Bagaimana sains warga membantu dokumentasi keanekaragaman hayati di desa-desa terpencil Kalimantan
- Written by Erik Meijaard, Honorary Professor of Conservation, University of Kent
● Warga lokal memiliki pengetahuan yang sangat penting untuk memantau satwa liar.
● Sains warga bisa membantu mendokumentasikan keanekaragaman hayati dengan biaya murah dan proses yang inklusif.
● Program ini juga membawa dampak sosial positif: menambah pendapatan warga, mengubah sikap terhadap satwa, dan memperkuat pengelolaan desa.
Ketika saya, Erik Meijaard, bekerja sebagai konsultan satwa liar untuk sebuah konsesi kayu di Kalimantan Timur (Ulu Mahakam), saya sering mengobrol dengan para sopir truk pengangkut kayu.
Dari obrolan itu, saya menyadari bahwa mereka justru jauh lebih memahami satwa liar setempat ketimbang tim keanekaragaman hayati perusahaan.
“Kalau mau, saya bisa tunjukkan tempat macan dahan. Ikut saja truk saya, nanti di sekitar kilometer 38, sekitar jam dua pagi, biasanya ada satu atau dua ekor,” kata salah satu sopir truk kepada saya saat itu.
Malam itu kami belum beruntung bertemu kucing pemalu tersebut. Tapi pada suatu pagi dua tahun kemudian, saya akhirnya benar-benar melihat seekor macan dahan sedang duduk tenang di tepi jalan logging.
Si sopir itu ternyata benar. Macan-macan itu memang sering muncul di jalur itu.[1]
Sejak itu, saya mengandalkan informasi masyarakat untuk memantau populasi satwa liar di dalam konsesi perusahaan, sekaligus mendeteksi ancaman lebih cepat.
Pada 1990-an, saya mulai membuat peta persebaran orangutan pertama dengan mewawancarai penduduk desa. Pada 2008, saya memperluas pendekatan tersebut hingga ke 700 desa untuk memetakan persepsi masyarakat tentang hutan dan satwa liar.[2][3]
Dari 2019 sampai 2025, saya menjalankan program percontohan sains warga di perkebunan kelapa sawit[4] dan menghasilkan hampir 190 ribu catatan satwa liar dari 4 ribu pekerja.
Semua pengalaman ini menunjukkan bahwa sebagian pengetahuan ekologis paling berharga justru dimiliki oleh mereka yang tinggal paling dekat dengan hutan, bukan para ilmuwan yang mungkin hanya berkunjung setahun sekali.
Bagaimana sains warga bekerja?
Berdasarkan pemahaman tersebut, tim kami memperkenalkan model baru untuk studi yang lebih luas[5] di empat desa di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di sana, masyarakat setempat mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial.
Kami bekerja langsung dengan warga. Siapa pun yang memiliki ponsel pintar bisa mencatat temuan satwa menggunakan aplikasi sederhana kami: Kehatiku (akronim dari “ke hatiku” sekaligus “keanekaragaman hayatiku”). Observasi, mulai dari foto orangutan hingga rekaman suara owa, semua diunggah dengan koordinat GPS.
Kami memeriksa temuan secara berlapis. Mulai dari pemeriksaan awal menggunakan AI untuk mendeteksi duplikasi atau kesesuaian lokasi. Tim verifikator dan pakar spesies kemudian memeriksa berbasiskan panduan lapangan kami.
Setelah lolos verifikasi, kami membayar warga yang sudah menjadi pengamat satwa ini. Nilainya mulai dari sekitar Rp10 ribu per rekaman suara burung hingga sekitar Rp100 ribu untuk foto atau video orangutan liar yang jelas.
Sejak program sains warga ini dimulai pada 2023[6], sebanyak 567 peserta sudah mengumpulkan lebih dari 58 ribu observasi satwa liar dari hutan. Biaya jauh lebih murah—hanya sekitar 5%—dari total ongkos survei konvensional.
Program ini bukan hanya menambah pendapatan, tetapi juga insentif bagi warga yang melindungi satwa liar dan habitatnya.
Read more: Program imbalan untuk melepas hiu dan pari: Antara risiko dan harapan untuk konservasi[7]
Apa yang terungkap dari data?
Data yang terkumpul dari aplikasi Kehatiku cukup mengejutkan kami. Jumlah orangutan, owa, dan berbagai spesies penting yang menjadi perhatian konservasi global, ternyata masih sangat tinggi di hutan-hutan desa, bahkan di sekitar kawasan pertanian dan pemukiman.
Spesies yang paling sering dilaporkan dari empat desa di Kapuas Hulu meliputi orangutan (dengan 9.766 catatan sarang). Ada juga murai batu ekor putih, beruang madu, monyet ekor panjang, dan lebah tanpa sengat atau ‘kelulut’.
Pengamatan langsung orangutan Kalimantan dan rekaman rutin suara owa membuktikan bahwa spesies-spesies ini masih bertahan di luar kawasan lindung—wilayah yang jarang tersentuh survei resmi.
Saat ini kami sedang menguji apakah data ini cukup kuat untuk menghasilkan estimasi okupansi yang andal secara statistik. Tujuannya untuk menunjukkan bagaimana spesies satwa liar memanfaatkan area hutan desa.
Untuk wilayah perkebunan, kami sudah menerjemahkan temuan ini menjadi sebuah indeks keberlangsungan hidup satwa[8], sebuah alat penting untuk menyusun kebijakan konservasi dan langkah intervensi berbasis data.
Perubahan perilaku dan dampak sosial
Pada awal 2025, kami juga bekerja sama dengan mitra lokal untuk melakukan survei sosial awal untuk menilai dampak sosial ekonomi dari program ini.
Hasil awal menunjukkan adanya perubahan persepsi. Lebih dari 70% warga di empat desa percontohan telah mendengar program ini. Hampir dua pertiga di antaranya menyatakan tertarik untuk ikut serta.
Sekitar sepertiga sudah memperoleh pendapatan dari observasi satwa liar yang terverifikasi, biasanya sekitar Rp500 ribu hingga Rp3 juta setiap tiga bulan. Nilai ini berarti bagi mayoritas masyarakat setempat yang terbiasa hidup dengan pendapatan kurang dari Rp2 juta per bulan.
Dan yang lebih penting, sikap warga terhadap satwa liar mulai berubah. Burung kicau yang dulu sering ditangkap dan dijual, kini lebih sering dibiarkan tetap hidup di hutan. Sebab, warga menyadari bahwa mereka bisa mendapatkan manfaat lebih besar dengan melaporkan keberadaan mereka.
Model pemantauan inklusif dan berbiaya rendah
Insentif finansial jelas meningkatkan partisipasi masyarakat. Tingkat observasi melonjak dari sekitar 17 laporan per desa per bulan pada fase sukarela menjadi lebih dari 6 ribu per bulan setelah sistem pembayaran berlaku.
Dengan biaya rata-rata hanya sekitar Rp13 ribu per observasi, pendekatan ini jauh lebih murah dibanding survei transek atau kamera jebak yang dapat menelan biaya hingga US$300 (Rp5 juta) per kamera[9] atau bahkan lebih[10].
Selain mengurangi biaya logistik, mengandalkan pengamat lokal memungkinkan pemantauan ke area yang luas hingga daerah terpencil.
Berbeda dengan proyek penelitian jangka pendek, program ini berjalan sepanjang tahun. Sebab, motivasi dan datanya datang langsung dari masyarakat setempat.
Program ini juga memperkuat tata kelola desa. Lewat pertemuan rutin dan grup WhatsApp, warga membahas hasil verifikasi, mengusulkan perubahan aturan, dan memutuskan bersama cara mengelola pembagian insentif. Kami juga mengembalikan informasi yang sudah tersusun rapi kepada warga sebagai bahan yang dapat mereka gunakan untuk mengelola hutan mereka.
Interaksi ini, ditambah catatan pembayaran yang transparan, meningkatkan akuntabilitas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan desa yang lebih luas. Kepercayaan antarwarga juga menguat.
Dalam satu kasus, ketika seorang peserta mengirim foto dari internet sebagai bukti palsu, para warga sendiri yang meminta agar orang tersebut dikeluarkan dari program. Ini menjadi bukti bahwa integritas data kini sudah menjadi nilai bersama.
Fasilitator lokal kami membayar seorang pengamat. Program ini juga telah mendorong peningkatan partisipasi perempuan dalam beberapa waktu terakhir.
Andi Erman
Melampaui data: Rasa memiliki dan kebanggaan
Di luar aspek ilmiah, proyek ini menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan terhadap alam. Bagi para peserta, hutan kini sudah menjadi aset ekonomi melalui konservasi. Perubahan cara pandang ini mungkin merupakan hasil terpenting dari semuanya.
Dengan jaringan seluler dan sistem pembayaran digital yang kini merata di Indonesia, model sains warga kami berpotensi diterapkan di ribuan desa. Sains warga bisa menjadi pilar konservasi satwa liar di masa depan dan Indonesia bisa menjadi pelopornya.
Dari para sopir truk yang melihat macan dahan pada 1990-an hingga para warga yang kini bermodalkan ponsel pintar, pesannya jelas: ilmu pengetahuan dan kepedulian akan berkembang ketika semua orang bisa berperan dan mendapatkan imbalan yang adil atas kontribusinya.
References
- ^ memang sering muncul di jalur itu. (bmcecol.biomedcentral.com)
- ^ peta persebaran orangutan pertama (link.springer.com)
- ^ untuk memetakan persepsi masyarakat tentang hutan dan satwa liar. (journals.plos.org)
- ^ program percontohan sains warga di perkebunan kelapa sawit (www.biorxiv.org)
- ^ studi yang lebih luas (www.mdpi.com)
- ^ program sains warga ini dimulai pada 2023 (www.mdpi.com)
- ^ Program imbalan untuk melepas hiu dan pari: Antara risiko dan harapan untuk konservasi (theconversation.com)
- ^ indeks keberlangsungan hidup satwa (www.biorxiv.org)
- ^ US$300 (Rp5 juta) per kamera (www.wwf.org.uk)
- ^ lebih (www.researchgate.net)
Authors: Erik Meijaard, Honorary Professor of Conservation, University of Kent




