang kronis juga dapat melemahkan perasaan keterlibatan dan kompetensi[12], dua elemen penting dalam mempertahankan motivasi.
Menariknya, demotivasi juga bisa muncul bukan karena terlalu sibuk, tetapi justru karena rutinitas yang monoton. Ketika tidak ada tantangan baru atau ruang untuk tumbuh, seseorang bisa kehilangan gairah untuk terlibat[13].
Ini disebut sebagai boreout[14], yaitu kelelahan psikologis yang muncul karena kebosanan dan kurangnya makna dalam pekerjaan. Dalam jangka panjang, boreout bisa sama berbahayanya dengan burnout, karena sama-sama mengikis energi psikologis dan rasa keberdayaan.
References
- ^ kondisi psikologis (doi.org)
- ^ teori Self-Determination (determinasi diri) (link.springer.com)
- ^ demotivasi (doi.org)
- ^ demotivasi (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ sangat menentukan tingkat motivasi seseorang (doi.org)
- ^ semangat untuk mengerjakannya menurun drastis. (doi.org)
- ^ tidak memiliki kendali atas apa yang mereka lakukan (journals.sagepub.com)
- ^ motivasi jangka panjang (doi.org)
- ^ mempertahankan keterlibatan emosional dan kognitif dalam pekerjaannya (doi.org)
- ^ mental overload (kelebihan beban mental) (doi.org)
- ^ imtmphoto/shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ melemahkan perasaan keterlibatan dan kompetensi (doi.org)
- ^ kehilangan gairah untuk terlibat (www.tandfonline.com)
- ^ boreout (www.tandfonline.com)
- ^ reaksi normal (doi.org)
- ^ dapat menghidupkan kembali motivasi intrinsik (doi.org)
- ^ behavioral activation (doi.org)
Authors: Nur'aini Azizah, Dosen Psikologi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Read more https://theconversation.com/demotivasi-bukan-kemalasan-pahami-sinyal-psikologis-yang-satu-ini-262700