Asian Spectator

Men's Weekly

.

Tradisi keagamaan dalam anime Jepang: Takdir, pengorbanan, dan dilema keinginan vs kewajiban

  • Written by Ronald S. Green, Professor and Chair of the Department of Philosophy and Religious Studies, Coastal Carolina University
Tradisi keagamaan dalam anime Jepang: Takdir, pengorbanan, dan dilema keinginan vs kewajiban

Salah satu aspek anime Jepang yang paling menarik adalah perpaduan aksi mendebarkan dengan pertanyaan-pertanyaan spiritual dan etika.

Pembelajaran ini saya dapat setelah bertahun-tahun meneliti, mengajar[1], dan mengeksplorasi bagaimana anime Jepang membentuk narasi yang memadukan jalinan tradisi budaya, filsafat, dan agama.

Contoh sukses tersebut tercermin dari Demon Slayer: Mugen Train,—yang memecahkan rekor pendapatan box-office Jepang[2] dan berakhir sebagai film terlaris di dunia[3] tahun 2020.

Dengan kesuksesan global Demon Slayer yang terus berlanjut[4] hingga di film terbarunya yang berjudul Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the movie - Infinity Castle[5], ini adalah momen tepat untuk menelaah bagaimana film ini memadukan tradisi Buddha, Shinto, dan samurai dalam kisah kepahlawanan, kefanaan, serta perjuangan moral.

Tradisi spiritualisme dalam anime

Anime kerap mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan spiritual dan filosofis dengan mengacu pada tradisi keagamaan Jepang untuk mengaji tema takdir, pengorbanan diri, dan dilema antara keinginan dan kewajiban.

Contohnya film Princess Mononoke[6] karya Hayao Miyazaki yang mengisahkan Pangeran Ashitaka. Ia dikutuk oleh iblis dan harus berkelana mencari obatnya.

Pencariannya membawanya ke dalam konflik antara Irontown yang terindustrialisasi, yang ingin memperluas wilayahnya dengan menebangi hutan, dan roh-roh alam, termasuk Dewa Rusa, makhluk ilahi yang mengendalikan hidup dan mati.

Film ini mencerminkan prinsip-prinsip Shinto dengan menggambarkan alam sebagai sesuatu yang sakral dan dihuni oleh “kami”, atau makhluk spiritual. Film ini menekankan harmoni antara manusia dan lingkungan[7] dan konsekuensi dari terganggunya keseimbangan ini.

Melissa Croteau[8], dalam bukunya Transcendence and Spirituality in Japanese Cinema (Transendensi dan Spiritualitas dalam Sinema Jepang)[9], mencatat bagaimana film-film Miyazaki menggunakan roh alam untuk mengkritik keterpisahan modernitas dari kesakralan lingkungan.

Adegan dari film animasi yang menunjukkan seorang anak berlari menuruni tangga sebuah gedung berwarna cerah, dikejar oleh bayangan gelap.
Cuplikan adegan dari ‘Spirited Away’ yang menunjukkan bagaimana Chihiro (10 tahun) harus belajar menavigasi dunia yang tak terlihat. GoodFon.com, CC BY-NC[10][11]

Demikian pula film animasinya yang dirilis tahun 2001, Spirited Away[12]“ yang mencerminkan gagasan animisme dalam budaya Jepang, yang meyakini roh-roh mendiami unsur-unsur alam dan bahkan benda-benda sehari-hari.

Berlatar di pemandian Jepang misterius yang dipenuhi "kami” (Bahasa Jepang untuk dewa), Chihiro (10 tahun), yang dulunya pemalu dan takut perubahan, belajar menjelajahi dunia tersembunyi ini dan bertransformasi di sepanjang perjalanan.

Momen kunci dalam film ini adalah kedatangan roh sungai yang tercemar, yang tampak seperti makhluk kotor berlumpur. Ternyata ia adalah dewa sungai yang dulunya murni, terbebani oleh limbah manusia.

Adegan ini mewujudkan kepercayaan animisme bahwa entitas alam memiliki rohnya sendiri dan harus dihormati. Adegan ini juga memperkuat pesan lingkungan: Ketika alam tercemar atau dianiaya, ia kehilangan daya hidupnya, tetapi dengan perawatan dan penghormatan, ia dapat dipulihkan.

Neon Genesis Evangelion[13], serial televisi anime Jepang yang tayang tahun 1995-1996, mengusung gagasan filosofis yang mendalam, khususnya pertanyaan eksistensialis tentang identitas dan tujuan.

Berlatar dunia pasca-apokaliptik, serial ini mengisahkan Shinji Ikari remaja 14 tahun. Ia direkrut untuk mengemudikan senjata biomekanik raksasa bernama evangelion guna melindungi umat manusia dari makhluk misterius yang dikenal sebagai Malaikat.

Saat Shinji dan rekan-rekan pilotnya berjuang dengan peran mereka, serial ini mengeksplorasi tema-tema isolasi, harga diri, dan tantangan dalam menjalin hubungan yang dekat dan bermakna. Serial ini terinspirasi dari pemikiran Buddha dan Gnostik[14], yang menekankan pengetahuan spiritual batin dan keyakinan bahwa keterikatan berlebihan pada dunia material menyebabkan penderitaan.

Evangelion menggambarkan penderitaan sebagai akibat dari keterikatan dan ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang bermakna.

Rengoku: Kepahlawanan tanpa pamrih

Yang membedakan Mugen Train adalah fokusnya pada konflik internal para karakternya, yang dilambangkan dengan pertarungan mereka melawan iblis. Iblis-iblis ini mewakili penderitaan dan keterikatan manusia, tema-tema yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Buddha[15].

Inti dari film ini adalah Kyojuro Rengoku, seorang pembunuh iblis yang mewujudkan keteguhan hati dan kehormatan.

Rengoku’s flame-breathing forms.

Gaya bertarung Rengoku yang berbasis api sangat simbolis. Dalam budaya Jepang, api melambangkan kehancuran sekaligus pembaruan. Festival Api Kurama[16], yang diadakan setiap tahun pada tanggal 22 Oktober di Kyoto, adalah ritual Shinto saat obor-obor besar dibawa melalui jalan-jalan untuk menangkal kejahatan dan menyucikan tanah.

Demikian pula upacara api goma Buddha[17] melibatkan para pendeta yang membakar tongkat kayu dalam api suci untuk melambangkan penghapusan kebodohan dan nafsu. Teknik Rengoku mencerminkan dualitas ini: Apinya membersihkan dunia dari kejahatan sekaligus melambangkan semangatnya yang tak tergoyahkan.

Goma fire ritual.

Bushido, kode kehormatan samurai, mendasari karakter Rengoku. Berakar pada etika Konfusianisme, Buddhisme Zen, dan kepercayaan Shinto, kode ini menekankan kesetiaan, pengorbanan diri, dan kewajiban untuk melindungi orang lain.

Ajaran sang ibu—"Yang kuat harus melindungi yang lemah"—menuntun setiap tindakannya, mencerminkan nilai Konfusianisme tentang bakti kepada orang tua dan kewajiban moral untuk melayani masyarakat.

Keterkaitan Bushido dengan Buddhisme Zen, yang berfokus pada disiplin dan penerimaan terhadap ketidakkekalan, semakin membentuk tekad Rengoku yang teguh. Sementara pengaruh Shinto memperkuat perannya sebagai wali yang menegakkan tugas suci.

Bahkan menjelang ajal, Rengoku tetap teguh menerima ketidakkekalan, atau mujō[18]. Ini adalah prinsip dasar Buddha yang melihat keindahan dalam kefanaan hidup. Pengorbanannya mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada ketidakegoisan dan integritas moral.

Akaza: Keterikatan dan penderitaan

Lawan Rengoku adalah Akaza, iblis yang mewujudkan konsekuensi destruktif dari kekuatan dan keabadian. Dulunya manusia, Akaza berubah menjadi iblis karena obsesinya pada kekuatan, tak mampu menerima kefanaan hidup.

Penolakannya untuk mengakui kematian sejalan dengan ajaran Buddha bahwa penderitaan muncul dari keterikatan dan keinginan. Cendekiawan seperti Jacqueline Stone[19] telah mengeksplorasi bagaimana teks-teks Buddha menggambarkan kemelekatan pada keberadaan sebagai sumber fundamental penderitaan[20], sebuah tema yang tercermin jelas dalam karakter Akaza.

Elemen visual memperkuat simbolisme Akaza. Tubuhnya dipenuhi tato yang mengingatkan pada irezumi, seni tubuh tradisional Jepang yang secara historis dikaitkan dengan kejahatan dan kesulitan. Dalam periode Edo (1603-1867) di Jepang, tato sering digunakan untuk menandai penjahat[21], mencap mereka sebagai orang buangan dari masyarakat.

Bahkan hingga saat ini, irezumi tetap mendapat stigma[22] di banyak wilayah Jepang, dengan beberapa pemandian umum, pusat kebugaran, dan kolam renang melarang orang bertato karena hubungan historis mereka dengan yakuza.

Dalam anime kontemporer, karakter bertato sering kali melambangkan masa lalu yang bermasalah atau gejolak batin[23], yang memperkuat peran Akaza sebagai sosok yang terjebak dalam penderitaan dan jalan hidupnya yang destruktif—sekaligus memperkuat kontrasnya dengan api pembebasan milik Rengoku.

Pertempuran dua dunia

Pertarungan antara Rengoku dan Akaza lebih dari sekadar pertarungan antara kebaikan dan kejahatan; ini adalah pertikaian antara dua ‘dunia'—tidak mementingkan diri sendiri versus egoisme, penerimaan versus keterikatan.

Mugen Train menyentuh perjuangan manusia universal, membuat tema-temanya beresonansi jauh melampaui Jepang.

Eksplorasi film ini tentang kefanaan, tugas moral, dan pencarian makna berkontribusi pada warisan anime yang lebih luas sebagai media yang menghibur sekaligus memicu refleksi filosofis.

Demon Slayer terus memikat penonton global—terbukti dari perbincangan di media sosial dan antusiasme penggemar yang tak surut[24]. Kesuksesannya ini menegaskan kekuatan anime dalam memadukan aksi spektakuler dengan tema-tema berat seperti spiritualisme.

Baik melalui keberanian Rengoku yang tanpa pamrih atau kejatuhan Akaza yang tragis, “Mugen Train” menawarkan refleksi tentang apa artinya hidup dengan tujuan dan integritas.

References

  1. ^ bertahun-tahun meneliti, mengajar (www.coastal.edu)
  2. ^ rekor pendapatan box-office Jepang (www.japantimes.co.jp)
  3. ^ film terlaris di dunia (www.screendaily.com)
  4. ^ kesuksesan global Demon Slayer yang terus berlanjut (www.latimes.com)
  5. ^ Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba the movie - Infinity Castle (www.imdb.com)
  6. ^ Princess Mononoke (www.imdb.com)
  7. ^ harmoni antara manusia dan lingkungan (fore.yale.edu)
  8. ^ Melissa Croteau (cavad.calbaptist.edu)
  9. ^ Transcendence and Spirituality in Japanese Cinema (Transendensi dan Spiritualitas dalam Sinema Jepang) (www.routledge.com)
  10. ^ GoodFon.com (www.goodfon.com)
  11. ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
  12. ^ Spirited Away (www.imdb.com)
  13. ^ Neon Genesis Evangelion (www.imdb.com)
  14. ^ Gnostik (iep.utm.edu)
  15. ^ pemikiran Buddha (www3.gmu.edu)
  16. ^ Festival Api Kurama (dx.doi.org)
  17. ^ upacara api goma Buddha (www.youtube.com)
  18. ^ ketidakkekalan, atau mujō (plato.stanford.edu)
  19. ^ Jacqueline Stone (eas.princeton.edu)
  20. ^ sumber fundamental penderitaan (uhpress.hawaii.edu)
  21. ^ menandai penjahat (japanesevisualculture.ace.fordham.edu)
  22. ^ irezumi tetap mendapat stigma (jayna.usfca.edu)
  23. ^ masa lalu yang bermasalah atau gejolak batin (www.cbr.com)
  24. ^ antusiasme penggemar yang tak surut (www.projectreylo.com)

Authors: Ronald S. Green, Professor and Chair of the Department of Philosophy and Religious Studies, Coastal Carolina University

Read more https://theconversation.com/tradisi-keagamaan-dalam-anime-jepang-takdir-pengorbanan-dan-dilema-keinginan-vs-kewajiban-266520

Magazine

Tradisi keagamaan dalam anime Jepang: Takdir, pengorbanan, dan dilema keinginan vs kewajiban

Kyojuro Rengoku, juga dikenal sebagai Flame Hashira, adalah karakter utama dalam seri 'Demon Slayer'.Deviant Art, CC BY-NDSalah satu aspek anime Jepang yang paling menarik adalah perpaduan aksi mendeb...

Nadiem dalam pusaran korupsi: Digitalisasi tanpa transparansi hanya omong kosong

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat memimpin rapat di kantornya di Jakarta pada 31 Oktober 2019.Kemarrravv13/Shutterstock● Tokoh inovator digital Nadiem Makarim pun tak ...

Negara barat mulai akui kedaulatan Palestina: Apakah “Two-State Solution” adalah bentuk terbaik?

CC BYSidang Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun ini menjadi sebuah “babak baru” dalam penyelesaian masalah antara Palestina dan Israel.Seruan untuk pengakuan Palestina sebagai...