DPR merespons kritik dengan menghina rakyat, tanda demokrasi makin mundur
- Written by Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta

● Anggota DPR justru menanggapi kritik rakyat dengan pernyataan yang menghina.
● Politik hinaan oleh elite dapat menyebabkan ketidakpuasan publik, sikap apatis, bahkan gerakan radikal.
● Narasi yang meremehkan aspirasi rakyat tidak boleh dianggap sebagai kesalahan kecil apalagi dinormalisasi.
Sudah cukup lelahkah kita, masyarakat, dengan “gebrakan” pemerintah selama beberapa pekan terakhir ini?
Salah satu fakta yang paling membuat publik geram adalah bahwa sejak September 2024, anggota DPR periode 2024-2029 menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan[1].
Rata-rata gaji dan tunjangan mereka naik dari Rp2,1 miliar per tahun di 2024 menjadi Rp2,9 miliar di 2025 atau sekitar Rp240 juta per bulan[2].
Read more: Gaji dan tunjangan anggota DPR lebih Rp100 juta per bulan: Perilaku elitis yang memicu skeptis publik[3]
Kenaikan anggaran untuk keseluruhan DPR juga melonjak 50%[4] dari Rp6,7 triliun di tahun 2024 menjadi Rp9,9 triliun di tahun 2025.
Ini jelas sebuah ironi di tengah gaung efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto dan kinerja DPR yang tidak memuaskan[5].
Protes masyarakat kemudian berujung rangkaian demonstrasi menuntut pembubaran DPR[6].
Menurut hukum tata negara, tuntutan ini memang tidak bisa dipenuhi karena UUD 1945 Pasal 7C berbunyi: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Namun, persoalannya bukan bisa atau tidak DPR dibubarkan, melainkan reaksi elite politik yang terkesan anti-kritik dan gagal menyikapinya secara dewasa.
Kritik dibalas hinaan
Salah satu komentar yang sangat tidak empatik dan tidak pantas dilontarkan oleh seorang wakil rakyat adalah pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni.
Ia menyebut orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”.[8]
Ada pula Nafa Urbach yang menjadikan macet sebagai dalih anggota DPR layak menerima tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan. Ia mengeluhkan macet setiap berangkat ke gedung parlemen Senayan, Jakarta Pusat, dari rumahnya di bilangan Bintaro.
Alih-alih meredam ketegangan, ucapan mereka justru menyingkap kecenderungan politik menghina (insult politics[9]): menempatkan aspirasi publik sebagai sesuatu yang bodoh, dangkal, atau tidak berdasar.
Ditambah lagi Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, saat dimintai tanggapan oleh wartawan perihal aksi demo di berbagai titik, malah menjawab[10] “Kita belum monitor demo. Kita lagi konsentrasi memberikan penghormatan kepada beliau-beliau yang betul-betul berjasa bagi bangsa dan negara.”
Ia seakan mengisyaratkan bahwa pemerintah menganggap protes publik bukan menjadi hal yang penting.
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan minusnya empati anggota DPR dan pejabat publik. Secara akademis, perilaku semacam ini bisa disebut sebagai gejala penurunan kualitas demokrasi.
Fenomena penurunan kualitas demokrasi
Demokrasi modern makin jarang yang runtuh akibat kudeta[11], tetapi terkikis secara perlahan.
Gejalanya nampak saat para elite mulai memperlakukan para kritikus sebagai “musuh” yang harus didiskreditkan, bukan sebagai mitra dialog yang memiliki hak untuk bersuara.
Para elite politik juga sering kali bereaksi terhadap pendapat berbeda dari publik dengan mendiskreditkan para pengunjuk rasa ketimbang berdiskusi tentang hal-hal yang rakyat keluhkan.
Kemerosotan kualitas demokrasi[13] ini tengah terjadi di banyak negara.
Praktik politik menghina oleh Presiden Donald Trump[14] di Amerika Serikat (AS), misalnya, telah sukses menjadi perusak kualitas demokrasi dan pemicu ketidakstabilan nasional.
Trump menggunakan istilah-istilah yang merendahkan[15] terhadap para kritikus, jurnalis, bahkan institusi sebagai bagian dari strategi mengikis kepercayaan publik terhadap lawan-lawan politiknya.
Kata “bodoh” dan “pembohong” kerap dia gunakan untuk mendiskreditkan narasi protes sehingga jurang antara elite dan massa semakin dalam.
Contoh lainnya adalah Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orbán[16]. Dia dan mesin medianya sering menyebut lawan-lawan politik sebagai “boneka anti-patriotik.” Ini adalah narasi yang tujuannya mengintimidasi dan meminggirkan mereka yang menantang status quo.
Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron menggambarkan Gerakan Rompi Kuning sebagai perusuh[17] yang melakukan kekerasan ekstrem. Padahal, hampir semua aksinya berlangsung damai.
“Gerakan Rompi Kuning”[18] yang bergulir di Prancis sejak 2018 bersifat spontan dan otonom, diinisasi oleh publik yang menolak kebijakan neoliberal Macron, salah satunya soal penerapan pajak bahan bakar.
Kemunduran demokrasi
Dalam semangat demokrasi, hal utama yang harus dijunjung tinggi adalah dialog terbuka dan sehat[19], dengan tujuan perbaikan.
Sementara narasi dan sikap politik menghina (insult politics) hanya akan memperburuk kualitas demokrasi.
Ada tiga konsekuensi jika anggota dewan dan pejabat tinggi lainnya terus menerus menghina rakyat:
1. Memicu polarisasi dan ketidakstabilan
Politik menghina dapat memicu polarisasi[21]. Perbedaan politik berubah menjadi permusuhan pribadi. Mentalitas “kita versus mereka” yang disebarkan lewat ucapan-ucapan yang merendahkan memperdalam perpecahan dalam masyarakat.
Hal ini membuat stabilitas nasional menjadi terganggu. Masyarakat yang terbelah tentu akan sulit mencapai konsensus apalagi bergerak maju secara bersama-sama.
2. Mendorong apatisme, bahkan radikalisme
Bila elite politik terus merendahkan rakyat, kepercayaan publik akan merosot dan masyarakat kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Read more: Akademisi: Berdoa tak cukup, Indonesia perlu pembangkangan sipil[22]
Ketidakpuasan ini dapat berubah menjadi sikap apatis atau, dalam kasus yang lebih parah, memicu gerakan radikal. Di sini, demokrasi tidak lagi menjadi jembatan antara rakyat dan pemimpinnya, melainkan sumber ketegangan.
3. Menormalisasi perilaku tidak demokratis
Rendahnya akuntabilitas pejabat terpilih dapat mempercepat kemunduran demokrasi[23], karena standar untuk perilaku politik yang dapat diterima akan terus melorot.
Dengan kata lain, ucapan merendahkan dan menghina bakal kian buruk bila tidak ada upaya koreksi dari elite dan masyarakat. Narasi yang meremehkan aspirasi rakyat tidak bisa dianggap sebagai kesalahan kecil apalagi dinormalisasi.
Untuk mencegah kualitas demokrasi Indonesia semakin terpuruk, para elite politik harus menegakkan nilai-nilai kerendahan hati, empati, dan penghormatan yang tulus terhadap suara rakyat.
Tanpa itu semua, keresahan di ruang publik hanya akan semakin intensif, mengancam fondasi demokrasi Indonesia.
References
- ^ Rp50 juta per bulan (www.aljazeera.com)
- ^ Rp240 juta per bulan (www.kompas.id)
- ^ Gaji dan tunjangan anggota DPR lebih Rp100 juta per bulan: Perilaku elitis yang memicu skeptis publik (theconversation.com)
- ^ melonjak 50% (www.tempo.co)
- ^ tidak memuaskan (www.kompas.id)
- ^ pembubaran DPR (www.tempo.co)
- ^ Stagehunter.id/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ “orang tolol sedunia”. (www.youtube.com)
- ^ insult politics (journals.openedition.org)
- ^ menjawab (www.antaranews.com)
- ^ Demokrasi modern makin jarang yang runtuh akibat kudeta (perpustakaan.komnasham.go.id)
- ^ Algi Febri Sugita/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ kualitas demokrasi (www.kompas.id)
- ^ Presiden Donald Trump (www.cambridge.org)
- ^ istilah-istilah yang merendahkan (www.nytimes.com)
- ^ Viktor Orbán (crd.org)
- ^ perusuh (www.lemonde.fr)
- ^ “Gerakan Rompi Kuning” (www.frontiersin.org)
- ^ dialog terbuka dan sehat (heinonline.org)
- ^ Oryzapratama/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ dapat memicu polarisasi (www.cambridge.org)
- ^ Akademisi: Berdoa tak cukup, Indonesia perlu pembangkangan sipil (theconversation.com)
- ^ mempercepat kemunduran demokrasi (www.hurstpublishers.com)
Authors: Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta