Asian Spectator

Men's Weekly

.

Negara tuduh pendemo “antek asing”: Retorika politik Prabowo untuk bungkam suara rakyat

  • Written by Radityo Dharmaputra, Lecturer in Foreign Policy Analysis, Russia-Eastern European-Eurasian Studies, Department of International Relations, Universitas Airlangga, Universitas Airlangga
Negara tuduh pendemo “antek asing”: Retorika politik Prabowo untuk bungkam suara rakyat

● Prabowo kerap menuduh adanya “tangan asing” dalam merespons demonstrasi berskala besar.

● Stigma antek asing bisa memicu bahkan melegitimasi tindakan represif, bahkan kekerasan, oleh aparat.

● Melabeli rakyat yang berdemo sebagai antek asing sangat menyesatkan dan merugikan demokrasi Indonesia.

Merespons gelombang protes publik beberapa hari terakhir ini, mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono mengklaim adanya keterlibatan “pihak asing”[1] dalam aksi-aksi tersebut.

Presiden Prabowo Subianto sendiri pun telah berkali-kali menuduh ada “antek asing yang tidak suka kalau Indonesia bangkit[2]” dalam merespons berbagai aksi protes maupun kritik publik. Biasanya tuduhan itu ia tujukan pada pendemo atau organisasi masyarakat sipil yang mengkritik pemerintah.

Menariknya, pada Senin, 1 September 2025, media Rusia Sputnik memberi pernyataan[3] mengutip propagandis Angelo Giuliano yang menyebut protes di Indonesia didalangi oleh pihak asing[4], seperti George Soros dan National Endowment for Democracy (NED).

Narasi pemerintah Indonesia yang menuding keterlibatan asing dalam setiap gelombang protes sama saja dengan menyederhanakan persoalan domestik yang kompleks menjadi sekadar konspirasi pihak luar.

Padahal, sebagian besar demonstrasi berakar pada keresahan nyata terkait ketidakadilan ekonomi dan lemahnya perlindungan sosial.

Tuduhan antek asing yang terus diulang[5] oleh Prabowo juga akan menciptakan disinformasi di ruang publik, sehingga setiap kritik berisiko hanya dianggap menjadi ancaman eksternal ketimbang dilihat sebagai ekspresi demokratis warga negara.

Narasi antek asing dapat berefek domino: terhapusnya substansi kritik publik dari wacana politik, ruang dialog menyempit, dan perampasan agensi rakyat—seolah masyarakat tidak mampu menyuarakan tuntutan serta kemarahan mereka tanpa campur tangan luar.

Mengkritik negara = antek asing?

Tuduhan keterlibatan asing bukan hal baru dalam politik Indonesia. Pada era Orde Baru, Suharto kerap menuduh[6] mahasiswa, aktivis buruh, hingga kelompok masyarakat sipil sebagai alat kekuatan asing yang ingin “mengganggu stabilitas nasional”. Tujuannya adalah menekan oposisi serta mencegah munculnya perlawanan terhadap pemerintah.

Tuduhan antek asing yang sering dilontarkan Prabowo terhadap massa yang berdemonstrasi dan kelompok masyarakat sipil dapat menutup ruang dialog publik.
Presiden Prabowo Subianto saat berpidato pada Hari Buruh Internasional di Monas, Jakarta, Jakarta, 1 Mei 2025. Donny Hery/Shutterstock[7]

Di Papua, protes menuntut keadilan sosial juga sering disamakan dengan “agenda asing” atau campur tangan LSM internasional[8], bahkan sampai dituduh makar dan pemberontakan. LSM pro-lingkungan kerap dilabeli “antek asing”[9]. Protes buruh dianggap didukung “kekuatan asing”, seperti yang terjadi saat demo UU Cipta Kerja tahun 2020[10].

Intinya, siapa pun yang menggugat kebijakan negara mudah sekali diseret oleh pemerintah dalam tuduhan konspirasi global.

Pola global: Dari Moskow ke Jakarta

Di Rusia, tuduhan bahwa oposisi digerakkan oleh Barat[11] sudah menjadi bagian dari narasi utama pemerintah. Istilah colour revolution[12] sering dipakai oleh elite di Rusia untuk menggambarkan bagaimana gerakan massa dianggap didukung secara politik dan didanai oleh kekuatan asing.

Pemerintah Rusia bahkan membuat aturan “foreign agent” sejak 2012[13]. Aturan ini digunakan untuk menstigma LSM, media, dan aktivis yang kritis terhadap pemerintahan Presiden Vladimir Putin.

Dalam berbagai protes di negara-negara bekas Soviet dan bekas komunis seperti Ukraina[14], Belarus[15], Kazakhstan[16], Georgia[17], hingga Serbia[18], media Rusia selalu cepat menuding Amerika Serikat (AS) atau Uni Eropa sebagai dalang di balik gerakan massa.

Kehadiran narasi serupa di Indonesia, terutama ketika dipromosikan oleh Sputnik, menunjukkan pengulangan pola disinformasi global.

Rusia seakan berusaha mengatakan bahwa protes di negara lain bukan sebagai ekspresi wajar masyarakat, tetapi sebagai operasi rahasia Barat.

Dengan demikian, media Sputnik tidak hanya memberitakan, tetapi juga ikut membentuk kerangka berpikir publik di Indonesia: bahwa protes besar mustahil murni lahir dari keresahan rakyat, pasti ada “dalang asing” di belakangnya.

Efektivitas dan resiko

Apa untungnya bagi pemerintah dan elite politik menuduh rakyat sebagai “antek asing”?

Prabowo menyebut pendemo dan LSM ditunggangi kepentingan asing. Tuduhan tersebut bertujuan mendelegitimasi kritik publik.
Poster yang menolak Rancangan Undang-Undang TNI dan menolak perluasan peran militer. Jakarta, 20 Maret 2025. Toto Santiko Budi/Shutterstock[19]

Pertama, negara dapat mendelegitimasi protes rakyat tanpa perlu menjawab substansi tuntutan. Jika demonstran dianggap sebagai “boneka CIA/Barat/Soros”, maka keluhan mereka tak lagi perlu didengarkan.

Logika ini bermasalah. Alih-alih mempertanggungjawabkan kebijakan, pemerintah malah memaksa demonstran untuk membuktikan bahwa mereka “bukan antek asing.”

Kedua, negara hendak menggerakkan sentimen nasionalisme untuk “melawan ancaman eksternal”. Padahal, protes berakar dari persoalan domestik, seperti tingginya pengangguran atau kebijakan kontroversial seperti tunjangan bagi anggota DPR.

Counter-frame[20] semacam ini, sayangnya, sering kali ampuh karena sebagai bekas negara jajahan, Indonesia berkali-kali mengalami intervensi dari luar. Alhasil, publik mudah diyakinkan bahwa kritik dalam negeri adalah “rekayasa asing.”

Ketiga, negara dapat mempersempit ruang demokrasi. Aktivis atau mahasiswa yang turun ke jalan rentan distigma sebagai pengkhianat bangsa.

Dalam situasi panas, stigma itu bisa memicu bahkan membenarkan represi oleh aparat. Dengan begitu, pemerintah justru mendorong konflik antarwarga serta membenturkan warga dengan polisi maupun TNI.

Parahnya lagi, narasi semacam ini bisa menciptakan siklus ketidakpercayaan. Publik yang sudah terpolarisasi akan semakin sulit membedakan mana kritik yang otentik dan mana kampanye manipulatif.

Pada akhirnya, masyarakat terjebak dalam arena kecurigaan yang terus-menerus. Stigmatisasi terus-menerus bisa melemahkan regenerasi aktivisme. Generasi muda akan semakin takut bergabung dengan gerakan sosial karena khawatir dicap antek asing.

Akibatnya, masyarakat sipil kehilangan daya hidup, dan partisipasi politik publik menyempit hanya pada jalur pemilu yang dikendalikan elite.

Narasi ‘antek asing’ menyesatkan

Melabeli protes warga belakangan ini sebagai “proyek CIA” atau “antek asing” sangat menyesatkan dan merugikan demokrasi Indonesia.

Alih-alih menuding ada antek asing, pemerintah seharusnya menjawab pertanyaan: mengapa begitu banyak orang merasa perlu turun ke jalan? Apa yang salah dengan mekanisme perumusan dan pengambilan kebijakan hingga suara rakyat hanya bisa didengar melalui protes massal?

Prabowo sempat menuduh aksi masa yang menuntut #BubarkanDPR sebagai indikasi makar dan terorisme.
Bendera bajak laut One Piece berkibar saat para mahasiswa melakukan protes atas kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan lapis baja polisi. Toto Santiko Budi/Shutterstock[21]

Narasi agen asing hanya mengalihkan perhatian kita dari problem struktural dan memperdalam paradoks poskolonial: merasa berdaulat di satu sisi, tetapi mereproduksi logika disinformasi global di sisi lain.

Demonstrasi bukan representasi asing

Protes adalah barometer demokrasi. Warga negara yang berunjuk rasa adalah subjek politik yang sah, bukan representasi kepentingan asing.

Demokrasi tidak bisa tumbuh dari kecurigaan yang terus-menerus terhadap rakyatnya sendiri. Protes bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa warga masih peduli pada arah kebijakan negara.

Menyebut demonstran sebagai “antek asing” hanya memperlemah legitimasi pemerintah dan mengabaikan substansi tuntutan yang lahir dari realitas sosial sehari-hari.

Justru dengan membuka ruang dialog dan memperkuat mekanisme representasi, pemerintah bisa menunjukkan bahwa Indonesia mampu keluar dari bayang-bayang kolonialisme dan jebakan disinformasi global.

Sebab, yang asing justru narasi konspirasi, sedangkan yang asli adalah suara rakyat menuntut partisipasi.

References

  1. ^ keterlibatan “pihak asing” (www.cnbcindonesia.com)
  2. ^ antek asing yang tidak suka kalau Indonesia bangkit (www.tempo.co)
  3. ^ memberi pernyataan (x.com)
  4. ^ protes di Indonesia didalangi oleh pihak asing (voi.id)
  5. ^ Tuduhan antek asing yang terus diulang (www.bbc.com)
  6. ^ Suharto kerap menuduh (www.abc.net.au)
  7. ^ Donny Hery/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  8. ^ “agenda asing” atau campur tangan LSM internasional (nasional.kompas.com)
  9. ^ LSM pro-lingkungan kerap dilabeli “antek asing” (news.republika.co.id)
  10. ^ demo UU Cipta Kerja tahun 2020 (www.aa.com.tr)
  11. ^ oposisi digerakkan oleh Barat (www.hrw.org)
  12. ^ “colour revolution” (eng.globalaffairs.ru)
  13. ^ aturan “foreign agent” sejak 2012 (www.hrw.org)
  14. ^ Ukraina (www.aljazeera.com)
  15. ^ Belarus (euvsdisinfo.eu)
  16. ^ Kazakhstan (www.reuters.com)
  17. ^ Georgia (sputnik-ossetia.ru)
  18. ^ Serbia (www.themoscowtimes.com)
  19. ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  20. ^ Counter-frame (www.jstor.org)
  21. ^ Toto Santiko Budi/Shutterstock (www.shutterstock.com)

Authors: Radityo Dharmaputra, Lecturer in Foreign Policy Analysis, Russia-Eastern European-Eurasian Studies, Department of International Relations, Universitas Airlangga, Universitas Airlangga

Read more https://theconversation.com/negara-tuduh-pendemo-antek-asing-retorika-politik-prabowo-untuk-bungkam-suara-rakyat-264369

Magazine

Negara tuduh pendemo “antek asing”: Retorika politik Prabowo untuk bungkam suara rakyat

Seorang laki-laki mengenakan kaos bertuliskan Ndasmu, ucapan kasar yang digunakan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengkritik para pengkritiknya dalam protes terhadap RUU TNI.Toto Santiko Budi/Shu...

Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah

Aparat polisi berbaris di halaman gedung DPR/MPR RI melakukan pengamanan selama aksi demonstrasi di Jakarta pada 22 Agustus 2024. Taufik Hidayatta/Shutterstock● Tragedi rantis Brimob melindas Af...

The banality of state violence: Why the Indonesian police have become a public enemy

Hashtag #PolisiMusuhBersama (Police are the common enemy) has gone viral among Indonesian social media users, as the Indonesian Police have, once again, sparked public anger due to a series of violent...