Silang pendapat pusat-daerah soal dana mengendap: Siapa yang benar?
- Written by Rudi Syaf Putra, Dosen Audit Forensik Universitas Muhammadiyah Riau, Universiti Malaysia Terengganu
● Polemik duit APBD yang mengendap di bank kian memanas antara menteri keuangan dan para kepala daerah.
● Silang pendapat terjadi karena perbedaan sumber data acuan yang berbeda-beda.
● Hal ini harus dibenahi agar pertanggungjawaban penggunaan duit negara yang mayoritasnya berasal dari pajak lebih transparan.
Pernyataan Menteri Keuangan yang dijuluki menteri “koboi” Purbaya Yudhi Sadewa tentang mengendapnya kas pemerintah daerah (pemda) yang mencapai Rp234 triliun hingga akhir September 2025[1] cukup menghebohkan publik.
Dana yang mengendap ini mencerminkan kas negara yang belum terserap dari APBD di berbagai daerah.
Menurut Purbaya, pemda harusnya sudah mengeluarkan uang tersebut untuk belanja produktif untuk memantik geliat perekonomian setempat, alih-alih menimbunnya dalam bentuk tabungan berimbal hasil (bunga).
Sontak, para pemda pun bereaksi terhadap tudingan Purbaya. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau KDM[2] mengatakan data yang ditudingkan Purbaya mengenai kas daerahnya sebesar Rp4,1 triliun mengendap di deposito itu salah.
Dalam sanggahannya, Dedi mengatakan duit kas Jabar sebesar Rp3,8 triliun[3] disimpan dalam bentuk giro.
Baik deposito maupun giro merupakan instrumen tabungan berbunga. Bedanya, deposito merupakan tabungan berjangka, sedangkan giro bisa digunakan sesuai jam operasional bank.
Soal besaran bunganya, deposito cenderung lebih besar dibandingkan giro.
Pun di Jawa Timur[4]. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, dana kas Pemprov Jatim per 22 Oktober Pukul 09.30 WIB sebesar Rp6,2 triliun. Ini terdiri dari deposito Rp3,6 triliun dan giro Rp2,6 triliun.
Dana tersebut, kata Khofifah, terlihat besar karena ada porsi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA[5]) 2024 sebesar Rp4,6 triliun. Duit ini baru bisa dibelanjakan setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Peraturan Daerah Pertanggungjawaban APBD 2024 terbit.
Silang pendapat ini tentunya membingungkan publik. Pertentangan ini membuka pertanyaan besar: mengapa data fiskal yang sama-sama berasal dari sistem negara bisa berbeda?
Pasalnya, Kementerian Keuangan menyebut data tersebut bersumber dari laporan sistem Bank Indonesia. Sementara pihak Pemprov Jabar merujuk pada posisi kas riil per 17 Oktober 2025 yang jauh lebih kecil.
Bagi publik, ini bukan sekadar soal selisih angka, tapi persoalan kepercayaan fiskal nasional.
Jika lembaga pengelola keuangan negara tak memiliki kesamaan data, bagaimana masyarakat bisa meyakini bahwa uang mereka dikelola dengan transparan dan akuntabel?
Mengapa data bisa beda?
Dalam kerangka public financial management[6] yang dilansir Asian Development Bank (ADB), ada tiga faktor utama yang menyebabkan perbedaan data fiskal di suatu negara.
Pertama, timing difference yakni perbedaan waktu pelaporan antara sistem keuangan pusat dan daerah.
Kedua, Systemic disconnection atau integrasi antar sistem data fiskal belum sepenuhnya real-time. Platform seperti Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) Kementerian Keuangan, Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) Kementerian Dalam Negeri, dan BI-RTGS yang dikelola BI masih beroperasi terpisah.
Ketiga, Governance gap yang berarti lemahnya mekanisme verifikasi antar lembaga fiskal.
Selain itu, otoritas pusat[7] cenderung menggunakan basis pencatatan kas (cash basis). Sementara sebagian daerah[8] seperti Jawa Timur menerapkan modified accrual basis yang bisa mencatatkan pendapatan dan pengeluaran meski kasnya belum masuk.
Akibatnya, ketika data ditarik oleh Bank Indonesia dan Kemenkeu dalam waktu berbeda, hasilnya bisa menunjukkan selisih signifikan.
Read more: Jokowi resah tabungan mengendap Rp 690 triliun di bank, betulkah masyarakat yang harus belanja?[9]
Masalah ini bukan sekadar administratif, tapi menyentuh dimensi tata kelola data fiskal yang menjamin setiap angka memiliki audit trail of accountability (objek audit).
Risiko data fiskal tak sinkron
Ketidaksinkronan data fiskal berisiko besar terhadap tata kelola negara.
Yang paling umum adalah fiscal illusion atau ilusi fiskal. Ini membuat laporan keuangan tampak sehat di atas kertas, tetapi bisa jadi kemampuan riil fiskal daerah sebenarnya loyo.
Tanpa dasar yang kuat, taruhannya adalah kualitas kebijakan anggaran. Salah-salah, pemerintah pusat ataupun daerah justru melakukan pemborosan bahkan kurangnya pendanaan di sektor publik.
Yang tidak kalah penting adalah erosion of public trust atau hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas institusi fiskal.
Dalam perspektif forensic auditing atau audit forensik[10], setiap anomali data fiskal adalah red flag yang menuntut verifikasi menyeluruh, bukan klarifikasi retoris pengelolanya.
Kejujuran angka merupakan fondasi keuangan publik yang sehat.
Bagaimana pengelolaan fiskal di negara lain?
Negara seperti Korea Selatan dan Inggris telah menunjukkan pentingnya pelaporan fiskal yang terintegrasi.
Sistem Korean Fiscal Information System (K-FIS[11]) menghubungkan seluruh entitas pemerintah pusat dan daerah dalam satu platform.
Sementara Inggris melalui Whole of Government Accounts (WGA[12]) menggabungkan semua laporan keuangan publik dan mengauditnya setiap tahun melalui National Audit Office atau Badan Audit Nasional Inggris.
Keduanya berpegang pada prinsip kepercayaan yang didapat dari transparansi (trust through transparency).
Indonesia sebenarnya memiliki pondasi serupa: Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara dan SIPD Sistem Informasi Pemerintahan Daerah.
Read more: Selain untuk masyarakat, diversifikasi pangan juga bisa membangun ekonomi daerah[13]
Namun, tanpa integrasi dan rekonsiliasi real-time, keduanya akan terus menimbulkan bias data antarlembaga fiskal.
Membangun Dewan Akuntabilitas Data Fiskal
Untuk menghindari polemik yang sebenarnya bukan hal baru ini, pemerintah perlu membentuk semacam Dewan Akuntabilitas Data Fiskal Nasional.
Dewan ini berisi lembaga lintas institusi yang terdiri Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, dan akademisi independen.
Dewan ini berfungsi menyelaraskan definisi dan sumber data fiskal nasional, rekonsiliasi data real-time antarsistem (SPAN–SIPD–BI), dan menyusun dasbor transparansi anggaran (fiscal transparency dashboard) yang dapat diakses publik.
Dengan langkah ini, data fiskal bukan lagi monopoli birokrasi, melainkan barang publik yang bisa diakses kapan saja. Transparansi bukan ancaman; ia adalah fiscal buffer of trust—penyangga kepercayaan yang menentukan legitimasi negara.
Read more: Fenomena 'Rojali' dan 'Rohana' bikin mal berubah fungsi[15]
Pada akhirnya, polemik fiskal ini bukan soal benar-salah angka, tapi soal moral pengguna anggaran negara.
Uang publik adalah amanah. Setiap digit yang dilaporkan pemerintah adalah simbol kepercayaan rakyat.
Dalam dunia audit forensik dikenal adagium: “Numbers don’t lie, but interpretation can” (Angka tidak pernah berbohong, tapi tafsirannya bisa).
Tugas pemerintah bukan adu salah dan adu benar. Melainkan memastikan setiap rupiah yang didapatkan dari pajak masyarakat bisa berguna dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.
References
- ^ Rp234 triliun hingga akhir September 2025 (www.cnbcindonesia.com)
- ^ Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau KDM (money.kompas.com)
- ^ Rp3,8 triliun (money.kompas.com)
- ^ Jawa Timur (timesindonesia.co.id)
- ^ SiLPA (timesindonesia.co.id)
- ^ public financial management (www.adb.org)
- ^ pusat (www.adb.org)
- ^ daerah (www.adb.org)
- ^ Jokowi resah tabungan mengendap Rp 690 triliun di bank, betulkah masyarakat yang harus belanja? (theconversation.com)
- ^ audit forensik (www.accaglobal.com)
- ^ K-FIS (fis.kr)
- ^ WGA (www.nao.org.uk)
- ^ Selain untuk masyarakat, diversifikasi pangan juga bisa membangun ekonomi daerah (theconversation.com)
- ^ MULTI ILHAM ANUGRIYA/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ Fenomena 'Rojali' dan 'Rohana' bikin mal berubah fungsi (theconversation.com)
Authors: Rudi Syaf Putra, Dosen Audit Forensik Universitas Muhammadiyah Riau, Universiti Malaysia Terengganu
Read more https://theconversation.com/silang-pendapat-pusat-daerah-soal-dana-mengendap-siapa-yang-benar-268891




