Perlukah pasangan mengetahui fantasi seksual kita?
- Written by Matt Kimberley, Assistant Lecturer in Psychology, Birmingham City University

Aktor serial X-Files Gillian Anderson, baru saja merilis buku tentang fantasi seksual. Buku berjudul Want[1] tersebut merangkum berbagai fantasi seksual para perempuan dari seluruh dunia.
Anderson bukanlah penulis yang pertama kali mengeksplorasi topik tersebut.
Pada tahun 1973, penulis asal Amerika Serikat Nancy Friday merilis buku berjudul My Secret Garden[2]. Setiap cerita dalam buku ini menyajikan potret menarik soal hubungan perempuan dengan seksualitas mereka dari zaman ke zaman.
Buku karya Nancy sempat memicu kontroversi pada masanya, tetapi kini dianggap berperan penting dalam mendorong pandangan yang lebih terbuka dan sehat terhadap seksualitas.
Meski cara pandang, penggunaan bahasa, serta bentuk fantasi seksual antara zaman dulu dan sekarang banyak berubah, kedua buku tersebut memiliki beberapa kesamaan.
Kesamaan pertama: fantasi bertema hubungan asmara di dunia kerja masih punya daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Kesamaan kedua: perempuan masih cenderung malu akan fantasi seksualnya sendiri.
Riset terdahulu menemukan bahwa mayoritas orang dewasa (tanpa memandang gender) memiliki fantasi seksual[3]. Temuan ini juga mengindikasikan banyak orang yang bimbang menceritakan fantasi seks mereka kepada pasangan.
Selama empat tahun terakhir, kami meneliti apa saja yang memengaruhi keputusan seseorang dalam mengungkapkan fantasi seksual mereka—dan seperti apa reaksi yang mereka terima.
Berbagai fantasi mempererat hubungan
Para perempuan yang muncul di buku My Secret Garden dan Want punya sikap berbeda soal fantasi seksual mereka.
Bagi mereka yang terbuka soal fantasi seks, keterbukaan membuat hubungan mereka semakin bergairah. Namun, ada juga yang memilih menyimpannya rapat-rapat.
Kami mencari tahu penyebab perbedaan tersebut lewat penelitian yang dirilis tahun 2025 dalam Journal of Sex Research[4]. Kami meminta 287 orang untuk merefleksikan fantasi seksual baru-baru ini ataupun yang sudah lama mereka miliki.
Kami menemukan bahwa lebih dari 69% partisipan pernah mengungkapkan fantasi seksual mereka kepada pasangan. Lebih dari 80% di antara mereka, mendapatkan pengalaman positif karena keterbukaan tersebut.
Alasan utama para peserta mengungkapkan fantasi seksual mereka adalah demi memenuhi hasrat seksual. Misalnya, banyak partisipan berharap dengan saling berbagi fantasi seks, mereka bisa mewujudkannya bersama pasangan.
Sebagian lainnya merasa berbincang tentang fantasi seksual menjadi momen yang menggairahkan. Ada pula yang merasa bahwa berbagi hasrat tersembunyi membantu mereka lebih memahami satu sama lain.
Beberapa pasangan mengaku merasa aman berbagi fantasi seks, karena punya komitmen yang tinggi, serta sangat menghargai kejujuran, keterbukaan, dan kepercayaan di antara mereka.
Meski begitu, ada pula yang membagikan fantasi seks sebagai upaya terakhir dalam menyelamatkan kehidupan seksual mereka yang tak memuaskan.
Merasa malu bikin enggan berbagi
Alasan utama kelompok peserta lain enggan menceritakan fantasi seksual mereka adalah karena merasa topiknya sangat tabu. Sesuai kisah di buku My Secret Garden maupun Want, beberapa partisipan malu dengan fantasi mereka karena merasa terlalu ekstrem dan tak pantas untuk diceritakan ke pasangan.
Beberapa orang—terutama yang pasangannya tidak merespons positif percakapan soal topik serupa sebelumnya—khawatir menerima reaksi yang dapat mengganggu hubungan mereka.
Kami juga menemukan bahwa sebagian individu merasa fantasi seksual adalah kenikmatan personal yang tak ingin mereka diskusikan kepada siapa pun.
Kami mencari tahu lebih jauh persoalan ini dalam penelitian lanjutan yang masih dalam proses publikasi. Kami menemukan bahwa karakter hubungan menjadi faktor utama yang memengaruhi keputusan seseorang dalam membagikan fantasi seksual mereka.
Pasangan yang gemar mengeksplorasi seks cenderung lebih terbuka soal fantasi seksual.
Selain itu, bentuk fantasi seksual turut memengaruhi keputusan seseorang dalam membagikannya. Seseorang cenderung tak menceritakannya, ketika merasa fantasi seks mereka tak bisa diterima oleh pasangan atau berpotensi merusak hubungan (misalnya keluar dari monogami).
Bahkan bagi seseorang yang pernah membagikan fantasi mereka, sebenarnya mereka masih memiliki setidaknya satu fantasi lain yang tak ingin diungkapkan.
Meski kami menemukan bahwa mayoritas orang-orang yang membagikan fantasi seksual mereka mendapat reaksi positif, tetapi proses menuju keputusan itu bisa sangat rumit. Sebagian orang juga punya alasan kuat untuk tetap menyembunyikan fantasi mereka.
Semoga kehadiran buku seperti Want bisa mengurangi rasa malu yang dirasakan seseorang dalam membagikan fantasi seksual mereka. Namun, melihat kemiripannya dengan buku yang terbit 50 tahun lalu, pemahaman dan keterbukaan kita soal seksualitas agaknya masih sangat panjang.
Kezia Kevina Harmoko, mahasiswa Universitas Ciputra berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.
References
- ^ Want (www.nytimes.com)
- ^ My Secret Garden (www.theguardian.com)
- ^ memiliki fantasi seksual (www.sciencedirect.com)
- ^ Journal of Sex Research (www.tandfonline.com)
- ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
Authors: Matt Kimberley, Assistant Lecturer in Psychology, Birmingham City University
Read more https://theconversation.com/perlukah-pasangan-mengetahui-fantasi-seksual-kita-262331