Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah
- Written by Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga

● Tragedi rantis Brimob melindas Affan Kurniawan menandai reformasi kepolisian makin mendesak.
● Resistensi internal Polri masih kuat, ditambah kultur hierarkis, nepotis, arogansi, dan tidak adanya transparansi.
● Pemerintah dan parlemen tidak menunjukkan kemauan politik untuk membenahi institusi kepolisian.
Setiap kali Kepolisian muncul di berita, yang tersaji bukan deretan prestasi, melainkan kabar tragedi. Dari kasus Ferdy Sambo[1] hingga tragedi Kanjuruhan[2], dari kekerasan jalanan[3] hingga korupsi[4], kepolisian makin jauh dari mandatnya: mengayomi dan melindungi rakyat.
Serangkaian fakta-fakta di atas menegaskan satu hal yang tidak bisa ditawar: reformasi total institusi kepolisian.
Namun, jalan menuju perubahan itu tidak akan mudah, sebab yang dipertaruhkan bukan sekadar perbaikan teknis, melainkan keberpihakan politik untuk membongkar budaya yang sudah lama mengakar.
Ancaman keamanan dan demokrasi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)[5] mencatat polisi melakukan sedikitnya 350 peristiwa penyalahgunaan senjata api sepanjang 2020-2024, yang menyebabkan 127 orang luka-luka dan 367 orang tewas.
Polri juga menjadi pelaku pelanggaran kebebasan sipil terbanyak[7] selama 2025 dengan 52 kasus, jauh di atas TNI (4 kasus) atau pemerintah (6 kasus).
Penelitian berbasis data selama 2005-2014[8] menunjukkan, penggunaan senjata api oleh polisi kerap terjadi meski mereka beroperasi di lingkungan dengan tingkat ancaman yang rendah. Artinya, penggunaan kekuatan berlebihan bukanlah insiden baru, melainkan praktik kekerasan yang sudah berlangsung lama.
Aparat kepolisian kerap menyalahgunakan wewenang penggunaan senjata[9], yang berujung melukai bahkan membunuh[10] warga.
Penggunaan kendaraan perintis (rantis) Brimob untuk melindas warga sipil yang merupakan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, 21 tahun, hanyalah satu dari banyak contoh penggunaan senjata sewenang-wenang oleh aparat.
Ironisnya, di tengah catatan panjang pelanggaran aparat, revisi Undang-Undang Polri justru berpotensi memperkeruh keadaan—membuat reformasi mundur.
Alih-alih membatasi kewenangan, naskah RUU Polri[11] justru memperbesar ruang kepolisian untuk bertindak tanpa kontrol.
Misalnya di pasal 16, Polri akan diberi wewenang atas ruang siber yang lebih luas, penyidikan, dan penyadapan tanpa pengawasan yang jelas. Ini berpotensi mengekang kebebasan sipil dan menjadikannya superbody.
Perluasan kewenangan semacam itu akan mengancam kedaulatan warga sipil. Sementara demokrasi hanya bisa bertahan[12] bila kekerasan negara ditekan lewat rule of law dan supremasi sipil.
Mengapa sulit mereformasi polisi?
Upaya mereformasi kepolisian di Indonesia sebenarnya sudah dimulai pasca-jatuhnya Orde Baru tahun 1998[13]–ketika tuntutan demokratisasi dan kontrol sipil atas aparat keamanan menguat.
Pada 1999, Polri resmi dipisahkan dari ABRI. Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menegaskan Polri sebagai institusi yang mandiri.
Namun, upaya reformasi kepolisian menyeluruh saat ini menghadapi dua hambatan besar: resistensi internal dan lemahnya kemauan politik.
Reformasi institusi akan sangat sulit berjalan jika resistensi internalnya sangat kuat, seperti yang terjadi di tubuh kepolisian.
Studi tentang Kepolisian di Asia Tenggara mengungkapkan indikasi kultur hierarkis, nepotis, dan kecenderungan impunitas yang telah lama mengakar[15]. Artinya, perubahan perlu membongkar mekanisme rekrutmen, promosi, hingga pola disiplin yang selama ini tidak transparan.
Sebagai ilustrasi, penelitian dari Sulawesi Selatan[16] mengungkapkan hierarki yang kaku di kepolisian menjadikan loyalitas kepada atasan, dalam kasus Sambo contohnya,[17] lebih diutamakan daripada kepatuhan pada aturan.
Dalam rekrutmen pun, praktik “titipan”[18] membuat seleksi calon perwira mengutamakan koneksi ketimbang kompetensi.
Bahkan publik sempat melihat kesan kebal hukum anggota kepolisian dari kasus AKBP Brotoseno yang aktif kembali setelah divonis korupsi[19], meski setelahnya diberhentikan dengan tidak hormat akibat tuntutan masyarakat.
Di mata publik, anomali-anomali perilaku aparat semakin mempertebal kesan arogansi kelembagaan, yakni ketika kepentingan organisasi ditempatkan di atas kepentingan warga yang seharusnya mereka layani.
Secara politik, hambatan utama reformasi Polri berada pada lemahnya penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power[20]).
Dalam sistem presidensil yang sangat berpusat pada eksekutif, dominasi pemerintah membuat legislatif cenderung hanya menjadi “tukang stempel[21]”.
Akibatnya, sulit berharap lahirnya UU Polri yang benar-benar berpihak pada publik, kecuali jika isinya justru menguntungkan eksekutif secara sempit.
Sebagai konsekuensinya, keberpihakan politik justru lebih sering pada kepentingan kekuasaan. Bagi eksekutif, Polri adalah instrumen penting untuk menjaga stabilitas politik, mengamankan kebijakan, hingga meredam kritik publik.
Sementara bagi legislatif, kedekatan patronase dan kalkulasi pragmatis membuat mereka enggan mengurangi kewenangan Polri, karena institusi ini kerap menjadi penopang dalam konsolidasi politik dan pemilu[22].
Tak heran, survei Ipsos Global Trustworthiness Index (2024)[23] mencatat hanya 28% masyarakat Indonesia yang percaya pada polisi.
Transparency International (2020)[24] bahkan menempatkan Polri sebagai institusi paling rawan suap: 41% warga yang berurusan dengan polisi mengaku harus menyuap.
Tanpa reformasi, kepercayaan publik terhadap Polri tidak akan pernah pulih.
Jalan reformasi menyeluruh
Berkaca dari kajian Pusat Jenewa untuk Tata Kelola Sektor Keamanan (DCAF)[25], reformasi kepolisian hanya bisa terwujud bila dibenahi dari sisi internal maupun eksternal.
Dari dalam, Polri perlu memperbaiki pengelolaan SDM agar rekrutmen hingga promosi berlangsung transparan, sekaligus membangun budaya organisasi yang berlandaskan disiplin, etika, dan penghormatan HAM.
Perubahan tersebut tidak boleh berhenti pada jargon, melainkan diwujudkan dalam praktik nyata yang konsisten.
Dari luar, reformasi membutuhkan pengawasan publik, media, parlemen, dan lembaga independen agar polisi tidak berjalan tanpa kontrol. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci agar kepolisian terbuka, transparan, dan akuntabel.
Jika perubahan tersebut gagal dilakukan, Polri berisiko semakin menjauh dari rakyat, bahkan menjadi “negara dalam negara” yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.
Dari George Floyd ke Affan Kurniawan
Reformasi kepolisian bukan hal baru. Studi tentang kepolisian dan masyarakat[26] mengungkapkan banyak negara-negara maju lainnya yang sudah menempuhnya dengan tujuan yang sama: mengubah nilai, budaya, kebijakan, dan praktik kepolisian agar lebih menghormati demokrasi, HAM, dan rule of law.
Menariknya, reformasi kepolisian di negara lain dimulai dari pola yang serupa: lahir dari tragedi dan jalan panjang.
Kasus George Flyod[27] di Amerika Serikat (AS), misalnya, memicu gelombang protes besar dan mendorong reformasi.
Namun hingga kini, perubahannya masih tersendat oleh tarik-menarik kepentingan politik dan resistensi birokrasi[28]. Ini menunjukkan bahwa reformasi kepolisian tidak pernah sederhana, bahkan di negara yang tradisi demokrasinya lebih mapan.
Di Indonesia, kasus kematian Affan[29] seharusnya menjadi alarm keras bahwa persoalan penyalahgunaan kewenangan aparat tidak boleh dipandang sebagai insiden terpisah.
Indonesia dapat menjadikan kasus Affan sebagai titik balik pembenahan kepolisian.
Namun semua upaya reformasi itu tidak akan berarti tanpa kemauan politik dan komitmen dari pemerintah dan parlemen. Tanpa keberanian menegakkan supremasi hukum dan menolak kompromi dengan kepentingan sempit, reformasi hanya akan berhenti di atas kertas.
Kekerasan aparat hanya dapat dikendalikan melalui pelembagaan yang baik, yakni membangun aturan kepolisian yang mengedepankan kepentingan publik, akuntabilitas dan transparansi, serta menghormati hak asasi manusia (HAM).
Tanpa akuntabilitas nyata, agenda reformasi kepolisian selamanya hanya akan menjadi ‘omon-omon’.
References
- ^ Ferdy Sambo (www.tempo.co)
- ^ tragedi Kanjuruhan (www.bbc.com)
- ^ kekerasan jalanan (lbhpers.org)
- ^ korupsi (icjr.or.id)
- ^ Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) (kontras.org)
- ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ pelaku pelanggaran kebebasan sipil terbanyak (kontras.org)
- ^ Penelitian berbasis data selama 2005-2014 (www.tandfonline.com)
- ^ penggunaan senjata (www.kompas.tv)
- ^ membunuh (www.bbc.com)
- ^ naskah RUU Polri (pshk.or.id)
- ^ hanya bisa bertahan (inkovema.de)
- ^ pasca-jatuhnya Orde Baru tahun 1998 (www.clingendael.org)
- ^ BahbahAconk/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ kultur hierarkis, nepotis, dan kecenderungan impunitas yang telah lama mengakar (vgmu.hse.ru)
- ^ penelitian dari Sulawesi Selatan (perspektif.ppj.unp.ac.id)
- ^ loyalitas kepada atasan, dalam kasus Sambo contohnya, (www.google.com)
- ^ “titipan” (www.tempo.co)
- ^ kasus AKBP Brotoseno yang aktif kembali setelah divonis korupsi (kumparan.com)
- ^ separation of power (www.hukumonline.com)
- ^ tukang stempel (tirto.id)
- ^ konsolidasi politik dan pemilu (www.tempo.co)
- ^ Ipsos Global Trustworthiness Index (2024) (www.ipsos.com)
- ^ Transparency International (2020) (www.transparency.org)
- ^ kajian Pusat Jenewa untuk Tata Kelola Sektor Keamanan (DCAF) (www.dcaf.ch)
- ^ Studi tentang kepolisian dan masyarakat (www.tandfonline.com)
- ^ Kasus George Flyod (theconversation.com)
- ^ tarik-menarik kepentingan politik dan resistensi birokrasi (www.themarshallproject.org)
- ^ kasus kematian Affan (www.tempo.co)
Authors: Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga