4 tanda Prabowo gagal paham atas pemikiran ekonomi ayahnya
- Written by Febby R. Widjayanto, Faculty Member and Assistant Professor, Universitas Airlangga

● Kebijakan yang dibuat Prabowo tidak mencerminkan buah pemikiran ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo.
● Prabowo terlalu mengutamakan pertahanan dan keamanan, bukan perbaikan institusi demokrasi.
● Sumitro mengedepankan pemberantasan korupsi, Prabowo membentuk lembaga-lembaga yang rentan jadi ladang korupsi.
Dalam pidato-pidatonya, Prabowo kerap mengklaim dirinya telah mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi ayahnya[1], Sumitro Djojohadikusumo. Ia juga disebut pernah mengatakan pada adiknya[2], Hashim Djojohadikusumo, bahwa ia telah “menjalankan program dari papi”.
Sumitro, yang pernah lima kali menjabat menteri[3] pada masa Orde Lama dan Orde Baru, adalah salah satu tokoh penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Ia menggagas Sumitro Plan[4] tahun 1951 guna mengatasi krisis ekonomi dan membangun kemandirian ekonomi dengan mengedepankan ekspor dan mengurangi impor.
Sumitro dikenal dan dikenang atas gagasan pengelolaan ekonominya yang berlandaskan pada tatanan politik kenegaraan untuk mencapai keadilan sosial. Ia pula yang mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Namun, jika Prabowo merasa ia telah mewujudkan mimpi Sumitro melalui pemangkasan anggaran di sektor krusial, seperti pendidikan serta kesehatan, lalu mengalihkannya untuk mendirikan Danantara; membangun Koperasi Merah Putih; dan melaksanakan program Makan Bergizi Gratis (MBG), maka ia salah kaprah dalam menangkap maksud sang ayah.
Pelaksanaan deretan kebijakan tersebut justru sama sekali tidak mencerminkan pemikiran ekonomi Sumitro secara holistik.
Setidaknya ada empat indikator yang menunjukkan bahwa kebijakan Prabowo justru berseberangan dengan cita-cita ayahnya.
1. Prabowo fokus ke pertahanan, bukan kesejahteraan
Salah kaprah Prabowo terletak pada kegagalannya memahami pembangunan nasional dalam bingkai ekonomi politik yang utuh.
Prabowo lebih mengedepankan pertahanan dan keamanan nasional sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi—sebagaimana tercermin dari alokasi anggaran yang besar di sektor pertahanan[7].
Pada waktu yang bersamaan, ia mengabaikan pelembagaan (institusionalisasi) politik yang baik, sehat, akuntabel, bebas dari korupsi, demokratis, dan inklusif.
Prabowo cenderung memaknai stabilitas politik secara sempit, hanya dalam pengertian perwujudan ketertiban sosial (social order) melalui kebijakan pertahanan dan keamanan saja. Padahal, itu tidak cukup untuk menciptakan sebuah iklim politik yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.
Ini tidak sejalan dengan pemikiran Sumitro dalam tulisannya “Recollections of My Career[10]” (1986). Menurut ia, lembaga demokrasi adalah jalan yang baik untuk melakukan penataan struktur ekonomi yang non-elitis dan mendukung distribusi kesejahteraan masyarakat.
Read more: Superholding BUMN memang diperlukan atau ajang gagah-gagahan?[11]
Institusi politik yang demokratis, akuntabel, dan tidak korup merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi ala Sumitro. Cara mewujudkannya adalah dengan reformasi hukum, birokrasi, serta pemberantasan korupsi.
Sementara itu, Prabowo melupakan esensi dari pelembagaan politik. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024[12] masih mencatatkan skor 37–artinya masih buruk.
2. Bangun lembaga baru, korupsi diabaikan
Ketidakpahaman Prabowo atas pandangan ayahnya sendiri telah menyebabkan masalah institusional dan etik yang menjangkiti kebijakan efisiensi anggaran. Ini terlihat dalam pembentukan Danantara dan Koperasi Merah Putih.
Pemerintah menggembar-gemborkan efisiensi anggaran[14], tetapi secara bersamaan tingkat korupsi tidak diberantas[15] dengan serius.
Padahal, hidup mayoritas rakyat berada dalam kondisi yang memprihatinkan akibat mengalami kemiskinan struktural[16] yang kronis.
Ini berseberangan dengan pemikiran Sumitro yang melihat bahwa di saat ekonomi mengalami penurunan atau bahkan krisis, efisiensi anggaran harus dibarengi dengan menutup kebocoran anggaran. Artinya adalah menindak dan menyelesaikan kasus korupsi.
Sumitro terinspirasi dari pemikiran ekonomi politik Keynesian[17] yang melihat mirisnya kondisi rakyat saat depresi ekonomi di tahun 1930-an. Pandangan ini ia pelajari saat menyusun disertasi di Erasmus University Rotterdam, Belanda.
Sementara Prabowo dengan cepat mendirikan Danantara, lembaga yang tata kelolanya bahkan tidak memenuhi prinsip good governance[18].
Danantara sarat akan problem akuntabilitas dan transparansi. Entitas ini sendiri tidak cukup memadai dalam menyediakan informasi publik yang memadai dan bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat, sebagaimana lembaga publik lainnya.
Read more: Koperasi Merah Putih berisiko tinggi jadi ladang korupsi baru[19]
Koperasi Merah Putih (KMP) pun menyimpan masalah kelembagaan yang berisiko tinggi[20] dan sangat rentan menjadi ladang korupsi baru[21], mengacaukan ekosistem usaha di desa, serta dapat menyulut konflik horizontal akibat kehadiran tengkulak-tengkulak baru.
3. Ideologi yang serampangan
Arah ekonomi politik Sumitro cenderung konsisten. Ini tercermin dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilahirkannya seperti industrialisasi dan Rencana Urgensi Perekonomian[22] (RUP) melalui gerakan Ekonomi Benteng pada tahun 1950-an. Kebijakan ini berbasis keilmuan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Sementara Prabowo malah jatuh dalam kubangan populisme[23] yang berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi. Pemikiran Sumitro sendiri sangat jauh dari unsur populisme.
Populisme hanyalah sebuah gerakan, bukan ideologi politik yang solid. Di banyak tempat, populisme lebih banyak mengarah pada politik arus kanan—baik itu konservatisme, atau bahkan fasisme. Sumitro sangat menentang keduanya[25].
Prabowo secara serampangan menggunakan gaya populisme[26] dalam retorika politik yang ia gaungkan demi melanggengkan kepentingan politisnya.
Kebijakan ekonomi Prabowo tampak disusun secara populis untuk jangka pendek keperluan rezim saja. Misalnya, implementasi Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak memperhatikan ruang fiskal yang kian terbatas, ketimbang fokus pada penyediaan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang lesu.
Ia menggunakan gaya berpolitik populis untuk menjustifikasi kebijakan ekonomi yang diambilnya.
Read more: Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi[27]
4. Sumitro tak antikritik
Perbedaan Prabowo dan Sumitro juga dapat kita amati melalui sikap Prabowo yang kerap menanggapi kritik dengan sinis[28].
Prabowo disebut-sebut alergi dengan protes atau demonstrasi[29]. Ia menganggapnya sebagai kegaduhan yang hanya mengganggu jalannya roda pemerintahan.
Sementara Sumitro justru sering mengkritik keras kebijakan-kebijakan ekonomi[31], baik di era Presiden Sukarno maupun Suharto, guna memastikan kebijakan ekonomi berada di jalur yang tepat.
Read more: Komunikasi publik kabinet 'gemoy' Prabowo belum transparan dan tak hiraukan kritik[32]
Dalam ekonomi politik, kritik adalah pondasi utama dalam tradisi ilmiah. Sebab, kritik akan membangun sekaligus menguji berbagai sintesis, pembaruan, dan penyempurnaan gagasan serta praktik-praktik ekonomi.
Kritik berfungsi sebagai koreksi kebijakan. Dari kritik yang keras, lahirlah pengetahuan (body of knowledge) dan penyempurnaan ilmu serta praktik ekonomi di dalam kehidupan.
Semuanya membuat kita jadi memahami paradigma ekonomi politik yang membentuk keadaan bangsa kita hari ini.
Dengan sangat percaya diri, Prabowo meyakini dirinya sudah di jalan yang benar mengikuti jejak ayahnya. Sayang beribu sayang, Prabowo bahkan tidak memahami sejarah dan konteks yang aktual dari pemikiran Sang “Papi”.
References
- ^ mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi ayahnya (www.instagram.com)
- ^ mengatakan pada adiknya (www.cnnindonesia.com)
- ^ lima kali menjabat menteri (tirto.id)
- ^ Sumitro Plan (katadata.co.id)
- ^ Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)/Wikimedia Commons (commons.wikimedia.org)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ anggaran yang besar di sektor pertahanan (www.tempo.co)
- ^ National Archive of Indonesia (commons.wikimedia.org)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ Recollections of My Career (www.tandfonline.com)
- ^ Superholding BUMN memang diperlukan atau ajang gagah-gagahan? (theconversation.com)
- ^ Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 (sustain.id)
- ^ Iljanaresvara Studio/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ menggembar-gemborkan efisiensi anggaran (djpb.kemenkeu.go.id)
- ^ korupsi tidak diberantas (antikorupsi.org)
- ^ kemiskinan struktural (uinsa.ac.id)
- ^ Keynesian (www.imf.org)
- ^ tidak memenuhi prinsip good governance (www.pilar.id)
- ^ Koperasi Merah Putih berisiko tinggi jadi ladang korupsi baru (theconversation.com)
- ^ masalah kelembagaan yang berisiko tinggi (celios.co.id)
- ^ rentan menjadi ladang korupsi baru (theconversation.com)
- ^ Rencana Urgensi Perekonomian (katadata.co.id)
- ^ kubangan populisme (www.lowyinstitute.org)
- ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ menentang keduanya (tirto.id)
- ^ gaya populisme (theconversation.com)
- ^ Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi (theconversation.com)
- ^ menanggapi kritik dengan sinis (theconversation.com)
- ^ alergi dengan protes atau demonstrasi (www.tempo.co)
- ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ mengkritik keras kebijakan-kebijakan ekonomi (www.tagar.id)
- ^ Komunikasi publik kabinet 'gemoy' Prabowo belum transparan dan tak hiraukan kritik (theconversation.com)
Authors: Febby R. Widjayanto, Faculty Member and Assistant Professor, Universitas Airlangga
Read more https://theconversation.com/4-tanda-prabowo-gagal-paham-atas-pemikiran-ekonomi-ayahnya-263627