Bagaimana budaya populer seperti komik bisa memantik perlawanan terhadap rezim
- Written by Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga

● Banyak komik mengusung cerita kompleks dengan isu sosial politik yang memancing pembaca berpikir kritis.
● Cerita One Piece, ‘V for Vendetta’, dan ‘Attack on Titan’ menggambarkan keberanian perlawanan publik terhadap ketidakadilan.
● Respons represif pemerintah menunjukkan negara gagal membuka ruang kritik yang sah.
Bendera One Piece masih terlihat dikibarkan oleh sejumlah masyarakat. Tidak hanya saat euforia perayaan kemerdekaan Indonesia, warga juga marak mengibarkan bendera tersebut dalam demonstrasi serentak[1] belakangan ini.
Fenomena pengibaran bendera berlatar hitam dengan gambar tengkorak tersebut menegaskan satu hal: fiksi dan budaya populer, salah satunya komik, bukan hanya sekadar medium hiburan, tetapi juga saluran komunikasi politik yang ampuh. Ini terutama ketika aspirasi warga tersumbat atau dinilai tidak efektif.
Kekuatan komik memantik perlawanan
Sebagai medium populer, komik terdiri dari berbagai genre dan tema cerita yang beragam. Seperti film dan novel, tidak semua komik ditujukan untuk pembaca anak-anak.
Bahkan, banyak komik yang mengusung cerita kompleks dengan isu sosial, politik, atau filsafat, mampu memancing pembacanya[2] untuk berpikir kritis dan melihat realitas dari sudut pandang baru. Salah satunya adalah komik One Piece.
Tercatat sebagai salah satu komik terpopuler sepanjang masa[3], One Piece menceritakan petualangan Monkey D. Luffy, kapten bajak laut muda yang tak gentar menentang kesewenang-wenangan pemerintah dunia yang represif, korup, dan manipulatif.
Dalam beberapa adegan, simbol paling kuat dari perlawanan Luffy hadir ketika ia mengibarkan bendera bajak laut. Pada satu titik, Luffy bahkan sempat meminta anak buahnya membakar bendera pemerintahan dunia.
Bendera bajak laut bukan sekadar lambang kelompoknya, melainkan tanda keberanian, kebebasan, dan tekad untuk menentang segala bentuk penindasan.
Tidak mengherankan jika kemudian bendera ini diadopsi oleh warga sebagai ikon perlawanan terhadap penguasa.
Contoh lain simbol protes populer yang terinspirasi dari komik adalah topeng Guy Fawkes dari serial V for Vendetta[4].
Komik ini mengisahkan seorang vigilante misterius bernama V yang melawan rezim totaliter di Inggris melalui aksi teror simbolik: menggunakan topeng untuk membangkitkan kesadaran rakyat terhadap tirani pemerintah.
Topeng V kemudian menjadi simbol yang menyatukan aspirasi dan menyeberangi batas, menginspirasi gerakan protes warga secara anonim[5] di berbagai negara seperti Thailand, Hong Kong, Amerika Serikat (AS), dan Arab.
Ini menunjukkan bahwa simbol dalam komik populer mudah diterima lintas negara untuk tujuan aktivisme.
Ada pula komik Attack on Titan[6] (AoT) yang menampilkan keberanian Eren sebagai tokoh utama, dan kawan-kawannya membangkitkan perlawanan rakyat terhadap rezim di balik tembok tertutup.
Keruntuhan rezim dalam cerita AoT digambarkan ketika rakyat akhirnya menyadari bahwa mereka selama ini dikekang oleh pemerintah yang memanipulasi sejarah. Ketika rahasia itu terbongkar, kepercayaan pada rezim runtuh dan gelombang perlawanan menjadi tak terbendung.
Apa yang dikisahkan di AoT beresonansi dengan yang terjadi pada masa otoritarianisme di Meksiko 1970-1980-an[7]. Saat warga tidak berani memprotes secara tertulis, komik bisa menunjukkan siapa yang menindas dan apa yang tidak beres secara perlahan tapi mendalam.
Resonansi emosi melalui komik
Menurut lembaga riset di Universitas Oxford, Inggris[8], komik sebagai literatur yang cenderung “diremehkan” justru lebih mudah menembus batas sosial.
Komik justru lebih dapat menjangkau khalayak luas lintas usia dan kelas. Komik juga efektif menyampaikan kritik dengan cara yang ringan tapi menggugah kesadaran kritis pembacanya.
Pembingkaian politik lewat emosi karakter, alur cerita, dan simbol dalam komik bisa memicu kesadaran kritis karena dekat dengan pengalaman nyata masyarakat. Misalnya, pengalaman dipersulit birokrasi atau menghadapi aparat yang arogan.
Menurut Scandinavian Journal of Comic Art[9], perpaduan narasi, estetika visual, dan dialog kritis membuat panel-panel komik mampu mereduksi kompleksitas dan membuka pintu pemahaman politik kepada lintas generasi, termasuk audiens yang mungkin awalnya tidak melek politik.
Sederhananya, orang akan lebih tersentuh oleh pesan yang terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, menyentuh hal-hal penting, dan sesuai dengan cerita atau budaya yang sudah akrab di masyarakat.
Komik memang tidak memberi instruksi tertulis untuk “melawan”, tetapi menyediakan imajinasi politik melalui dunia fiksi yang terasa masuk akal.
Dalam kajian gerakan sosial[10], ini disebut resonansi. Karena itu, simbol sederhana seperti bendera bajak laut One Piece bisa langsung menarik perhatian dan menumbuhkan rasa kebersamaan di antara para pembacanya.
Resonansi ini membuat orang lebih mudah percaya, membicarakan, lalu mengekspresikannya lewat aksi simbolis, seperti mengibarkan bendera atau mengenakan topeng dalam protes.
Negara perlu membaca fiksi
Respons simbol fiksi dengan represi, seperti melarang pengibaran bendera One Piece, menunjukkan kegagalan pemerintah membaca budaya populer sebagai ruang kritik yang sah dalam demokrasi.
Pejabat negara kerap menggaungkan demokrasi. Namun, praktik di lapangan sering menunjukkan sebaliknya: kebebasan berekspresi ditekan, dan simbol protes dianggap ancaman.
Ketidaksesuaian antara wacana dan praktik kebebasan berekspresi inilah yang secara perlahan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Alih-alih mengekang, negara semestinya melestarikan budaya membaca fiksi. Dari fiksilah masyarakat belajar menafsirkan tanda-tanda zaman, menemukan simbol, dan membayangkan dunia yang lebih adil.
Melalui fiksi pula kita bisa membayangkan lautan kebebasan bersama kelompok Bajak Laut Topi Jerami, menyaksikan runtuhnya tembok otoritarian di Attack on Titan, hingga keberanian menantang tirani lewat topeng V for Vendetta.
Imaji semacam itulah yang bisa memantik dialog, lalu tumbuh menjadi keberanian kolektif.
Membaca fiksi sejatinya dapat menjadi ruang aspirasi alternatif yang tidak selalu tersampaikan lewat jalur formal. Dan demokrasi bisa tumbuh subur hanya ketika kritik dibiarkan hidup.
Jika simbol dari komik saja dianggap berbahaya, jangan-jangan suatu saat nanti kegiatan membaca itu sendiri pun bisa dipersoalkan.
References
- ^ dalam demonstrasi serentak (www.cnnindonesia.com)
- ^ mampu memancing pembacanya (ila.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ terpopuler sepanjang masa (en.as.com)
- ^ V for Vendetta (www.dc.com)
- ^ menginspirasi gerakan protes warga secara anonim (theweek.com)
- ^ Attack on Titan (kodansha.us)
- ^ otoritarianisme di Meksiko 1970-1980-an (www.cambridge.org)
- ^ lembaga riset di Universitas Oxford, Inggris (www.torch.ox.ac.uk)
- ^ Scandinavian Journal of Comic Art (sjoca.com)
- ^ Dalam kajian gerakan sosial (www.jstor.org)
- ^ anw.fr/flickr (www.flickr.com)
Authors: Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga