Asian Spectator

Men's Weekly

.

Rumah flat: Solusi hunian yang lebih adil dari rumah subsidi?

  • Written by Issa Tafridj, PhD Researcher, Institute for Housing and Urban Development Studies, Erasmus University Rotterdam, Universitas Pembangunan Jaya
Rumah flat: Solusi hunian yang lebih adil dari rumah subsidi?

Selama ini, masyarakat kelas menengah Indonesia tak punya banyak pilihan hunian. Antara terjebak di kos-kosan yang tak layak huni, apartemen yang aksesibilitasnya dipertanyakan, atau tercekik dengan KPR rumah tapak.

Tak heran, konsep rumah flat Menteng[1] di Jakarta Pusat ramai diperbincangkan. Hunian ini dibangun oleh Marco Kusumawijaya, arsitek sekaligus pendiri Rujak Center for Urban Studies. Rumah flat hadir sebagai alternatif di tengah ketimpangan akses hunian.

Rumah flat adalah rumah tapak komunal yang umumnya bertingkat tiga sampai empat sehingga dapat ditinggali oleh beberapa keluarga.

Rumah flat dianggap sebagai solusi kepemilikan rumah yang layak bagi kelas menengah. Hunian ini memiliki harga murah dibanding rumah tapak konvensional, lokasi strategis, dan desainnya nyaman untuk ditinggali.

Rumah flat Menteng sebagai inisiator konsep hunian kolektif ini dibangun dengan sistem koperasi perumahan. Pengelolaannya transparan dan proses perancangannya melibatkan penghuni. Biaya konstruksi bisa ditekan, tidak ada biaya pemasaran, tanpa margin keuntungan—hunian yang dibangun murni untuk ditinggali.

Namun, apakah model hunian seperti rumah flat Menteng solusi adil untuk masyarakat—atau justru hanya menjadi solusi sementara yang belum menjawab akar masalah ketimpangan akses hunian di Indonesia?

Kelayakan hidup di rumah flat

Dari segi kelayakan, rumah flat cukup ideal bagi masyarakat, baik dari desain bangunan maupun aksesibilitas.

Desain bangunan hunian Indonesia saat ini biasanya hanya terbagi menjadi rumah tapak (rumah deret ataupun terpisah) dan apartemen bertingkat menengah (mid-rise) atau bertingkat tinggi (high-rise).

Namun sebenarnya, ada yang hilang antara desain hunian tingkat rendah dan tinggi.

Rujak Center of Urban Studies menggunakan istilah “missing middle housing” atau hunian menengah yang hilang. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh arsitek asal Amerika Serikat, Daniel Parolek, meskipun tipologi bangunan townhouse atau multiplex sendiri bukan hal yang baru.

Rumah flat menteng sebagai missing middle housing
Ilustrasi konsep missing middle housing oleh Daniel Parolek. Opticos Design, CC BY[2][3]

Di Belanda, misalnya. Apartemen tiga atau empat lantai sudah muncul sejak tahun 1920-an dengan desain yang bervariasi. Di kota-kota besar seperti Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam, blok-blok apartemen empat hingga enam lantai juga lazim dibangun untuk memenuhi kebutuhan hunian yang tinggi dengan ketersediaan lahan yang rendah.

Rumah flat sebagai solusi kekurangan rumah Indonesia
Perubahan tipologi bangunan apartemen di kota-kota besar di Belanda. TU Delft, CC BY[4][5]

Desain bangunan yang bertingkat rendah menyederhanakan berbagai aspek struktur, konstruksi, serta mekanikal dan elektrikal pada bangunan, sehingga pemeliharannya pun akan relatif lebih mudah dan murah.

Secara sosial, hidup di desain bangunan bertingkat rendah juga mengurangi[6] risiko munculnya perasaan kesepian dan terisolasi yang sering dirasakan oleh penghuni apartemen bertingkat tinggi.

Selain itu, rumah flat idealnya dibangun di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat kegiatan ekonomi seperti rumah flat Menteng. Terlebih, kebanyakan pilihan hunian bagi para kelas menengah saat ini justru semakin menjauh dari pusat kegiatan ekonomi.

Padahal, mayoritas mereka bekerja di pusat kota sehingga harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk pulang pergi. Kondisi “tua di jalan” ditambah ongkos transportasi yang dapat mencapai sepertiga gaji[7] tentu mengurangi kualitas hidup individu. Dengan posisi ini, aksesibilitas hunian menjadi poin kuat dari rumah flat.

Biaya rumah flat

Dari segi biaya, harga rumah flat Menteng mungkin lebih terjangkau dibanding rumah tapak. Namun, memiliki rumah flat membutuhkan modal awal yang cukup besar.

Dalam rumah flat Menteng, setiap pemilik unit hanya perlu membayar sewa tanah. Namun, biaya iuran pembangunan unit di awal cukup besar, mulai dari Rp380 juta hingga lebih dari 1 miliar[8].

Dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, tidak banyak kelas menengah yang memiliki cukup aset likuid untuk membayar iuran pembangunan.

Pemerintah juga belum menyediakan instrumen pembiayaan untuk rumah flat, meskipun Peraturan Gubernur DKI Jakarta sudah mengakui adanya zonasi untuk pembangunan flat[9]. Instrumen pembiayaan terfokus pada hunian konvensional: Kredit kepemilikan rumah baru maupun kredit pembangunan rumah.

Dengan minimnya akses pembiayaan ini, maka pasar yang bisa dijangkau oleh rumah flat sejenis pun sangat terbatas.

Read more: Warga kelas menengah banyak yang tidak mampu membeli rumah: tiga usulan kebijakan untuk mengatasinya[10]

Jika rumah flat Menteng menjadi preseden, replikasi konsep hunian yang sama dengan skala besar akan sulit terwujud. Karena harga sewa yang dipatok inisiator rumah flat lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran. Alhasil, pemilik lahan lain mungkin akan menganggap inisiatif ini kurang menguntungkan.

Oleh karena itu, bola perluasan inisiatif pembangunan rumah flat sejenis saat ini ada pada pemerintah.

Makna kemunculan rumah flat

Rumah flat Menteng adalah ide penyediaan perumahan swadaya yang harus diapresiasi.

Meski begitu, pemerintah juga perlu menyadari bahwa inovasi ini muncul karena kegagalan sistem perumahan dalam menyediakan hunian yang layak bagi semua kelompok masyarakat, termasuk bagi kelas menengah perkotaan.

Saat ini, pemerintah masih salah fokus dalam menangani isu backlog hunian Indonesia. Pemerintah justru memperkenalkan rumah subsidi alias tiny house[11] atau mengurangi luasan rumah subsidi di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kegiatan ekonomi.

Read more: Apakah kita mampu beli 'tiny house' kalau enggak beli kopi?[12]

Pemerintah seharusnya fokus mengembangkan inovasi-inovasi penyediaan hunian yang betul-betul layak, baik dari segi keterjangkauan harga, aksesibilitas, maupun kualitas bangunan. Salah satunya dengan konsep rumah flat.

Apabila didukung dengan kebijakan yang kuat, payung hukum yang ideal, serta ketersediaan pilihan pembiayaan yang meringankan, hunian komunal seperti rumah flat Menteng adalah pilihan yang lebih menguntungkan bagi para kelas menengah perkotaan.

Jika rumah flat dikembangkan lebih luas

Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk mengembangkan konsep rumah flat adalah mengidentifikasi lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai lokasi pembangunan flat sejenis.

Utamanya, lahan-lahan ini perlu berada dekat dengan rute transportasi umum, seperti stasiun KRL, MRT, atau halte bus TransJakarta.

Kemudian pemerintah dapat mulai memperluas jangkauan kredit pembiayaan. Bisa dalam bentuk koperasi perumahan yang sudah dibentuk oleh komunitas yang tujuannya membangun rumah sejenis atau untuk individu yang ingin membeli salah satu unit pada flat yang sudah ada atau akan dibangun.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan pembangunan dan jual beli hak guna bangunan rumah flat bebas dari para spekulan dan tidak digunakan sebagai instrumen investasi.

Meski mekanisme rumah flat Menteng sudah mengantisipasi hal ini, perlindungan harga unit tetap perlu memiliki payung hukum yang kuat dari pemerintah.

References

  1. ^ rumah flat Menteng (www.bbc.com)
  2. ^ Opticos Design (missingmiddlehousing.com)
  3. ^ CC BY (creativecommons.org)
  4. ^ TU Delft (www.tudelft.nl)
  5. ^ CC BY (creativecommons.org)
  6. ^ mengurangi (www.mdpi.com)
  7. ^ sepertiga gaji (www.kompas.id)
  8. ^ 1 miliar (www.bbc.com)
  9. ^ pembangunan flat (peraturan.bpk.go.id)
  10. ^ Warga kelas menengah banyak yang tidak mampu membeli rumah: tiga usulan kebijakan untuk mengatasinya (theconversation.com)
  11. ^ rumah subsidi alias tiny house (theconversation.com)
  12. ^ Apakah kita mampu beli 'tiny house' kalau enggak beli kopi? (theconversation.com)

Authors: Issa Tafridj, PhD Researcher, Institute for Housing and Urban Development Studies, Erasmus University Rotterdam, Universitas Pembangunan Jaya

Read more https://theconversation.com/rumah-flat-solusi-hunian-yang-lebih-adil-dari-rumah-subsidi-265489

Magazine

Mempertanyakan komitmen Prabowo terhadap Palestina: Dua kaki kebijakan luar negeri Indonesia

Ilustrasi bendera Indonesia dan Palestina berkibar berdampingan.em_concepts/Shutterstock● Prabowo pernah sebut akan mengakui Israel dan tidak menyebut yang terjadi di Gaza sebagai genosida.χ...

Rumah flat: Solusi hunian yang lebih adil dari rumah subsidi?

Ilustrasi rumah flatPixel to the PEOPLE/ShuttershockSelama ini, masyarakat kelas menengah Indonesia tak punya banyak pilihan hunian. Antara terjebak di kos-kosan yang tak layak huni, apartemen yang ak...

Powering Seamless Internet for Exhibitions, Conferences, and Live Events

In Singapore’s MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions) industry, expectations for flawless execution are matched by a demand for flawless connectivity. Whether it’s a high-stakes t...