Bagaimana revisi KUHAP bisa memperparah pelemahan KPK
- Written by Antoni Putra, Lecturer at the Faculty of Law, Universitas Andalas

● Revisi KUHAP menjadikan penyidik KPK di bawah kendali polisi, tak lagi independen.
● Upaya paksa seperti penyelidikan hingga penyadapan dalam revisi KUHAP membuka celah intervensi.
● Draf KUHAP berisiko semakin melemahkan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Pemerintah menjanjikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai salah satu upaya keluar dari otoritarianisme[1] dalam proses penegakan hukum sekaligus langkah pembaruan.
Harapannya, KUHAP baru bisa menyeimbangkan perlindungan hak asasi manusia dengan kebutuhan penegakan hukum.
Revisi KUHAP mencakup 1.675 daftar inventarisasi masalah[2]—menunjukkan besarnya skala perubahan. Dari jumlah itu, 1.091 bersifat tetap, 295 mengalami penyesuaian redaksional, 68 substansi diubah. Ada juga 91 substansi yang dihapus, dan 331 substansi baru ditambahkan.
Namun, di balik janji pembaruan, draf KUHAP yang kini beredar justru menimbulkan kekhawatiran besar. Alih-alih memperkuat sistem hukum, banyak pasal didalamnya berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Ketentuan-ketentuan baru yang seolah menempatkan semua lembaga penegak hukum dalam satu garis koordinasi ternyata menyimpan resiko besar bagi independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Read more: Revisi KUHAP: Kuasa polisi makin besar, warga makin terpojok?[3]
Jika draf revisi KUHAP disahkan dalam bentuk sekarang, ia bisa menjadi jalan mundur yang mengerdilkan lembaga yang selama ini menjadi garda terdepan melawan korupsi kelas kakap.
Ancaman independensi KPK
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Korupsi mencatat setidaknya terdapat sembilan catatan kritis tentang draf KUHAP yang dapat melemahkan KPK[4]. Salah satu di antaranya terkait norma peralihan yang menegaskan bahwa aturan baru menghapus aturan lama.
Dengan formulasi seperti itu, kedudukan UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi sebagai aturan khusus berisiko terpinggirkan hanya karena keberadaan KUHAP.
Aksi masyarakat sipil menolak revisi KUHAP yang berujung represi. Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen turut mengungkapkan argumennya dalam menolak draf RKUHAP terbaru.Padahal, terdapat pula asas lex specialis derogat legi generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum)[5]—juga berlaku pada pemberantasan korupsi.
Jika draf KUHAP mengabaikan asas tersebut, maka keistimewaan dalam hukum acara khusus pemberantasan korupsi akan lenyap[6].
Masalah berikutnya muncul dalam pembatasan kewenangan KPK untuk menyelesaikan perkara dengan hukum acaranya sendiri. Draf saat ini mewajibkan penegakan hukum korupsi melalui KUHAP—seolah-olah keistimewaan yang diberikan undang-undang kepada KPK tidak pernah ada.
Penyempitan definisi penyelidikan juga patut diperhatikan. Selama ini, KPK mampu bertindak cepat karena memiliki standar bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan.
Jika standar itu dipersempit, KPK akan kehilangan senjata penting untuk mencegah praktik korupsi di tahap awal[7].
Lebih jauh, ancaman serius tampak pada soal penyadapan. RKUHAP hanya memperbolehkan penyadapan di tahap penyidikan, sementara UU KPK memungkinkan sejak tahap penyelidikan. Padahal, operasi tangkap tangan yang menjadi ciri khas KPK selama ini bergantung pada kemampuan melakukan penyadapan sejak dini.
Begitu pula ketentuan praperadilan yang tidak memperbolehkan sidang pokok perkara dimulai sebelum praperadilan selesai. Celah ini membuka ruang bagi tersangka korupsi untuk menunda proses hukum melalui gugatan praperadilan[8].
Puncak persoalan muncul pada ketentuan Pasal 8 ayat (3) yang mewajibkan penyerahan berkas perkara penyidik tertentu, termasuk KPK, melalui Polri sebelum sampai ke penuntut umum. Dengan aturan ini, RKUHAP menghapus jalur langsung penyerahan perkara dari penyidik ke penuntut (jaksa) KPK.
Read more: Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah[9]
Imbas penghapusan jalur khusus ini bukan hanya memperlambat proses, melainkan juga membuka ruang intervensi.
Dalam kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi atau elite politik, ketentuan ini berisiko[10] dimanfaatkan untuk mengatur jalannya proses hukum, bahkan menjadi lahan transaksi di balik layar.
Padahal, independensi adalah alasan utama KPK didirikan. Lembaga ini lahir pada 2002 karena sistem penegakan hukum terbukti gagal menjerat pelaku korupsi kelas tinggi.
Dengan mekanisme kerja yang terpisah dari Polri dan Kejaksaan, KPK mampu bergerak lebih cepat dan bebas dari tekanan politik. Namun, ketentuan dalam RKUHAP justru berlawanan dengan semangat itu.
Sederet upaya melemahkan KPK
Ancaman pemberantasan korupsi yang kini hadir melalui RKUHAP sesungguhnya bukanlah kejadian tunggal. Jika ditarik ke belakang, upaya sistematis melemahkan KPK sudah berlangsung lebih dari satu dekade.
Sejak 2009, agenda revisi UU KPK terus muncul dalam rencana legislasi DPR. Berkali-kali usulan revisi diajukan, ditolak, lalu diajukan kembali dengan berbagai alasan[11].
Revisi bergaung kencang di ujung periode pertama pemerintahan Joko Widodo pada 2019 melalui pembuatan draf hingga pengesahan yang begitu cepat, dalam 12 hari[13].
Dampaknya terasa seketika. Upaya penggeledahan KPK di kantor DPP PDIP dalam kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) kandas di tengah jalan[14].
Pegawai senior KPK Novel Baswedan, berikut 56 pegawai lainnya[15], juga tersingkir melalui tes wawasan kebangsaan yang kontroversial.
Perlahan tapi pasti, KPK kehilangan sebagian besar kepercayaan publik yang selama ini menjadi modal utama keberhasilannya. Publik bahkan lebih mempercayai Kepolisian dan Kejaksaan Agung[16]—hasil yang begitu berbeda dibandingkan sebelum UU KPK direvisi.
Jika revisi KUHAP disahkan dengan draf saat ini, KPK bukan hanya kehilangan independensi, melainkan juga berisiko menjadi lembaga antirasuah yang tak lagi relevan.
Publik punya tanggung jawab besar untuk mengawal proses ini. Pengalaman revisi UU KPK pada 2019 menunjukkan bahwa pelemahan bisa terjadi begitu cepat[17].
Read more: Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade[18]
KUHAP baru pun bisa bernasib sama jika masyarakat hanya diam. Pembaruan hukum acara pidana seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat perang melawan korupsi, bukan sebaliknya. Mengurangi kewenangan KPK sama saja memberi karpet merah bagi koruptor untuk terus bercokol.
Presiden Prabowo juga tidak bisa mengabaikan proses revisi KUHAP yang banyak dipertentangkan masyarakat. Sebagai kepala negara sekaligus ketua Koalisi Indonesia Maju yang menguasai 80% kursi di parlemen[19], Prabowo punya lebih dari cukup kekuasaan untuk meninjau ulang revisi KUHAP.
Pada 1981, KUHAP lahir dengan semangat reformasi hukum: membatasi kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang terhadap warganya. Empat dekade kemudian, semangat itu seharusnya diperluas, bukan hanya melindungi tersangka dari negara, tetapi juga melindungi rakyat dari korupsi yang merampas hak-hak mereka.
Jika KUHAP baru gagal menjaga semangat itu, maka yang hilang bukan sekadar kewenangan KPK, melainkan juga kepercayaan publik terhadap hukum dan negara.
References
- ^ keluar dari otoritarianisme (www.tempo.co)
- ^ 1.675 daftar inventarisasi masalah (www.beritasatu.com)
- ^ Revisi KUHAP: Kuasa polisi makin besar, warga makin terpojok? (theconversation.com)
- ^ melemahkan KPK (antikorupsi.org)
- ^ lex specialis derogat legi generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum) (pdrh.law.ui.ac.id)
- ^ akan lenyap (antikorupsi.org)
- ^ mencegah praktik korupsi di tahap awal (antikorupsi.org)
- ^ menunda proses hukum melalui gugatan praperadilan (antikorupsi.org)
- ^ Reformasi total kepolisian mendesak–tapi secara politik tidak akan mudah (theconversation.com)
- ^ berisiko (www.kompas.id)
- ^ dengan berbagai alasan (ejournal.unib.ac.id)
- ^ (Shutterstock) (www.shutterstock.com)
- ^ 12 hari (nasional.kompas.com)
- ^ kandas di tengah jalan (www.hukumonline.com)
- ^ 56 pegawai lainnya (www.cnnindonesia.com)
- ^ Kepolisian dan Kejaksaan Agung (kumparan.com)
- ^ bisa terjadi begitu cepat (ti.or.id)
- ^ Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade (theconversation.com)
- ^ 80% kursi di parlemen (www.tempo.co)
Authors: Antoni Putra, Lecturer at the Faculty of Law, Universitas Andalas
Read more https://theconversation.com/bagaimana-revisi-kuhap-bisa-memperparah-pelemahan-kpk-265092