Serba salah menjadi Tionghoa: Isu diskriminasi di tengah demonstrasi
- Written by Eunike Mutiara Himawan, PhD in Social Psychology, Sampoerna University

● Isu diskriminasi pada masyarakat etnis Tionghoa muncul di tengah maraknya demonstrasi.
● Diskriminasi masyarakat Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari tragedi Mei 1998.
● Perlu strategi bersama untuk tetap fokus pada substansi demonstrasi.
Gelombang demonstrasi besar kembali melanda Indonesia. Rakyat mengkritik tunjangan anggota DPR[1] yang fantastis dan menuntut pembubaran DPR.
Kemarahan publik semakin menjadi setelah tersiar kabar tewasnya Affan Kurniawan[2], pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan perintis atau rantis Brimob. Aksi memanas di sejumlah kota[3]: penjarahan, pembakaran, dan bentrokan dengan aparat.
Huru-hara belakangan ini pun seakan masih membawa warisan tragedi Mei 1998. Misalnya, beredar pesan-pesan ancaman berbau ras seperti penjarahan toko, pesan intimidasi agar tidak keluar rumah, hingga larangan menggelar acara[4].
Bagi masyarakat Tionghoa, rasa cemas hadir dengan intensitas berbeda karena mereka terhubung dengan trauma masa lalu. Protes yang awalnya berfokus pada krisis moneter dengan cepat berubah menjadi kerusuhan 1998.
Ancaman-ancaman yang hanya muncul bagi masyarakat Tionghoa tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi etnis di Indonesia masih kental hingga saat ini.
Kenapa diskriminasi di Indonesia muncul di tengah demonstrasi?
Kerentanan warga etnis Tionghoa sebagai sasaran amuk dapat ditelusuri dari pola sejarah Indonesia. Sebuah krisis umumnya tak lepas dari praktik scapegoating yaitu mencari “kambing hitam”[5] dari kelompok minoritas.
Praktik pencarian kambing hitam atau othering[6] ini digunakan untuk mengalihkan publik dari isu struktural—seperti kegagalan pemerintah atau ketimpangan sosial—ke kelompok minoritas yang rentan. Pengalihan ini membuat sebuah masalah terkesan lebih “sederhana” karena penyebabnya seakan mengarah pada kelompok minoritas.
Tragedi 1998 menjadi contoh paling nyata ketika kemarahan atas krisis moneter dan politik meledak menjadi penjarahan dan kekerasan yang mayoritas diarahkan pada etnis Tionghoa. Sejak itu, narasi kerusuhan selalu dibayangi risiko pegeseran ke sentimen etnis, meski akar masalahnya bukan mereka.
Pola tersebut membuat warga etnis Tionghoa kembali merasa rentan dalam protes 2025. Di satu sisi mereka membawa trauma lintas generasi. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan memori publik bahwa konflik sosial masa lalu kerap ditunggangi isu etnis.
Akibatnya, sentimen etnis kerap membayangi—tak pernah benar-benar hilang dari dinamika politik dan ekonomi Indonesia.
Luka kolektif dari tragedi Mei 1998
Kecemasan masyarakat etnis Tionghoa di tengah konflik tidak muncul dari ruang kosong, melainkan dari memori sejarah yang pernah nyata dialami.
Inilah yang oleh para ahli disebut memori kolektif[7]. Konsep yang diperkenalkan Halbwachs dalam bukunya sejak 1953[8]) dan diperdalam oleh Brockmeier pada 2002[9]. Konsep ini menjelaskan bagaimana sebuah kelompok mengingat masa lalunya melalui cerita, nilai, dan narasi yang diwariskan.
Memori kolektif bukan hanya tentang fakta sejarah, tetapi juga tentang makna yang dilekatkan pada peristiwa tersebut. Makna itu bisa berubah seiring waktu, tergantung bagaimana suatu kelompok mengalami dan mengartikan kondisi sosial di sekitarnya.
Dalam konteks masyarakat etnis Tionghoa Indonesia, memori kolektif tragedi 1998[10] tetap hidup karena absennya penyelesaian hukum dan pengakuan negara.
Read more: Pemerkosaan massal Mei 1998: Narasi sejarah yang terbelah antara Tionghoa dan non-Tionghoa[11]
Sikap diam sebagian besar masyarakat saat itu justru menambah beban psikologis, menciptakan rasa waswas yang bertahan lintas generasi. Walau intensitas ketakutan berbeda-beda, sebagian besar tetap menyimpan kewaspadaan.
Dalam sisi positif, memori kolektif itu melahirkan mekanisme penjagaan diri yang lebih ketat. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi bara ketakutan yang setiap saat dapat kembali menyala.
Jangan lupakan fokus demonstrasi
Demonstrasi kali ini sejatinya berakar[12] pada isu kesenjangan sosial dan ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah dan DPR. Publik menuntut transparansi, akuntabilitas, dan penghapusan keistimewaan berlebihan yang dinikmati elite, terutama DPR.
Namun, di tengah kuatnya suara soal kesenjangan, muncul upaya untuk memunculkan kembali isu diskriminasi etnis yang berpotensi memecah perhatian masyarakat.
Read more: Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis[13]
Provokasi ini bisa menimbulkan ketakutan dan menggeser narasi dari tuntutan utama menjadi perdebatan soal identitas. Padahal, fokus sesungguhnya perlu diarahkan pada perbaikan sistem politik dan ekonomi yang timpang, bukan pada penciptaan musuh bersama dari kelompok minoritas.
Maka dari itu, setiap dari kita harus fokus pada isu tersebut dan tidak mudah terjebak dalam politisasi isu etnis yang dimainkan oleh pihak-pihak provokatif.
Beberapa orang mulai menyerukan agar publik tidak terprovokasi isu etnis. Ajakan ini menunjukkan adanya kesadaran bersama akan bahaya perpecahan.
Kesadaran ini tentunya bagus. Namun, perlu diingat bahwa memori kolektif tidak bisa begitu saja dihapus. Ia akan selalu hadir, membentuk cara sebuah kelompok merespons situasi krisis.
Strategi untuk tetap fokus
Kita semua bertanggung jawab untuk tetap terfokus pada isu utama demonstrasi. Masing-masing dari kita perlu mengambil peran aktif untuk meredam potensi provokasi dan menjaga narasi agar tidak bergeser ke isu etnis.
Kita dapat melakukannya dengan membagikan informasi yang akurat terkait jalannya aksi, serta bersikap selektif dalam menyebarkan kabar yang berpotensi menimbulkan ketakutan tanpa dasar.
Sikap kritis terhadap informasi menjadi kunci agar energi kolektif tidak tersedot pada isu yang menyesatkan, melainkan diarahkan untuk mendorong perubahan yang benar-benar dibutuhkan.
Read more: DPR merespons kritik dengan menghina rakyat, tanda demokrasi makin mundur[14]
Warga Tionghoa masih bisa memilih untuk tidak terjebak pada trauma masa lalu. Memori kolektif memang tidak bisa dihapus, tetapi dapat dimaknai ulang—dari pengalaman kelam menjadi pelajaran berharga.
Tanpa langkah konkret, sejarah menunjukkan sentimen etnis bisa cepat diarahkan menjadi amarah kolektif. Tragedi Mei 1998 membuktikan krisis ekonomi dapat bergeser menjadi kekerasan etnis, terutama bila dipicu provokasi politik.
Oleh karena itu, potensi diskriminasi Tionghoa untuk memicu kerusuhan seperti Mei 1998 tetap ada bila tidak dikelola dengan kewaspadaan dan kepemimpinan yang kuat.
References
- ^ tunjangan anggota DPR (www.tempo.co)
- ^ Affan Kurniawan (theconversation.com)
- ^ Aksi memanas di sejumlah kota (jatim.antaranews.com)
- ^ larangan menggelar acara (www.kompas.com)
- ^ “kambing hitam” (www.tionghoa.info)
- ^ othering (www.mdpi.com)
- ^ memori kolektif (buletin.k-pin.org)
- ^ Halbwachs dalam bukunya sejak 1953 (books.google.co.id)
- ^ Brockmeier pada 2002 (journals.sagepub.com)
- ^ memori kolektif tragedi 1998 (journals.sagepub.com)
- ^ Pemerkosaan massal Mei 1998: Narasi sejarah yang terbelah antara Tionghoa dan non-Tionghoa (theconversation.com)
- ^ berakar (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis (theconversation.com)
- ^ DPR merespons kritik dengan menghina rakyat, tanda demokrasi makin mundur (theconversation.com)
Authors: Eunike Mutiara Himawan, PhD in Social Psychology, Sampoerna University