Dari tawuran ke ‘dark web’: Wajah baru kenakalan remaja
- Written by Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
● Kenakalan remaja kini berevolusi dan berpindah ke ruang digital
● Pemberontakan, impulsif, dan rasa ingin tahu yang besar, menjadi titik lemah remaja yang mudah dieksploitasi.
● Algoritma media sosial menjerat remaja ke dalam akses konten kekerasan dan ekstrem.
Bayangkan seorang remaja membawa senjata mainan ke sekolah, dengan nama-nama pelaku penembakan massal internasional terpampang di sana. Ini bukan adegan film, tetapi potongan dari kasus kekerasan di SMAN 72 Jakarta[1].
F sebagai pelaku adalah seorang siswa, bukan monster yang tiba-tiba muncul. Ia adalah produk dari sebuah transformasi kelam kenakalan remaja di era borderless,[2] saat gawai di genggaman bisa membuka gerbang menuju dunia kekerasan ekstrem.
Riset kolaboratif ThinkTank.ID, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Polda Metro Jaya pada 2025[3] menunjukkan, masalahnya kenakalan remaja kini telah berevolusi melalui media digital.
Dulunya, kenakalan identik dengan tawuran atau bolos sekolah. kini wajahnya adalah akses ke dark web dan konsumsi konten kekerasan ekstrem.
Dark web[4] merujuk pada istilah “lapisan gelap” dari internet yang tersembunyi, anonim, dan sering dikaitkan dengan aktivitas ilegal. Biasanya hanya bisa diakses menggunakan peramban khusus seperti The Onion Router (TOR).
Kenakalan yang berevolusi
Akar masalah kenakalan remaja tetap berhulu pada permasalahan keluarga. Dengan tidak hadirnya orangtua dalam kehidupan remaja, pendidikan literasi digital akan terhambat karena ketahanan keluarga tidak kuat.
Dunia digital tanpa batas telah menjadi panggung baru di tengah gap literasi digital antara orang tua dan anak.
Sebagai digital natives[6], kehidupan remaja kini lebih banyak berinteraksi di dunia online. Namun tetap Karakter khas masa remaja[7] tidak hilang, seperti pemberontakan, impulsif, dan rasa ingin tahu yang besar, menjadi titik lemah yang mudah dieksploitasi.
Isolasi sosial dan penolakan teman sebaya mendorong mereka lebih dalam ke ruang online. Tujuannya mencari identitas dan komunitas yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata.
Berdasarkan pola global[8], 60% pelaku ekstremisme mengalami perubahan pandangan ekstrem lewat ruang online. Laporan intelijen Australia (ASIO)[9] mencatat anak termuda yang terlibat dalam kasus terorisme berusia 13 tahun.
Read more: 'Brain rot' mudah menimpa anak dan remaja karena konten serba cepat[10]
Kasus SMAN 72 menjadi sebuah contoh nyata penyimpangan kenakalan remaja di ruang digital.
Terungkap bahwa pelaku aktif mengakses dark web[11]. Ia menyaksikan video kekerasan dari pelaku penembakan massal seperti pelaku Columbine[12], Christchurch[13], dan lainnya. Tidak hanya menonton; dia mengagumi mereka. Nama-nama pelaku itu dia tulis pada senjata mainannya.
Perangkap algoritma
Bagaimana F bisa tergelincir begitu dalam? Jawabannya ada dalam dua jebakan digital: echo chamber dan deindividuasi (hilangnya kesadaran diri dalam kelompok)[14].
Prosesnya bermula ketika algoritma media sosial secara tak kasat mata menjerat F. Setiap kali ia mengakses konten kekerasan, algoritma setia menyuguhkan konten serupa yang lebih ekstrem.
Perlahan, F terkurung dalam “ruang gema” digital, di mana kekerasan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Komunitas true crime online yang diikutinya kemudian memperkuat jebakan ini.
Dari sinilah deindividuasi terjadi. Tenggelam dalam dunia maya yang anonim, identitas asli F sebagai pelajar memudar. Ia seakan berubah menjadi sekadar avatar tanpa nama yang larut dalam massa. Sebab, anonimitas[16] cenderung menciptakan rasa aman palsu bagi pengguna media sosial.
Hal-hal yang tidak akan dilakukannya di dunia nyata, seperti membawa senjata mainan bertuliskan nama pelaku pembantaian, seakan menjadi tindakan yang “dapat diterima”.
Read more: Jebakan 'echo chamber': Panduan etika untuk 'influencer' agar tidak blunder[17]
Dua proses inilah yang menjelaskan transformasi F dari pengamat pasif di balik layar menjadi pelaku aktif yang siap melakukan kekerasan di dunia nyata.
Bullying hanya bagian kecil dari puzzle kompleks
Muncul narasi-narasi menyimpulkan bullying sebagai biang kerok. Padahal, akar masalahnya tak sesederhana itu[18].
Bullying yang dialami F memang ada, tetapi catatan hariannya menunjukkan itu telah berlangsung sejak SD. Ini menjadi sebuah “eskalasi emosi yang bertumpuk-tahun tanpa pernah terselesaikan.”
Read more: Bunuh diri remaja bukti kegagalan sistem pendidikan, politik, dan lingkungan sosial[19]
Faktor yang lebih krusial dan terkait dengan tindak kekerasan adalah gabungan dari kesehatan mental[20] yang tidak terurus, kehilangan figur orang tua[21] yang hadir secara emosional, dan paparan masif konten kekerasan dari internet[22].
Ketika semua faktor risiko ini bertemu dalam diri seorang remaja yang cerdas namun tidak memiliki saluran ekspresi yang sehat, hasilnya bisa menjadi ledakan yang tragis.
Urgensi pendekatan kolaboratif
Menghadapi transformasi kenakalan remaja yang kian borderless ini, respons yang terpecah-pecah di banyak pihak tidak lagi memadai. Akar persoalannya muncul dari bertemunya faktor pendorong seperti isolasi sosial dengan faktor penarik berupa janji akan komunitas dalam konten ekstrem di dunia digital.
Oleh karena itu, pendekatan kita harus kolaboratif dan berjenjang, sehingga melampaui batas sektoral.
Di tingkat pencegahan utama, fondasinya adalah membangun literasi digital kritis. Baik bagi orang tua maupun anak perlu mengenali jebakan echo chamber dan konten berbahaya.
Ketika tanda-tanda kerentanan muncul, seperti ketertarikan pada materi ekstrem, pencegahan sekunder harus diaktifkan. Caranya melalui intervensi dini yang melibatkan guru, konselor sekolah, dan tenaga kesehatan mental, sebelum ekstremisme semakin mengakar.
Terakhir, di tingkat pencegahan tersier, perlu penegakan hukum yang tidak hanya fokus pada pelaku. Kita juga perlu menuntut akuntabilitas platform digital yang menjadi medium penyebaran konten kekerasan.
Read more: Melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media[24]
Hanya dengan sinergi yang utuh antara keluarga, sekolah, komunitas, dan otoritas terkait, kita dapat membangun jaringan pengaman yang efektif melawan radikalisasi digital yang mengintai generasi muda kita.
Melindungi digital natives memerlukan kewaspadaan kolektif. Kita tidak bisa sekadar menyalahkan internet atau individu. Kita butuh pemahaman yang mendalam tentang mekanisme jebakan digital dan sebuah respons kebijakan yang terpadu.
Tujuannya untuk menyatukan keluarga, sekolah, komunitas, dan pemerintah sebelum korban dan pelaku berikutnya muncul.
Siska Azhari, peneliti dari ThinkTank.ID, turut berkontribusi dalam riset dan tulisan ini.
References
- ^ kekerasan di SMAN 72 Jakarta (news.detik.com)
- ^ transformasi kelam kenakalan remaja di era borderless, (imcra-az.org)
- ^ Riset kolaboratif ThinkTank.ID, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Polda Metro Jaya pada 2025 (drive.google.com)
- ^ Dark web (journals.sagepub.com)
- ^ Cornelius Krishna Tedjo/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ digital natives (www.sciencedirect.com)
- ^ Karakter khas masa remaja (nyaspubs.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ pola global (search.informit.org)
- ^ Laporan intelijen Australia (ASIO) (www.aph.gov.au)
- ^ 'Brain rot' mudah menimpa anak dan remaja karena konten serba cepat (theconversation.com)
- ^ dark web (www.kompas.com)
- ^ pelaku Columbine (www.britannica.com)
- ^ Christchurch (www.bbc.com)
- ^ echo chamber dan deindividuasi (hilangnya kesadaran diri dalam kelompok) (www.aic.gov.au)
- ^ AbinyaReisa/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ anonimitas (www.tandfonline.com)
- ^ Jebakan 'echo chamber': Panduan etika untuk 'influencer' agar tidak blunder (theconversation.com)
- ^ tak sesederhana itu (www.youtube.com)
- ^ Bunuh diri remaja bukti kegagalan sistem pendidikan, politik, dan lingkungan sosial (theconversation.com)
- ^ kesehatan mental (link.springer.com)
- ^ figur orang tua (journals.sagepub.com)
- ^ konten kekerasan dari internet (www.sciencedirect.com)
- ^ fadfebrian/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media (theconversation.com)
Authors: Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Read more https://theconversation.com/dari-tawuran-ke-dark-web-wajah-baru-kenakalan-remaja-270974





