Bisakah warga menggugat pemerintah atas bencana di Sumatra?
- Written by Sahid Hadi, Peneliti Hak Asasi Manusia dan Dosen Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
● Dampak bencana di Sumatra tidak semata takdir, melainkan hasil keputusan politik negara dan kebijakan publik yang tidak akuntabel.
● Warga terdampak punya dasar kuat untuk menggugat pemerintah ke pengadilan.
● Gugatan bisa diajukan ke PTUN maupun PN.
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memang masuk kategori bencana alam, sesuai dengan Pasal 1 Undang Undang Penanggulangan Bencana[1]. Namun, kerugian ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang diakibatkannya bukan sekadar takdir alam.
Di balik ribuan korban yang meninggal dan hilang, serta jutaan warga yang terpaksa mengungsi[2] saat ini, ada keputusan politik dan kebijakan pemerintah yang tak akuntabel terutama dalam penerbitan izin/persetujuan usaha.
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah menerbitkan izin usaha secara agresif[3] untuk perkebunan sawit dan pertambangan yang mendorong praktik deforestasi dan alih fungsi lahan di Sumatra.
Sepanjang 2019-2025, misalnya, telah terjadi kehilangan hutan[4] hingga 94.286 hektare (ha) di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga 2024, jutaan ha perkebunan sawit[5] sudah terparkir di tiga wilayah tersebut: 565.135 ha di Aceh, 2.018.727 ha di Sumatra Utara, dan 555.076 ha di Sumatra Barat.
Ketika tutupan hutan hilang, maka kapasitas tanah untuk menyerap air pun berkurang dan lereng-lereng menjadi rapuh. Pada saat hujan deras, kerusakan fungsi lingkungan semacam ini semakin memungkinkan banjir bandang dan longsor terjadi.
Read more: Jangan minta rakyat bersyukur cuaca membaik, kalau deforestasi dan eksploitasi alam terus dibiarkan[6]
Situasi ini mengindikasikan bahwa proses penerbitan izin usaha oleh pemerintah tidak didahului dengan uji tuntas lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) yang memadai. Proses penerbitan juga tidak melibatkan masyarakat[7] yang paling berpotensi terdampak.
Ini mencerminkan buruknya tata kelola lingkungan hidup dan kinerja HAM pemerintah. Dan ini semua bisa kita gugat ke pengadilan.
Warga terdampak punya dasar yang kuat untuk menggugat pemerintah ke pengadilan atas dasar perlindungan lingkungan hidup dan HAM[8]. Pemberian izin yang tidak akuntabel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Ruang resapan air berkurang, bahkan hilang. Akar pohon untuk mengikat tanah pun demikian.
Padahal, lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan HAM yang jelas-jelas dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 9 ayat (3) UU Hak Asasi Manusia, dan Pasal 65 UU Lingkungan Hidup. Begitu juga dengan hak untuk terinformasi dan terlibat dalam konsultasi publik ketika suatu izin usaha akan diterbitkan.
Ketika penerbitan izin usaha yang memicu deforestasi dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan tidak melibatkan konsultasi publik secara bermakna, maka pemerintah tidak hanya melanggar proses administratif, tetapi juga hak asasi warga.
Dalam kerangka HAM, penerbitan izin usaha perkebunan, tambang, maupun aktivitas yang mengubah kawasan hutan wajib disertai uji tuntas lingkungan dan HAM yang ketat.
Regulasi seperti United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights[9] dan Strategi Nasional Bisnis dan HAM[10] menaruh mandat yang jelas bagi pemerintah untuk mencegah kerugian HAM dalam aktivitas bisnis. Salah satunya melalui penerbitan izin yang akuntabel dan pengawasan berkelanjutan terhadap kepatuhan perusahaan pada standar lingkungan hidup.
Pasal 15 hingga 19 UU Lingkungan Hidup memberikan mandat serupa. Ada kewajiban bagi pemerintah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang melibatkan masyarakat ketika izin usaha akan diterbitkan.
Ironisnya, banjir dan longsor di Sumatera menjadi bukti nyata bahwa kewajiban lingkungan dan HAM ini tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Read more: Banjir bandang Sumatra: Kekerasan tak terlihat yang menjadi bom waktu mematikan[11]
Di samping itu, UU Penanggulangan Bencana secara jelas mewajibkan pemerintah melakukan mitigasi, pengurangan risiko, dan mencegah aktivitas yang memperbesar ancaman bencana.
Namun, banjir dan longsor yang parah akibat deforestasi ugal-ugalan dan alih fungsi lahan atas dasar izin usaha mengindikasikan bahwa pemerintah juga telah melanggar kewajiban hukum yang ia buat sendiri.
Untuk menuntut akuntabilitas pemerintah, warga terdampak setidaknya dapat menggunakan tiga mekanisme gugatan.
Pertama, gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dasar hukumnya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019[12].
Dalam konteks bencana di Sumatra, argumen gugatannya adalah bahwa penerbitan izin usaha yang mendorong praktik deforestasi dan alih fungsi lahan bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pemerintah tidak hanya gagal menjalankan kewajiban administrasi, tetapi juga gagal melindungi lingkungan hidup dan HAM dan mengawasi praktik deforestasi. Pemerintah pun tidak melakukan mitigasi risiko bencana sebagaimana diwajibkan UU Lingkungan Hidup, HAM, dan Penanggulangan Bencana.
Gugatan ini tidak hanya memberikan ruang bagi warga terdampak untuk menuntut ganti rugi, melainkan juga perubahan kebijakan dan perbaikan tata kelola, termasuk pencabutan izin yang terlanjur diterbitkan.
Kedua, gugatan warga negara (citizen lawsuit) baik secara keperdataan ke Pengadilan Negeri (PN) maupun administrasi ke PTUN. Dasar hukumnya adalah UU Lingkungan Hidup dan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2023[13].
Argumentasi gugatannya dapat didasarkan pada lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai kepentingan umum dan pemerintah telah melaksanakan kewenangannya secara tidak bertanggung jawab, baik dalam hal penerbitan izin usaha maupun pengawasan.
Ketiga, gugatan perwakilan kelompok (class action)[14] ke PN. Dasar hukumnya adalah UU Lingkungan Hidup yang pelaksanaannya juga diatur dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2023.
Warga terdampak dapat menggugat secara kolektif karena terdapat jumlah korban yang sangat besar dengan pola kerugian yang serupa. Dari sisi ekonomi dan sosial, kerugian itu meliputi rusaknya rumah dan kendaraan, hilangnya mata pencaharian, terganggunya pendidikan, hingga gangguan kesehatan selama pengungsian.
Gugatan dapat diajukan dengan argumentasi hilangnya ruang resapan air dan akar pengikat tanah sebagai kerusakan lingkungan karena penerbitan izin usaha yang tidak akuntabel dan minim partisipasi. Pengawasan laju deforestasi juga tidak dilaksanakan secara bertanggung jawab. Akibatnya adalah pelbagai kerugian seperti yang dialami warga terdampak saat ini.
Read more: Badai siklon tak harus jadi tragedi berulang jika hutan tidak terus dibabat[15]
Di samping itu, kinerja pemerintah dalam penanggulangan bencana juga dapat digunakan sebagai argumentasi penguat dalam setiap gugatan.
Selain dalam konteks lemahnya mitigasi risiko, Pasal 5 dan Pasal 3 UU Penanggulangan Bencana mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir dan tanah longsor secara cepat dan tepat.
Namun, kinerja pemerintah justru lambat dan tidak tepat di sini. Karena bantuan terlambat datang, warga terpaksa mengambil barang tanpa membayar di sejumlah toko[16] untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Jalur-jalur gugatan tersebut pernah dipraktikkan, dan memiliki rekam jejak kemenangan yang menjanjikan. Misalnya, gugatan korban banjir di Palembang[17] dan di Kalimantan Selatan[18] pada 2021.
Dari dua kasus ini, kita bisa melihat bagaimana warga terdampak menuntut akuntabilitas pubulik dengan meminta pengadilan untuk memerintahkan pemerintah memperbaiki kebijakan, kinerja, dan tata kelola di bidang lingkungan hidup dan HAM.
Bahkan, saat ini, ada laporan yang menunjukkan bahwa warga terdampak banjir bandang di Bali[19] beberapa bulan lalu juga akan menggunakan jalur yang sama untuk menuntut pemulihan dari pemerintah.
Dengan demikian, gugatan ke pengadilan sebenarnya tidak hanya masuk akal untuk dilakukan, tetapi juga relevan sebagai upaya warga untuk menuntut pemulihan dan akuntabilitas institusi publik atas tindakan pemerintah yang tidak akuntabel.
References
- ^ Pasal 1 Undang Undang Penanggulangan Bencana (peraturan.bpk.go.id)
- ^ jutaan warga yang terpaksa mengungsi (www.kompas.id)
- ^ menerbitkan izin usaha secara agresif (ekonomi.bisnis.com)
- ^ telah terjadi kehilangan hutan (nasional.kompas.com)
- ^ jutaan ha perkebunan sawit (ekonomi.bisnis.com)
- ^ Jangan minta rakyat bersyukur cuaca membaik, kalau deforestasi dan eksploitasi alam terus dibiarkan (theconversation.com)
- ^ tidak melibatkan masyarakat (www.kompas.tv)
- ^ perlindungan lingkungan hidup dan HAM (www.nature.com)
- ^ United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (www.ohchr.org)
- ^ Strategi Nasional Bisnis dan HAM (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Banjir bandang Sumatra: Kekerasan tak terlihat yang menjadi bom waktu mematikan (theconversation.com)
- ^ Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (peraturan.bpk.go.id)
- ^ Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2023 (peraturan.bpk.go.id)
- ^ gugatan perwakilan kelompok (class action) (journal.uii.ac.id)
- ^ Badai siklon tak harus jadi tragedi berulang jika hutan tidak terus dibabat (theconversation.com)
- ^ mengambil barang tanpa membayar di sejumlah toko (www.tempo.co)
- ^ di Palembang (i-lead.icel.or.id)
- ^ di Kalimantan Selatan (projectmultatuli.org)
- ^ banjir bandang di Bali (mongabay.co.id)
Authors: Sahid Hadi, Peneliti Hak Asasi Manusia dan Dosen Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Read more https://theconversation.com/bisakah-warga-menggugat-pemerintah-atas-bencana-di-sumatra-271394




