Tak lagi gratis ataupun otomatis CPNS: Mengapa kebijakan sekolah kedinasan perlu ditinjau ulang
- Written by Adrian Azhar Wijanarko, Associate professor, Paramadina University

● Pemerintah berencana mencabut biaya gratis dan jalur otomatis CPNS dari sekolah kedinasan.
● Kebijakan ini berisiko mengurangi pasokan pegawai siap pakai dan akses bagi warga miskin.
● Solusi: beasiswa selektif, proyeksi kebutuhan ASN, dan transparansi rekrutmen.
Profesi pegawai negeri sipil (PNS) telah lama menjadi idaman banyak orang. Seleksi CPNS 2024 mencatat 3,9 juta pelamar[1]. Padahal, kursi yang tersedia hanya 250 ribu.
Read more: Data Bicara: Lebih dari 55% calon pekerja Generasi Z ingin menjadi PNS atau pegawai BUMN[2]
Di luar jalur reguler, ada jalan khusus menuju PNS, yaitu melalui sekolah kedinasan[3]. Lembaga pendidikan tinggi di bawah naungan kementerian atau lembaga tertentu memang dirancang menyiapkan calon pegawai sesuai kebutuhan birokrasinya masing-masing.
Sebut saja Politeknik Keuangan Negara STAN[4] yang mendidik calon auditor dan analis keuangan untuk Kementerian Keuangan. Ada pula Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)[5] yang melatih calon birokrat untuk ditempatkan di Kementerian Dalam Negeri maupun pemerintah daerah.
Ada juga Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS)[6] yang menghasilkan tenaga ahli di bidang data dan analisis statistik. Pun dengan Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG)[7] yang mencetak pakar cuaca dan gempa.
Sekolah kedinasan kerap dipandang sebagai jalur prestisius[8] karena mahasiswanya tidak hanya mendapat pendidikan gratis, tapi juga jaminan menjadi CPNS setelah lulus.
Namun, jalur khusus ini kemungkinan akan disetop. Pemerintah berencana mencabut fasilitas gratis sekaligus jaminan otomatis CPNS[9].
Jika diberlakukan, kebijakan ini memang bisa mengurangi beban APBN. Namun, di sisi lainnya berisiko menurunkan kualitas pelayanan publik, pasokan kepegawaian, serta komersialisasi di bidang pendidikan.
Menghemat anggaran
Alasan utama kemunculan kebijakan ini adalah beban fiskal. Negara mengucurkan Rp104,5 triliun[11] untuk membiayai sekitar 13 ribu siswa sekolah kedinasan. Angka ini lebih besar dibanding alokasi jutaan siswa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang hanya Rp91,4 triliun.
Pendanaan sekolah kedinasan memang menjadi tanda tanya besar di tengah tantangan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh warga negara. Meski masih kurang, duit ratusan triliun tersebut bisa dialihkan untuk memperbaiki mutu guru, sekolah di daerah terpencil, atau subsidi pendidikan tinggi.
Selain terkait biaya, isu sekolah kedinasan tidak langsung menjadi CPNS[12] juga menguat. Hal ini tentu saja akan memperkuat prinsip meritokrasi karena menempatkan semua pelamar ASN di titik berangkat yang sama.
Jabatan birokrasi tidak lagi ditentukan oleh jalur istimewa, melainkan kompetensi dan prestasi. Pendekatan ini diyakini dapat menghasilkan aparatur sipil negara yang benar-benar berkualitas dan profesional.
Beberapa pejabat bea cukai dan pajak, seperti Askolani[13] dan Bimo Wijayanto[14], tidak memiliki latar belakang sekolah kedinasan.
Risiko hilangnya motivasi dan komitmen CPNS
Namun, efisiensi anggaran bukan tanpa risiko. Risiko yang akan muncul adalah permasalahan terkait pasokan kepegawaian, birokrasi, dan pelayanan.
Lulusan sekolah kedinasan dididik sesuai kebutuhan teknis. Tanpa jalur khusus, instansi berisiko kehilangan tenaga siap pakai.
Jumlah ASN meningkat[15] dari sekitar 4,46 juta pegawai pada 2023 menjadi 5,05 juta pada 2025. Namun, di balik angka tersebut, proporsi PNS justru terus menurun lantaran jumlah pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) melonjak signifikan[16].
Meski membantu menutup kekurangan tenaga, sistem kontrak yang melekat pada PPPK berarti tidak adanya jaminan keamanan layaknya PNS. Skema PPPK yang ada juga memunculkan kekhawatiran akan stabilitas dan kualitas kinerja birokrasi[17].
Tanpa jaminan karier jangka panjang, pegawai kontrak berpotensi kurang memiliki motivasi dan keberlanjutan dalam menjalankan tugas. Ini dapat memengaruhi efektivitas pelayanan publik—meski komitmen pekerjaan PNS sebenarnya juga belum terjamin.
Risiko jangka panjang yang juga berpeluang muncul adalah terjadinya liberalisasi pendidikan. Jika biaya kuliah tidak lagi ditanggung negara, akses ke sekolah kedinasan berpotensi semakin terbatas bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Padahal, meskipun proses seleksi sekolah kedinasan bersifat elitis karena hanya menjaring sebagian kecil calon aparatur, jalur ini selama ini berfungsi sebagai mekanisme mobilitas sosial.
Jika pemerintah tidak lagi menggratiskan biaya pendidikan, fungsi strategis tersebut berisiko tereduksi. Alhasil, sekolah kedinasan tidak lagi menjadi jalur mobilitas sosial yang efektif.
Jalan tengah sekolah kedinasan
Jika skema baru sekolah kedinasan benar-benar diterapkan, ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh agar kualitas pelayanan publik tidak merosot, kebutuhan pegawai birokrasi tetap terjaga, dan akses pendidikan tidak jatuh ke tangan mereka yang mampu secara finansial saja.
1. Beasiswa selektif
Hal pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah menerapkan beasiswa dengan pembiayaan penuh bagi mahasiswa berprestasi atau dari keluarga kurang mampu. Negara menanggung biaya kuliah khusus kelompok tersebut. Sementara mahasiswa lain tetap membiayai pendidikannya sendiri.
Dengan cara ini, akses bagi kelompok rentan tetap terjaga tanpa membebani anggaran negara untuk seluruh mahasiswa.
Selain itu, skema beasiswa parsial juga dapat diterapkan. Beasiswa parsial berarti negara hanya menanggung sebagian dari total biaya pendidikan, bukan seluruhnya. Dalam penerapannya, skema ini bisa berbentuk pembiayaan tertentu saja misalnya negara hanya menanggung biaya kuliah inti seperti SPP atau uang semester, sementara biaya hidup seperti asrama, makan, dan transport ditanggung mahasiswa.
Contoh nyata skema parsial adalah LPDP parsial[19] (co-funding) untuk jenjang S2/S3, di mana LPDP hanya menanggung SPP, sementara biaya hidup ditanggung oleh mahasiswa atau sponsor lain.
Skema ini bisa diadaptasi untuk sekolah kedinasan agar akses pendidikan tetap terbuka bagi kelompok berprestasi maupun kurang mampu tanpa sepenuhnya membebani anggaran negara.
Selain itu, skema ini juga memastikan bahwa rekrutmen aparatur negara tetap berorientasi pada prestasi dan pengabdian, bukan sekadar kemampuan finansial.
2. Proyeksi kebutuhan
Langkah berikutnya adalah memperkuat proyeksi kebutuhan ASN dengan menghitung data pensiun dan beban kerja secara akurat. Proyeksi ini penting agar lulusan sekolah kedinasan tetap dapat terserap sesuai kebutuhan riil birokrasi.
3. Transparansi
Terakhir, jika tujuan kebijakan adalah benar-benar menghilangkan sifat eksklusif sekolah kedinasan, maka pemerintah harus membenahi skema rekrutmen CPNS secara serius.
Selama ini, proses seleksi kerap diwarnai praktik curang[20] dan jual-beli kursi.
Karena itu, apabila seluruh pelamar digabung dalam jalur umum, transparansi dan pengawasan ketat menjadi syarat mutlak untuk menjamin keadilan dan kualitas aparatur.
Dengan langkah-langkah ini, jalan tengah berpeluang tercapai. Negara tetap bisa menekan angka APBN tanpa mengorbankan kualitas ASN.
Read more: Rekrutmen CPNS belum inklusif kepada penyandang disabilitas, apa yang harus dibenahi?[21]
References
- ^ 3,9 juta pelamar (www.bkn.go.id)
- ^ Data Bicara: Lebih dari 55% calon pekerja Generasi Z ingin menjadi PNS atau pegawai BUMN (theconversation.com)
- ^ sekolah kedinasan (dikdin.bkn.go.id)
- ^ Politeknik Keuangan Negara STAN (pknstan.ac.id)
- ^ Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) (www.ipdn.ac.id)
- ^ Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) (www.stis.ac.id)
- ^ Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG) (stmkg.ac.id)
- ^ jalur prestisius (jadisekdin.id)
- ^ fasilitas gratis sekaligus jaminan otomatis CPNS (www.kompas.com)
- ^ anton kusnanto/shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Rp104,5 triliun (news.detik.com)
- ^ tidak langsung menjadi CPNS (www.kompas.com)
- ^ Askolani (djpk.kemenkeu.go.id)
- ^ Bimo Wijayanto (kumparan.com)
- ^ Jumlah ASN meningkat (www.cnbcindonesia.com)
- ^ melonjak signifikan (www.cnbcindonesia.com)
- ^ stabilitas dan kualitas kinerja birokrasi (journalversa.com)
- ^ tangguhpro/shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ LPDP parsial (lpdp.kemenkeu.go.id)
- ^ praktik curang (jateng.antaranews.com)
- ^ Rekrutmen CPNS belum inklusif kepada penyandang disabilitas, apa yang harus dibenahi? (theconversation.com)
Authors: Adrian Azhar Wijanarko, Associate professor, Paramadina University