Dilema utang kereta cepat Whoosh: Mengejar kecepatan, mengancam kedaulatan
- Written by Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro
 
● Masalah utang kereta cepat Whoosh menunjukkan adanya ketergantungan dalam sistem ekonomi global.
● Angka penumpang yang tinggi belum cukup menutupi beban finansial yang ditimbulkan.
● Kemampuan Indonesia mengelola relasi internasionalnya secara cerdas dan berdaulat tengah diuji.
Kereta cepat Jakarta–Bandung Whoosh menjadi proyek andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dinarasikan sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia.
Pada Oktober 2023[1], Jokowi dengan bangga meresmikannya dan mengatakan bahwa Whoosh hadir sebagai bukti Indonesia mampu bersaing dalam teknologi transportasi modern.
Namun, di era Presiden Prabowo Subianto saat ini, masalah Whoosh mulai bermunculan, terutama terkait pembayaran utang ke Cina yang mencapai US$ 7,27 miliar atau Rp110-113 triliun)[2].
Problematika ini mencerminkan realita bahwa kecepatan yang ditawarkan Whoosh telah menyebabkan ketergantungan baru dalam sistem ekonomi global, alih-alih mencerminkan kemajuan teknologi nasional.
Tumpukan utang di balik gemerlap modernitas
Proyek Whoosh memang mengesankan. Dengan kecepatan mencapai 350 kilometer per jam, ia menjadi kereta cepat pertama di Asia Tenggara—hasil kerja sama perusahaan Indonesia dan Cina.
Namun, secara ekonomi, proyek ini menghadirkan paradoks yang sulit diabaikan. Biaya yang semula diperkirakan sekitar $6 miliar (Rp99,4 triliun) kini melonjak hingga lebih dari $7,3 miliar (Rp120,9 triliun)[5]
Pemerintah pun harus melakukan negosiasi ulang dengan Cina, yang diwakili oleh China Development Bank[6] dan sejumlah perusahaan milik negara dalam konsorsium proyek Whoosh, untuk menyesuaikan skema utang yang kian membebani keuangan proyek
Read more: Biaya MRT dan Kereta Cepat melambung, pakar beberkan penyebab dan dampak pembengkakan budget infrastruktur[7]
Fakta ini memperlihatkan bahwa proyek infrastruktur besar tidak hanya mencakup teknologi dan konektivitas, melainkan juga relasi kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan arah politik pembangunan.
Selama dua tahun beroperasi, Whoosh mencatatkan angka penumpang yang cukup tinggi, lebih dari 12 juta penumpang[8] hingga Oktober 2025. Rekor hariannya mencapai 26 ribu penumpang[9].
Capaian ini patut diapresiasi sebagai kemajuan nyata dalam sistem transportasi nasional. Namun, angka tersebut ternyata belum cukup untuk menutupi beban finansial yang ditimbulkan.
Pendapatan dari tiket belum sebanding dengan biaya operasional dan pembayaran bunga utang.
Read more: Alasan mengapa Indonesia harus menolak permintaan Cina menjadikan APBN sebagai jaminan utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung[10]
Dalam jangka panjang, ketidakseimbangan ini berpotensi menjadi beban bagi keuangan publik, apalagi jika tidak disertai perencanaan ekonomi yang matang.
Ketika proyek besar semacam Whoosh menghadapi tekanan finansial, lagi-lagi rakyat yang kemungkinan besar akan menanggung konsekuensinya.
Ketergantungan global
Pembangunan seperti Whoosh tidak berlangsung di ruang yang netral, tetapi merupakan hasil dari proses negosiasi[11] antara kebutuhan domestik dan kepentingan global.
Dalam dunia yang semakin terhubung, kerja sama ekonomi lintas negara[13] menjadi hal yang tak terelakkan, tetapi hubungan tersebut jarang bersifat setara[14].
Modal, teknologi, dan keahlian sering kali datang dari pusat kekuatan ekonomi[15], sementara negara berkembang menyediakan pasar, sumber daya, dan ruang ekspansi[16].
Kemitraan untuk pembangunan kadang tampak sebagai kolaborasi, tetapi pada dasarnya menciptakan struktur ketergantungan yang baru[17].
Indonesia tentu membutuhkan investasi asing untuk mempercepat pembangunan. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap modal dan teknologi eksternal dapat melemahkan kemandirian nasional[18] dalam jangka panjang.
Ketika kemampuan produksi domestik tidak dikembangkan secara bersamaan, kemajuan yang tercipta hanya bersifat simbolik seolah cepat di permukaan, padahal fondasinya rapuh.
Read more: Kecelakaan pada proyek Cina merajalela, tapi mengapa Indonesia tetap bergantung pada investasi Cina?[19]
Pembangunan sejati seharusnya menciptakan kapasitas baru, kemampuan suatu negara untuk merancang, mengelola, dan memperluas teknologi sendiri[20] tanpa harus terus bergantung pada pihak luar.
Ujian bagi kedaulatan Indonesia
Proyek Whoosh seharusnya dibaca bukan hanya sebagai simbol kemajuan, tetapi juga sebagai ujian bagi kemampuan Indonesia menegosiasikan kedaulatannya.
Pemerintah memiliki peluang untuk menjadikan renegosiasi utang dengan Cina sebagai momentum memperkuat posisi strategis nasional. Langkah tersebut tidak semata soal menyesuaikan bunga pinjaman atau memperpanjang tenor, tetapi juga memastikan adanya transfer teknologi, pelibatan industri lokal, serta pengawasan publik yang lebih transparan.
Tanpa upaya itu, Whoosh berisiko menjadi proyek yang hanya memperindah citra tanpa memperkuat kapasitas nasional.
Dalam jangka panjang, keberlanjutan proyek ini tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kemampuan negara mengelola relasi internasionalnya secara cerdas dan berdaulat.
Pada dasarnya, infrastruktur selalu memiliki dimensi politik[23]. Ia menentukan arah distribusi sumber daya, prioritas pembangunan, dan relasi antara negara serta masyarakatnya.
Kebanggaan terhadap pembangunan yang tidak disertai refleksi kritis bisa berbahaya, banyak risiko ekonomi dan sosial[24] yang akan muncul, termasuk menumpuknya utang negara.
Dua mata pisau modernitas
Modernitas[25] selalu datang dengan wajah ganda. Di satu sisi, ia membuka peluang bagi inovasi dan pertumbuhan. Di sisi lain, ia menuntut penyesuaian terhadap struktur global yang sering kali tidak adil.
Kereta cepat Whoosh mencerminkan dilema ini. Ia melambangkan tekad Indonesia untuk maju, tetapi juga mengingatkan bahwa kemajuan sejati tidak dapat dibeli hanya dengan kecepatan dan investasi asing.
Read more: Politisasi proyek infrastruktur tak terhindarkan, namun kerap tak sejalan dengan kebutuhan publik[27]
Kemajuan sejati menuntut kemampuan untuk menentukan arah, bukan sekadar mengikuti arus. Whoosh bukan sekadar kisah tentang transportasi, melainkan juga tentang kedaulatan. Ia mengajarkan bahwa pembangunan yang hanya mengejar kecepatan tanpa arah akan kehilangan makna.
Tugas besar Indonesia hari ini bukan hanya memastikan keretanya berjalan, tetapi memastikan bahwa bangsa ini benar-benar mengendalikan ke mana rel sejarahnya mengarah.
References
- ^ Oktober 2023 (tribratanews.polri.go.id)
- ^ US$ 7,27 miliar atau Rp110-113 triliun) (ekbis.sindonews.com)
- ^ Kris/Biro Pers Sekretariat Presiden (www.presidenri.go.id)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ (Rp120,9 triliun) (newssetup.kontan.co.id)
- ^ China Development Bank (www.reuters.com)
- ^ Biaya MRT dan Kereta Cepat melambung, pakar beberkan penyebab dan dampak pembengkakan budget infrastruktur (theconversation.com)
- ^ 12 juta penumpang (kcic.co.id)
- ^ 26 ribu penumpang (kcic.co.id)
- ^ Alasan mengapa Indonesia harus menolak permintaan Cina menjadikan APBN sebagai jaminan utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (theconversation.com)
- ^ proses negosiasi (www.jstor.org)
- ^ Edy waluyo nugroho/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ kerja sama ekonomi lintas negara (link.springer.com)
- ^ jarang bersifat setara (books.google.co.id)
- ^ datang dari pusat kekuatan ekonomi (www.jstor.org)
- ^ pasar, sumber daya, dan ruang ekspansi (www.sciencedirect.com)
- ^ struktur ketergantungan yang baru (www.tandfonline.com)
- ^ melemahkan kemandirian nasional (www.nvngu.in.ua)
- ^ Kecelakaan pada proyek Cina merajalela, tapi mengapa Indonesia tetap bergantung pada investasi Cina? (theconversation.com)
- ^ memperluas teknologi sendiri (pathwayscommission.bsg.ox.ac.uk)
- ^ Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden (www.presidenri.go.id)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ memiliki dimensi politik (www.journals.uchicago.edu)
- ^ risiko ekonomi dan sosial (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Modernitas (www.tandfonline.com)
- ^ Ade Yulida/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Politisasi proyek infrastruktur tak terhindarkan, namun kerap tak sejalan dengan kebutuhan publik (theconversation.com)
Authors: Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro




