Asian Spectator

Men's Weekly

.

Pengawasan layanan publik masih timpang gender: Studi terhadap Ombudsman Republik Indonesia

  • Written by Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Pengawasan layanan publik masih timpang gender: Studi terhadap Ombudsman Republik Indonesia

● Keterwakilan perempuan di lembaga ombudsman masih minim.

● Ini melemahkan kemampuan ombudsman untuk melakukan pengawasan yang adil dan berkeadilan gender.

● Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perlu menerapkan pengarusutamaan gender secara internal dan eksternal.

Dalam konsep keadilan administratif[1], birokrasi yang semakin besar cenderung membuat individu menjadi kerdil, tidak responsif secara politik, dan memiliki keunggulan strategis atas mekanisme kontrol tradisional.

Untuk itulah dalam suatu negara dan sistem birokrasi, diperlukan suatu kelembagaan yang setidaknya dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah[2].

Di Indonesia, lembaga pengawasan penyelenggaraan negara dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional tertanggal 10 Maret 2000[3].

Fungsinya mengawasi pelayanan publik dan melindungi hak-hak warga negara diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Setahun kemudian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disahkan dengan tujuan menjamin keadilan dan ketertiban dalam pelaksanaan good governance dan clean governance.

Seperti di negara-negara lainnya, termasuk Swedia[4], lembaga ombudsman (sering juga disebut ombuds untuk pendekatan yang lebih netral gender) berfungsi sebagai pembela keadilan administratif dan HAM, menawarkan jalur penyelesaian sengketa yang independen dan fleksibel.

Namun, menurut analisis kami, efektivitas Ombudsman di Indonesia dalam memenuhi mandatnya masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan kelompok rentan seperti perempuan.

Read more: Mendambakan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa demi penguatan demokrasi[5]

Padahal, peran ombuds secara global diakui sebagai mekanisme penting untuk memajukan kesetaraan gender[6]. Sementara di Indonesia, praktiknya justru menunjukkan kesenjangan yang signifikan.

Minimnya keterwakilan perempuan dalam ombuds dapat berakibat pada terabaikannya[7] kepentingan dan kebutuhan perempuan dalam berbagai layanan publik.

Minim keterwakilan perempuan

Keterwakilan perempuan di posisi kepemimpinan ombuds, baik di tingkat nasional maupun provinsi, masih sangat minim.

Tidak ada komisioner perempuan[8] di tingkat nasional pada periode 2021-2026. Per Juli 2025, hanya 15,8%[9] kantor perwakilan tingkat provinsi yang dipimpin perempuan (Aceh, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara), menjadikan ombuds salah satu lembaga negara dengan keterwakilan perempuan yang paling rendah.

Padahal, kantor ombuds provinsi menangani ribuan aduan masyarakat setiap tahun, terutama layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi kependudukan—semuanya berdampak langsung pada perempuan.

Kondisi yang seperti ini tidak hanya mencederai prinsip inklusivitas yang menjadi semangat reformasi, tetapi juga secara fundamental melemahkan kemampuan ombuds untuk melakukan pengawasan yang adil dan berkeadilan gender.

Ombuds di Indonesia memang lebih condong ke model klasik[10] (classic-based ombuds) yang lebih berfokus menangani keluhan terkait maladministrasi atau penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara.

Dengan fokus pada maladministrasi, peran ombudsman secara lebih luas harus mencakup dimensi HAM, termasuk hak-hak perempuan.

Selain itu, nilai plus ombuds adalah lembaga ini menawarkan jalur nonyudisial (di luar pengadilan) yang cepat, terjangkau, dan tidak formal, yang sangat penting bagi perempuan yang sering menghadapi hambatan ekonomi, sosial, dan budaya untuk mengakses pengadilan.

Read more: Di Indonesia, legislator laki-laki skeptis soal kuota gender untuk perempuan dalam politik[11]

Ombuds, dengan fleksibilitas dan pendekatannya yang tidak terikat pada prosedur pengadilan yang kaku, dapat menembus hambatan ini. Namun, tanpa perspektif gender yang kuat, peran-peran ini bisa gagal memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dalam pelayanan publik.

Titik buta ombudsman

Dengan kurangnya kesetaraan gender di internal lembaga, ombuds terjerat “titik buta kelembagaan”. Isu-isu yang secara spesifik memengaruhi perempuan, seperti diskriminasi dalam pelayanan kesehatan atau administrasi kependudukan yang tidak sensitif gender, berisiko tidak dipahami atau diprioritaskan.

Data dari 172 lembaga ombuds di dunia pada 2016 menemukan bahwa sekitar 63% lembaga ini dipimpin oleh laki-laki[12]. Rincian regional menunjukkan bahwa pemimpin perempuan hanya menonjol di Amerika Serikat (AS) (59%), sementara di kawasan Asia-Pasifik, perempuan yang menjadi pemimpin di ombuds hanya di kisaran 11%.

Ketimpangan gender dalam suatu lembaga menyebabkan kurangnya sensitivitas gender dalam menangani pengaduan.
Poster yang dibentangkan oleh peserta aksi Women’s March Jakarta pada 8 Maret 2016. kiwiofmischief/Shutterstock[13]

Data ini sangat kontras dengan fakta bahwa perempuan merupakan mayoritas dari mereka yang hidup dalam kemiskinan—seringkali disebut dengan “kemiskinan berbasis gender”[14] atau “feminisasi kemiskinan”[15].

Penyebabnya antara lain hukum serta praktik-praktik diskriminatif yang membatasi akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi.

Kurangnya representasi ini juga dapat menghalangi perempuan untuk merasa nyaman mengajukan keluhan. Sebab, mereka bisa jadi merasa pengalaman mereka tidak akan dipahami atau dianggap serius. Alhasil, perempuan cenderung tidak melaporkan keluhan yang mereka alami.

Read more: Riset tunjukkan pria mendominasi sistem politik di Indonesia dan ini merugikan politisi perempuan[16]

Data laporan sepanjang tahun 2021 yang diterima ombuds perwakilan Sumatera Barat menunjukkan pelapor yang banyak melaporkan dugaan maladministrasi masih laki-laki, sementara perempuan baru 26%[17].

Sebuah studi internasional[18] yang terbit tahun 2011 menunjukkan meskipun ombuds bertujuan menjangkau semua jenis warga negara, mayoritas pengadu ternyata laki-laki yang berpendidikan tinggi, kerah putih, dan tertarik pada politik. Bahkan, di Belgia, persentase laki-laki yang mengadu sekitar dua kali lebih besar daripada perempuan.

Lembaga publik masih patriarki

Menurut laporan UNDP[19] tahun 2014, di banyak negara maju dan berkembang, administrasi publik seringkali masih merupakan lembaga patriarki. Lembaga-lembaga ini cenderung melestarikan tradisi, sikap, dan praktik yang bias gender.

Perempuan belum berpartisipasi secara setara dalam administrasi publik, terutama dalam peran kepemimpinan dan pengambilan keputusan.

Pelayanan publik seharusnya bisa lebih adil gender.
Tampak belakang dua perempuan sedang duduk mengantre di fasilitas umum di Kebumen, Jawa Tengah. aponiblue/Shutterstock[20]

Ombuds perlu mentransformasi dirinya menjadi lembaga yang benar-benar melayani dan melindungi seluruh warga negara Indonesia melalui berbagai perubahan struktural dan operasional.

Salah satunya adalah menerapkan pengarusutamaan gender secara internal dan eksternal, memastikan keberagaman staf dan pimpinannya, dan secara eksplisit mengutamakan hukum HAM internasional dalam pekerjaan mereka.

Keberagaman staf lembaga ombuds pun perlu mencerminkan populasi yang dilayaninya. Semua aduan harus didata secara detail terkait kelamin dan tingkat pemahaman hukum pihak pengadu.

Read more: Data Bicara: Keterwakilan perempuan Indonesia sebagai duta besar kurang dari 6%, strategi pengarusutamaan gender perlu diperkuat[21]

Memberikan perhatian khusus kepada perempuan yang mengalami diskriminasi interseksional–bahwa perempuan dari ekonomi lemah punya pengalaman yang berbeda dengan perempuan yang berlatar belakang ekonomi kuat–juga penting.

Hal ini untuk memastikan bahwa aduan mereka dievaluasi secara sistematis. Sebab, peran perempuan yang membuat mereka lebih banyak berinteraksi dengan pelayanan publik, contohnya mengurusi pendidikan dan kesehatan anak, tentu membawa dampak yang kerap kali berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Ombudsman Indonesia juga perlu meluncurkan lebih banyak investigasi mandiri yang berfokus pada perempuan rentan di yurisdiksi mereka yang cenderung tidak dapat mengajukan pengaduan. Misalnya, anak perempuan, narapidana perempuan, perempuan adat, dan perempuan penyandang disabilitas.

References

  1. ^ konsep keadilan administratif (doi.org)
  2. ^ memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah (www.tandfonline.com)
  3. ^ 10 Maret 2000 (ombudsman.go.id)
  4. ^ termasuk Swedia (doi.org)
  5. ^ Mendambakan kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa demi penguatan demokrasi (theconversation.com)
  6. ^ memajukan kesetaraan gender (doi.org)
  7. ^ terabaikannya (www.tempo.co)
  8. ^ Tidak ada komisioner perempuan (www.tribunnews.com)
  9. ^ 15,8% (ombudsman.go.id)
  10. ^ model klasik (www.elgaronline.com)
  11. ^ Di Indonesia, legislator laki-laki skeptis soal kuota gender untuk perempuan dalam politik (theconversation.com)
  12. ^ 63% lembaga ini dipimpin oleh laki-laki (www.theioi.org)
  13. ^ kiwiofmischief/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  14. ^ “kemiskinan berbasis gender” (etd.repository.ugm.ac.id)
  15. ^ “feminisasi kemiskinan” (kapalperempuan.org)
  16. ^ Riset tunjukkan pria mendominasi sistem politik di Indonesia dan ini merugikan politisi perempuan (theconversation.com)
  17. ^ perempuan baru 26% (www.antaranews.com)
  18. ^ studi internasional (dx.doi.org)
  19. ^ Menurut laporan UNDP (www.undp.org)
  20. ^ aponiblue/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  21. ^ Data Bicara: Keterwakilan perempuan Indonesia sebagai duta besar kurang dari 6%, strategi pengarusutamaan gender perlu diperkuat (theconversation.com)

Authors: Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Read more https://theconversation.com/pengawasan-layanan-publik-masih-timpang-gender-studi-terhadap-ombudsman-republik-indonesia-263538

Magazine

Pengawasan layanan publik masih timpang gender: Studi terhadap Ombudsman Republik Indonesia

Gedung Ombudsman RI di Jakarta.Rivansyah Dunda/Shutterstock● Keterwakilan perempuan di lembaga ombudsman masih minim.● Ini melemahkan kemampuan ombudsman untuk melakukan pengawasan yang ad...

Ending malaria in Papua: Why oral communication matters as much as medicine

Illustration of a malaria-transmitting mosquito.Somboon Bunproy / ShutterstockPapua accounted for 93% of Indonesia’s 527,000 malaria cases in 2024, as elimination efforts continue to face multip...

Dilema utang kereta cepat Whoosh: Mengejar kecepatan, mengancam kedaulatan

Kereta Cepat Jakarta-Bandung Whoosh.wisely/Shutterstock● Masalah utang kereta cepat Whoosh menunjukkan adanya ketergantungan dalam sistem ekonomi global.● Angka penumpang yang tinggi belum...