Mengapa pesona emas sebagai investasi teraman semakin pudar
- Written by David McMillan, Professor in Finance, University of Stirling

Harga emas sentuh rekor tertingginya[1] pada April lalu yang hingga kini masih terus stabil. Bagi penganut investasi konvensional, emas merupakan aset safe haven tidak seperti saham yang dianggap berisiko tinggi terutama di saat krisis ekonomi global.
Namun, pada Agustus ini, indeks saham S&P 500 juga mencapai rekor tertinggi[2] layaknya yang terjadi pada komoditas emas.
Mereka yang telah lama berinvestasi biasanya memprediksi[3] harga emas dan saham akan bergerak berlawanan arah[4]. Emas biasanya memiliki efek “lindung nilai” untuk mengimbangi kerugian (dan keuntungan) dari saham.
Namun, meskipun si “aman” (emas) dan si “berisiko” (seham) naik secara bersamaan, nilai emas yang dianggap lebih aman di masa-masa sulit justru bisa menurun.
Jika mengacu perkembangan fluktuasi harga emas, kenaikkan harga emas terjadi sebagai respons terhadap guncangan harga minyak pada resesi global tahun 1970-an.
Pun harga emas turun pada akhir 1990-an—bersamaan dengan terjadinya lonjakan pasar saham. Terakhir, harga emas turun ketika ekonomi global pulih setelah 2009.
Namun sejak 2009, harga emas menunjukkan banyaknya persamaan irama dengan saham. Dalam sebuah penelitian baru[5], yang juga melibatkan saya, ada beberapa alasan di balik pudarnya anggapan emas sebagai aset teraman.
Saat ini, ekonomi global sedang bangkit dari periode inflasi dan suku bunga tinggi. Bank-bank sentral sedang menurunkan suku bunga[6] (bahkan penurunan diprediksi terus berlanjut), untuk mendorong belanja rumah tangga dan investasi bisnis.
Realisasi angka pertumbuhan ekonomi umumnya positif[7], karena pendapatan perusahaan yang membaik. Selain itu terdapat sentimen positif dalam perekonomian tentang potensi AI dan perannya dalam pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Faktor-faktor inilah yang menjelaskan kenaikan pasar saham.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah (khususnya Iran dan serangan Houthi di Laut Merah) menimbulkan kekhawatiran bagi saham dan perekonomian secara luas dari sisi geopolitik. Keduanya dapat berdampak signifikan terhadap komoditas internasional utama seperti minyak dan pangan.
Ada juga risiko dari kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tarik ulur kepastian akan ancaman tarif yang dinaikkan dan kemudian ditunda—sebelum akhirnya benar-benar diberlakukan—membuat kondisi ekonomi global tidak kondusif.
Perang dan kebijakan perdagangan Trump menciptakan risiko dan ketidakpastian dalam perekonomian internasional. Hal ini menjadi sebab motivasi investor untuk membeli emas sehingga membuatnya lebih berharga.
Namun, ini tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa emas begitu diminati dan diperdagangkan mendekati titik tertinggi sepanjang masa. Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat lebih jauh ke belakang.
Setelah krisis dotcom (atau era web 1) di awal 2000-an, komoditas seperti emas mulai diperlakukan layaknya aset keuangan lainnya.
Puncaknya adalah dengan adanya dana bergulir untuk emas yang diperdagangkan di bursa (exchange-traded funds/ETF). ETF emas pertama kali diluncurkan pada tahun 2004. ETF ini pada dasarnya memungkinkan investor untuk membeli saham emas.
Sejak saat itu, dana ETF emas meningkat drastis, terutama setelah krisis keuangan global. Alhasil, emas dapat diperdagangkan seperti aset lainnya dan dapat menjadi andalan portofolio investasi. Transaksi ETF emas[8] meningkat tajam baru-baru ini.
Selain itu, status dolar AS sebagai mata uang dunia sedang terancam. Dolar AS saat ini berfungsi sebagai mata uang cadangan bagi bank sentral dan instrumen perdagangan serta pembayaran internasional, termasuk untuk komoditas utama.
Beberapa negara bahkan mempertimbangkan apakah mereka harus memperdagangkan komoditas seperti minyak dalam mata uang mereka sendiri[9].
Trump dan ketidakpastian yang ditimbulkannya justru membuat seruan mengganti dollar makin intens. Keraguan tentang status dolar ini telah mendorong bank-bank sentral untuk membeli lebih banyak emas[11] sebagai aset cadangan alternatif.
Sejak berakhirnya krisis keuangan global pada tahun 2009, dan sepuluh tahun belakangan, emas secara umum mengikuti jalur yang sama dengan saham. Meskipun akan selalu ada yang namanya deviasi atau anomali, hal ini menegaskan berakhirnya peran emas sebagai pelindung nilai terhadap penurunan harga saham.
Emas kini telah mapan sebagai aset investasi lain, bersama dengan saham, obligasi, dan komoditas lainnya. Artinya, saat ini, peran investasinya adalah sebagai bagian dari portofolio yang terdiversifikasi, bukan sebagai pelindung nilai.
Namun, bukan berarti emas kehilangan daya tariknya. Keterbatasan pasokan dan daya tariknya, baik untuk perhiasan maupun manufaktur, merupakan atribut yang langka dan berharga.
Dengan nilai intrinsiknya yang diakui di seluruh dunia, emas kemungkinan akan tetap diminati.
References
- ^ rekor tertingginya (news.sky.com)
- ^ rekor tertinggi (www.reuters.com)
- ^ memprediksi (www.macrotrends.net)
- ^ bergerak berlawanan arah (www.longtermtrends.net)
- ^ penelitian baru (www.sciencedirect.com)
- ^ menurunkan suku bunga (www.theguardian.com)
- ^ positif (www.bbc.co.uk)
- ^ Transaksi ETF emas (www.reuters.com)
- ^ mata uang mereka sendiri (theconversation.com)
- ^ James.Pintar/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ membeli lebih banyak emas (www.reuters.com)
Authors: David McMillan, Professor in Finance, University of Stirling
Read more https://theconversation.com/mengapa-pesona-emas-sebagai-investasi-teraman-semakin-pudar-264192