Asian Spectator

Men's Weekly

.

Ironi populisme era Jokowi dan Prabowo: Memperkuat elite, meminggirkan rakyat

  • Written by Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas Andalas
Ironi populisme era Jokowi dan Prabowo: Memperkuat elite, meminggirkan rakyat

● Elite yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu pada akhirnya justru mengesampingkan rakyat.

● Populisme membelah masyarakat, menekan oposisi, menyuburkan korupsi, dan menormalkan manipulasi konstitusi.

● Usai membakar sentimen rakyat terhadap elite, pemimpin populis malah memfasilitasi konsolidasi elite dalam pemerintahannya.

Rakyat merupakan konsep esensial dalam diskursus politik. Elite politik–pimpinan dan politisi di parpol–bisa menjabat di struktur pemerintahan juga karena mandat rakyat untuk mengurus hajat hidup bersama.

Sayangnya, perkembangan terkini justru menunjukkan bagaimana posisi rakyat semakin tergerus. Elite cenderung melihat rakyat sebagai objek untuk melegitimasi kekuasaan[1].

Sejumlah kebijakan pun lebih memprioritaskan elite daripada rakyat. Contohnya, proyek pembangunan yang merusak lingkungan[2] sekaligus mengabaikan hak-hak rakyat[3], pemborosan anggaran untuk proyek ambisius (kereta cepat[4], Ibu Kota Nusantara (IKN)[5], hingga Makan Bergizi Gratis[6] (MBG).

Sepintas, kebijakan-kebijakan tersebut tampak bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, sebenarnya itu hanya kamuflase untuk menguatkan persekutuan elite.

Inilah cerminan fenomena populisme di Indonesia. Pada akhirnya, para elite justru mengesampingkan rakyat.

Strategi populisme: Omon-omon janji perbaikan

Dalam situasi sosial, ekonomi, dan budaya yang penuh ketimpangan[7], politisi populis memiliki insentif besar untuk memobilisasi dukungan rakyat.

Mereka lihai menarik simpati dengan mengklaim sebagai sosok autentik[8] yang memedulikan nasib rakyat. Media sosial memudahkan mereka menjangkau massa dengan cepat dan masif lewat pesan-pesan prokerakyatan.

Akhirnya, rakyat luluh dan menganggap mereka sebagai simbol perjuangan yang membawa agenda perbaikan, apalagi di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi saat ini.

Read more: Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran: Kebijakan publik elitis dan populis, minim analisis kritis[9]

Inilah strategi populisme, ketika politisi menciptakan narasi prokerakyatan[10] dan menawarkan solusi yang tampak memihak kepentingan publik.

Pemilu sebagai fondasi utama demokrasi mendorong kemunculan politisi populis[11] dan narasinya. Karena dalam momen pemilu, politisi membutuhkan dukungan rakyat untuk menduduki sumber-sumber kekuasaan.

Dengan kata lain, populisme sebenarnya beriringan dengan demokrasi. Populisme sebenarnya bertujuan membangun wacana-wacana kritis untuk kepentingan publik, sehingga kemudian mendorong konsensus terkait prioritas kebijakan.

Pemimpin populis kerap menggemborkan kebijakan yang tampak pro rakyat, namun sebenarnya bermaksud mengonsolidasikan elite.
Mural gambar Presiden Prabowo Subianto sedang berjabat tangan dengan mantan Presiden Joko Widodo. Imam magribie/Shutterstock[12]

Sayangnya, politisi populis sering kali tidak bisa konsisten mengikuti kesepakatan publik tersebut.

Fenomena populisme di Indonesia hari ini justru menciptakan polarisasi[13], represi oposisi, menyuburkan korupsi sekaligus perkongsian jahat, dan menormalkan manipulasi institusi dan UUD 1945[14] untuk kepentingan pemimpin populis.

Konsolidasi elite: Jokowi dan Prabowo

Populisme pada dasarnya dapat menggerus bahkan meminggirkan elite[15] dari struktur kekuasaan formal. Solidaritas rakyat menjadi modal terpenting untuk menginisiasi perubahan progresif dan bermakna.

Sayangnya, realitas di Indonesia[16] tidak berjalan ke arah demikian. Pemimpin populis cenderung mengumpulkan berbagai pihak-pihak kuat agar kekuasaan bisa berjalan minim pengawasan.

Transparansi dan akuntabilitas publik justru terabaikan. Akhirnya, rakyat pun terpinggirkan dari prioritas pembangunan.

Read more: Jelang akhir kekuasaan Jokowi: 2 warisan kontroversial yang memengaruhi lanskap politik Indonesia[17]

Konsolidasi kekuasaan terlihat jelas dari dua figur populis di Indonesia selama satu dekade terakhir: Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Keduanya sama-sama menginginkan ketiadaan oposisi pemerintah.

Kemunculan Jokowi awalnya memantik harapan penguatan demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Oleh Marcus Mietzner, peneliti politik Indonesia dari Australian National University, ia digambarkan populis teknoratis[18] yang fokus pada pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, selama dua periode kepemimpinannya, kualitas demokrasi Indonesia justru menurun[19], kebebasan sipil[20] menyempit, dan politik dinasti[21] menemukan pembenarannya. Ini terutama karena perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya, sebagai pasangan Prabowo.

Sementara itu, Prabowo sejak awal memang terkenal sebagai figur populis[22]. Sebelum bergabung ke pemerintahan, ia kerap menyalahkan elite politik yang berkolaborasi dengan pihak asing sebagai penyebab penderitaan rakyat.

Jika Jokowi menggunakan metode menghukum lawan dan memberi imbalan kepada kawan (stick and carrot)[23], Prabowo lebih menempuh cara-cara lunak dalam mengonsolidasikan kekuatan.

Ini terlihat jelas dari kabinet Prabowo yang gemuk karena mengakomodasi banyak kelompok elite politik. Ia memperbesar jumlah kementerian dan lembaga negara[24] sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaannya setelah dilantik sebagai Presiden ke-8 pada Oktober 2024.

Read more: Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi[25]

Lewat perombakan kabinet[26] terakhir, Prabowo kembali menambah jumlah pejabat kementerian[27] dengan menempatkan loyalis-loyalisnya di beberapa pos strategis.

Kondisi tersebut justru bisa menyebabkan inefisiensi pemerintahan[28] karena ada begitu banyak kepentingan elite yang harus dinegosiasikan.

Presiden Prabowo Subianto berbincang dengan mantan Presiden Joko Widodo dan keluarga. duy 86/Shutterstock[29]

Dalam pemerintahan Jokowi dan Prabowo, negosiasi-negosiasi antar-elite semakin tampak, tetapi sering luput dari perhatian rakyat.

Contohnya adalah penyusunan kebijakan yang minim partisipasi publik bermakna, mulai dari UU Cipta Kerja, UU IKN (pemindahan ibukota negara), revisi UU KPK dan TNI, konsensi pengelolaan sumber ekonomi[30] yang tak mengutamakan kompetensi, sampai pengangkatan pejabat publik yang justru memperkuat relasi patron-klien[31].

Paradoks populisme

Di Indonesia, pemimpin populis yang awalnya membakar sentimen negatif rakyat terhadap elite malah semakin menggalang keterlibatan elite[32] dalam pemerintahan.

Read more: Sadarkah kita bahwa program makanan gratis adalah alat kontrol pemerintah terhadap rakyat?[33]

Akibatnya, rakyat tidak hanya ditinggalkan, tetapi juga dilarang menyampaikan keluh kesahnya. Ini dapat kita lihat dalam berbagai kasus: Rencana kenaikan tunjangan anggota DPR[34], peningkatan tarif pajak, membludaknya pekerja sektor informal, penanganan demonstrasi yang represif, hingga intimidasi dan penangkapan kritikus pemerintah[35].

Dengan demikian, populisme di Indonesia sejauh ini bukan mendorong perubahan struktural, melainkan disalahgunakan sebagai alat merayu dan menggalang dukungan rakyat[36] untuk meraih kekuasaan.

Ketika pemilu usai, rakyat kembali harus mencari solusi sendirian, tanpa dukungan kebijakan negara yang memadai.

References

  1. ^ melegitimasi kekuasaan (doi.org)
  2. ^ pembangunan yang merusak lingkungan (mongabay.co.id)
  3. ^ mengabaikan hak-hak rakyat (www.walhi.or.id)
  4. ^ kereta cepat (www.thejakartapost.com)
  5. ^ Ibu Kota Nusantara (IKN) (www.thejakartapost.com)
  6. ^ Makan Bergizi Gratis (www.kompas.id)
  7. ^ ketimpangan (doi.org)
  8. ^ sosok autentik (journals.sagepub.com)
  9. ^ Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran: Kebijakan publik elitis dan populis, minim analisis kritis (theconversation.com)
  10. ^ menciptakan narasi prokerakyatan (www.jstor.org)
  11. ^ mendorong kemunculan politisi populis (doi.org)
  12. ^ Imam magribie/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  13. ^ polarisasi (doi.org)
  14. ^ menormalkan manipulasi institusi dan UUD 1945 (consrev.mkri.id)
  15. ^ menggerus bahkan meminggirkan elite (www.jstor.org)
  16. ^ realitas di Indonesia (www.newmandala.org)
  17. ^ Jelang akhir kekuasaan Jokowi: 2 warisan kontroversial yang memengaruhi lanskap politik Indonesia (theconversation.com)
  18. ^ populis teknoratis (www.eastwestcenter.org)
  19. ^ kualitas demokrasi Indonesia justru menurun (doi.org)
  20. ^ kebebasan sipil (freedomhouse.org)
  21. ^ politik dinasti (indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au)
  22. ^ populis (www.jstor.org)
  23. ^ (stick and carrot) (www.jstor.org)
  24. ^ memperbesar jumlah kementerian dan lembaga negara (www.kompas.id)
  25. ^ Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi (theconversation.com)
  26. ^ perombakan kabinet (www.thejakartapost.com)
  27. ^ menambah jumlah pejabat kementerian (www.thejakartapost.com)
  28. ^ inefisiensi pemerintahan (www.kompas.id)
  29. ^ duy 86/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  30. ^ konsensi pengelolaan sumber ekonomi (www.kompas.id)
  31. ^ pengangkatan pejabat publik yang justru memperkuat relasi patron-klien (www.kompas.id)
  32. ^ menggalang keterlibatan elite (www.thejakartapost.com)
  33. ^ Sadarkah kita bahwa program makanan gratis adalah alat kontrol pemerintah terhadap rakyat? (theconversation.com)
  34. ^ kenaikan tunjangan anggota DPR (www.kompas.id)
  35. ^ penangkapan kritikus pemerintah (www.kompas.id)
  36. ^ alat merayu dan menggalang dukungan rakyat (doi.org)

Authors: Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas Andalas

Read more https://theconversation.com/ironi-populisme-era-jokowi-dan-prabowo-memperkuat-elite-meminggirkan-rakyat-266349

Magazine

Ironi populisme era Jokowi dan Prabowo: Memperkuat elite, meminggirkan rakyat

Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo menghadiri upacara penyerahan medali 'Nugraha Sakanti' di Markas Brimob, Jakarta, pada 14 Oktober 2024.Mrfzi1/Shutterstock● Elite yang d...

Siapa penemu seni?

2xSamara.com/ShutterstockBanyak dari kita yang mungkin masih bertanya, “apa itu seni?”Seni adalah sesuatu yang dibuat orang untuk berbagi ide atau perasaan, sehingga membuat orang lain ber...

Tren ‘10 ribu di tangan istri’: Romantisasi peran domestik di tengah ekonomi pelik

Indra_aldyla/Shuttershock● Tren ‘10 ribu di tangan istri yang tepat’ menyiratkan kentalnya ketidakadilan gender dalam rumah tangga Indonesia.● Penekanan tanggung jawab pada ist...