Cara menghindari konten mengerikan di media sosial agar tak terbayang-bayang
- Written by Annie Margaret, Teaching Assistant Professor of Creative Technology & Design, ATLAS Institute, University of Colorado Boulder

Konten mengerikan yang mengganggu (disturbing) mudah sekali menjadi viral. Misalnya video penembakan Charlie Kirk[1] dan video kondisi Raya, balita asal Sukabumi yang meninggal dengan kondisi infeksi cacing[2].
Kita sulit menghindari konten-konten yang sebenarnya tidak ingin kita lihat dengan format dunia maya saat ini. Kondisi ini masuk akal, mengingat media sosial didesain untuk memaksimalkan angka keterlibatan (engagement), bukan melindungi ketenangan batin.
Beberapa tahun belakangan, platform-platform besar juga telah mengurangi upaya moderasi konten[3]. Minimnya filter membuat konten yang menimbulkan ketidaknyamanan jadi mudah muncul di linimasa—meski kita tak pernah setuju untuk melihatnya.
Perlu kita sadari bahwa kita tidak perlu mengonsumsi setiap konten yang muncul di layar. Melindungi diri sendiri bukan berarti menghindari masalah atau menyangkal fakta.
Saya adalah peneliti yang mendalami soal bagaimana caranya menetralkan dampak[4] negatif media sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan mental. Terdapat beberapa langkah efektif yang dapat kita lakukan untuk menjaga diri di dunia maya, tanpa mengorbankan wawasan dan empati.
Pentingnya memilah konten yang dikonsumsi
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa paparan konten penuh kekejaman atau konten menyeramkan[5] dapat meningkatkan stres, memperburuk kecemasan, dan memunculkan perasaan putus asa.
Dampak-dampak tersebut bukan cuma jangka pendek. Seiring berjalannya waktu, konten tersebut akan mengikis sumber dukungan emosional, misalnya kehadiran orang terdekat. Padahal, dukungan tersebut adalah dasar untuk memedulikan diri sendiri dan orang lain.
Oleh karena itu, membatasi perhatian merupakan bentuk merawat diri sendiri. Bukan berarti kita menarik diri dari ruang digital. Justru, tindakan ini adalah cara menjaga kewarasan, aspek penting dalam kreativitas kita.
Sama halnya dengan makanan. Tidak semua hal di atas meja bisa kita makan. Kita tak akan mengonsumsi makanan beracun atau kedaluwarsa semata-mata karena makanan itu terhidang di meja kita.
Read more: Jebakan 'echo chamber': Panduan etika untuk 'influencer' agar tidak blunder[6]
Dengan konsep yang sama, tak semua konten yang disuguhkan perlu diperhatikan. Selektif terhadap konten yang dikonsumsi akan memengaruhi kesehatan mental kita.
Ketika di dapur, kita bisa memilih bahan makanan yang akan kita olah. Sayangnya di media sosial, sering kali kita tak punya kontrol yang sama terhadap konten.
Maka dari itu, kita dapat mengambil langkah khusus untuk menyaring, memblokir, dan membatasi konten.
Langkah praktis yang dapat kita ambil
Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemunculan konten mengerikan atau mengganggu. Berikut empat cara yang saya rekomendasikan.
- Menonaktifkan autoplay atau memilih pengaturan pembatasan konten sensitif. Pengaturan ini bisa berbeda-beda tergantung perangkat, sistem operasi, versi aplikasi yang digunakan—dan dapat berganti-ganti pula jika ada pembaruan.
Atur filter kata kunci. Mayoritas platform memungkinkan kita untuk membisukan (mute) kata-kata, frasa, atau tagar spesifik. Filter ini mengurangi kemunculan konten video, foto, atau teks yang mengganggu.
Atur linimasa atau feed kita. Unfollow akun-akun yang sering membagikan konten mengganggu. Ikuti akun yang mengunggah konten penuh pengetahuan, interaksi bermakna, dan keceriaan.
Terapkan batasan. Tetapan waktu-waktu tertentu untuk kita lepas dari ponsel, misalnya saat makan atau menjelang tidur. Riset menunjukkan bahwa jeda yang disengaja ini dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental[7].
Jaga diri sendiri
Media sosial tidaklah netral. Algoritma media sosial dibuat sedemikian rupa[9] untuk mendapatkan dan mempertahankan perhatian kita. Termasuk dengan menyebarkan konten yang mengganggu atau sensasional.
Menonton konten secara pasif, alias tak benar-benar menyadari apa yang kita konsumsi, hanya akan menguntungkan para perusahaan media sosial. Kita perlu mengatur alokasi perhatian untuk menjaga diri.
Tak bisa dimungkiri bahwa dorongan mengikuti suatu berita secara terus-menerus memang sangat kuat, apalagi di masa krisis.
Namun, memilih untuk tidak menyaksikan setiap gambar mengganggu bukanlah bukti ketidakpedulian. Justru, ini merupakan tindakan memedulikan diri.
Read more: Tren 'podcast' politik: Sarana informasi publik dan ruang klarifikasi politikus[10]
Mengalihkan perhatian ke hal lain menjaga kemampuan kita untuk bertindak secara bermakna. Ketika perhatian kita terpecah, energi kita hanya terserap ke keterkejutan dan kemarahan. Ketika perhatian kita terfokus, kita bisa memilih mau bereaksi dan bertindak seperti apa.
Kita punya kekuatan untuk menerapkan batasan. Entah dengan menonaktifkan autoplay, memfilter konten, atau mengatur linimasa—semua tindakan tersebut merupakan upaya kita mengontrol konsumsi konten.
Tindakan kita mengatur media yang kita konsumsi menjadi dasar kita membangun hubungan dengan orang lain, membantu pihak yang membutuhkan, dan membangun perubahan bermakna.
Bacaan lebih lanjut
Saya merupakan direktur eksekutif dari Post-Internet Project[11], sebuah inisiasi nonprofit untuk membantu individu menghadapi tantangan psikologis dan sosial di dunia maya.
Saya bersama dengan tim mendesain intervensi berbasis bukti[12] bernama PRISM[13] untuk membantu individu mengelola penggunaan media sosial mereka.
Program kami yang berbasis riset[14] menekankan pada kemampuan diri dan penyesuaian tujuan dan nilai diri sebagai kunci membangun pola konsumsi media yang lebih sehat.
Kamu juga dapat mencoba proses PRISM melalui kelas daring “Values Aligned Media Consumption” yang saya luncurkan melalui Coursera pada 2025. Kelasnya dapat dicari dengan mengetik Annie Margaret dari University of Colorado Boulder di Coursera[15]. Kelas ini ditujukan untuk individu berusia di atas 18 tahun dan videonya dapat disaksikan gratis.
References
- ^ Charlie Kirk (theconversation.com)
- ^ kondisi infeksi cacing (www.cnnindonesia.com)
- ^ mengurangi upaya moderasi konten (www.wired.com)
- ^ caranya menetralkan dampak (www.colorado.edu)
- ^ konten penuh kekejaman atau konten menyeramkan (doi.org)
- ^ Jebakan 'echo chamber': Panduan etika untuk 'influencer' agar tidak blunder (theconversation.com)
- ^ stres dan meningkatkan kesejahteraan mental (doi.org)
- ^ CC BY-ND (creativecommons.org)
- ^ dibuat sedemikian rupa (theconversation.com)
- ^ Tren 'podcast' politik: Sarana informasi publik dan ruang klarifikasi politikus (theconversation.com)
- ^ Post-Internet Project (www.postinternetproject.org)
- ^ berbasis bukti (theconversation.com)
- ^ PRISM (www.postinternetproject.org)
- ^ Program kami yang berbasis riset (www.postinternetproject.org)
- ^ Coursera (www.coursera.org)
Authors: Annie Margaret, Teaching Assistant Professor of Creative Technology & Design, ATLAS Institute, University of Colorado Boulder