Dugaan blokir TikTok Live saat demo: Upaya membungkam ekspresi publik?
- Written by La Ode Rifaldi Nedan Prakasa, Research Assistant, The University of Western Australia

● Pemerintah mencoba membungkam ekspresi publik dengan dalih moderasi konten dan mencegah disinformasi.
● Tindakan “moderasi” sama saja membatasi narasi politik publik, bukan mendorong kepentingan publik.
● Pemerintah harusnya mengutamakan transparansi dan perlindungan terhadap kebebasan pers.
Gejolak politik Indonesia saat ini memicu gelombang ekspresi publik di ruang digital. Publik mengekspresikan kekecewaan di media sosial atas kebijakan fantastisnya nilai gaji dan tunjangan[1] anggota DPR.
Hal yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat yang sulit mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Puncaknya, ada aksi represif aparat[2] yang menewaskan masyarakat sipil.
Sayangnya, alih-alih memberikan transparansi dan membuka ruang diskusi dengan masyarakat, pemerintah mencoba membungkam ekspresi publik dengan dalih “moderasi konten” dan mencegah disinformasi.
Pada bulan Agustus[3], Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi[4]) memang sempat menghubungi sejumlah perwakilan platform media sosial seperti TikTok dan Meta dan berencana akan memanggil mereka ke Jakarta.
Tak lama setelah itu, pihak TikTok Indonesia mengakui membekukan sementara fitur live steaming[5]. Alhasil tidak ada laporan jurnalisme warga terkait kondisi terkini langsung yang terjadi di lapangan.
Langkah pemerintah tersebut diikuti dengan upaya-upaya lainnya, seperti adanya dugaan imbuan KPI[6] untuk tidak menayangkan aksi demonstrasi berlebihan.
Terbaru, pemerintah dan kepolisian memblokir 592 akun media sosial[7] yang dianggap membuat konten “penghasutan”. Bahkan, polisi menangkap Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen karena dugaan serupa[8].
Sikap pemerintah terlihat sekali amat reaktif. Hal ini dapat memicu kekhawatiran publik akan potensi pembatasan kebebasan berekspresi.
Moderasi konten vs sensor negara
Moderasi konten[9] secara umum dapat diartikan sebagai proses penyaringan atau penghapusan konten oleh platform (e.g. Meta, TikTok) berdasarkan panduan komunitas. Pendekatannya cenderung bottom-up[10] atau berbasiskan pengaduan.
Secara logika, platform bertanggung jawab memastikan ruang digital bebas dari disinformasi, ujaran, kebencian, hingga konten terorisme dan pornografi anak.
Dalam praktiknya, moderasi konten berbasis pada standar internal platform dan dipandang sebagai “self-regulation[11]”.
Sementara itu, jika ada intervensi negara[12] dalam membatasi akses informasi dalam bentuk baik pemblokiran, pembekuan fitur, maupun penghapusan konten, ini masuk dalam kategori sensor pemerintah.
Pada umumnya, pemerintah melakukan hal tersebut atas landasan keamanan nasional dan stabilitas politik.
Dalam beberapa literatur ilmiah, hal ini sama dengan “otoritarianisme digital[14]”. Artinya ada campur tangan pemerintah dalam teknologi digital sebagai alat kontrol narasi publik dan membatasi kebebasan berekspresi dan jurnalisme warga.
Penyensoran suara publik di platform digital
Ditinjau dari sisi literatur, ada dua alasan mengapa tindakan pemerintah dapat lebih tepat dikategorikan sebagai sensor ketimbang moderasi konten, setidaknya atas dua alasan.
Pertama, intervensi pemerintah[15], bukan sekadar kebijakan internal platform, langkah preventif dalam moderasi konten seharusnya berbasis panduan komunitas.
Memang TikTok menjelaskan kepada publik bahwa pembekuan adalah langkah sukarela. Namun, momen tersebut bertepatan terjadi setelah pemerintah memberikan perintah untuk memperkuat moderasi konten.
Dikutip dari Reuters[16], Deputi Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, bahkan menyebutkan bahwa perusahaan akan diberikan sanksi ketat mulai dari denda, penutupan akses dan pembekuan layanan, hingga pencabutan dari daftar penyelenggara sistem elektronik jika tidak mengikuti arahan pemerintah.
Kedua, moderasi konten dilakukan dalam konteks protes rakyat dan pemerintah cenderung bersikap reaktif. Intervensi signifikan dalam menghadapi disinformasi di ruang digital baru dilakukan setelah konten politik memicu kegaduhan.
Tentunya, pendekatan ini menciptakan persepsi kalau tindakan moderasi sebagai upaya membatasi narasi politik ketimbang mendorong kepentingan publik.
Seharusnya, pemerintah bisa mengambil langkah pencegahan untuk menuntut transparansi algoritma dan pelabelan konten berisiko[17].
Upaya lainnya, beredar di sosial media juga surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Provinsi DKI Jakarta, Komisi menerbitkan imbuan agar stasiun TV tidak menayangkan secara langsung kejadian demonstrasi yang bermuatan kekerasan secara berlebihan.
Praktik ini adalah bentuk indirect censorship[18], dikarenakan adanya narasi pembatasan kebebasan pers.
Terlebih lagi, imbauan tersebut secara tidak langsung memberikan informasi kepada media yang tidak patuh berpotensi melanggar standar penyiaran, sehingga ada risiko sanksi administratif, apalagi dengan narasi awal menggunakan rujukan undang-undang dan kode etik jurnalisme. Hal ini berpotensi memicu self-censorship[20] dari warga.
Pemerintah memperkeruh suasana
Sebagai kesimpulan, pembatasan akses digital dan tekanan terhadap media menyebabkan informasi yang diterima oleh publik menjadi terbatas dan bias.
Upaya lanjutan pemerintah yang dilakukan pada aksi demonstrasi besar kemarin pun cenderung memberikan kesan bahwa pemerintah sedang membungkam ekspresi publik.
Pemerintah sebaiknya bisa mengutamakan transparansi dan perlindungan terhadap kebebasan pers dan berpendapat masyarakat. Yang tidak kalah penting, pemerintah harus mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi secara konstruktif.
Segala bentuk sensor, hanya akan menurunkan kredibilitas dan memperkeruh ketegangan sosial.
References
- ^ fantastisnya nilai gaji dan tunjangan (tirto.id)
- ^ aksi represif aparat (www.washingtonpost.com)
- ^ Pada bulan Agustus (tirto.id)
- ^ Komdigi (www.cnbcindonesia.com)
- ^ live steaming (www.tempo.co)
- ^ imbuan KPI (www.detik.com)
- ^ memblokir 592 akun media sosial (nasional.kompas.com)
- ^ dugaan serupa (www.cnnindonesia.com)
- ^ Moderasi konten (yalebooks.yale.edu)
- ^ bottom-up (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ self-regulation (link.springer.com)
- ^ intervensi negara (freedomhouse.org)
- ^ Ynwrahman Picture/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ otoritarianisme digital (www.cambridge.org)
- ^ intervensi pemerintah (www.reuters.com)
- ^ Reuters (www.reuters.com)
- ^ pelabelan konten berisiko (cjel.law.columbia.edu)
- ^ indirect censorship (revista.drclas.harvard.edu)
- ^ Algi Febri Sugita/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ self-censorship (www.jstor.org)
Authors: La Ode Rifaldi Nedan Prakasa, Research Assistant, The University of Western Australia