Banjir Sumatra: Respons pemerintah minim kemauan politik, pemulihan diputuskan secara tergesa
- Written by Jonatan A Lassa, Senior Fellow (adjunct), Humanitarian Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University
● Deteksi bencana tanpa komitmen politik menghasilkan respons lambat dan minim mitigasi.
● Ketiadaan deklarasi bencana nasional memperburuk penanganan bencana dan pemulihan masyarakat dalam jangka panjang.
● Dalam tiga bulan ke depan, diperlukan penilaian kerusakan dan kehilangan secara komprehensif termasuk identifikasi kebutuhan ‘blueprint’ pemulihan.
Banjir bandang yang berdampak ke 51 kabupaten di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh tak datang tiba-tiba.
Siklon Senyar sudah terdeteksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sekitar delapan hari sebelumnya[1] sejak terbentuk Bibit Siklon 95B. Lembaga ini pun mengirimkan peringatan ke pemerintah, otoritas daerah dan bahkan media[2], beberapa hari sebelumnya.
Siklon Senyar[3] membawa jatah hujan sebulan yang tercurah dalam sehari. Berpadunya curah hujan ekstrem sejak 25 November dengan kerusakan lahan dan ekosistem hulu[4] serta guncangan gempa dangkal bermagnitudo 6,4 tanggal 27 November[5], memperburuk longsor dan banjir bandang[6]. Dampaknya sistemik, yakni 3,3 juta jiwa terdampak.
Alhasil[7], lebih dari 800 penduduk meninggal dunia, lebih dari 500 penduduk belum ditemukan, dan ribuan warga luka-luka. Puluhan ribu bangunan dan infrastruktur rusak di 51 kabupaten kota juga rusak.
Padahal, status bencana (berpotensi) nasional sebenarnya bisa dideklarasikan pemerintah sebelum tibanya siklon di daratan. Amerika Serikat[14] dan Australia[15] merupakan negara yang mampu menerapkan deklarasi bencana nasional berbasis potensi bahaya siklon.
Mengapa deklarasi status bencana secara dini ini perlu? Tujuannya untuk meneguhkan komitmen politik moral negara maupun operasi untuk meredam dampak bencana dan melindungi warganya.
Secara praktis, keputusan dini menggerakkan birokrasi di berbagai tingkatan, baik sipil maupun militer untuk segara memetakan dampak sistemik bencana lintas provinsi. Misalnya, seputar berapa warga yang kemungkinan terdampak, termasuk infrastruktur penting seperti rumah sakit, jalan, listrik, fasilitas pasokan pangan, dan sebagainya.
Melalui respons lebih dini, termasuk penetapan status bencana berpotensi nasional, pemerintah pusat bisa melakukan prepositioning[16] peralatan, sumberdaya manusia hingga sistim administrasi darurat untuk dimobilisasi mengantisipasi dampak sistemik.
Prepositioning juga memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran guna menyiagakan sistem logistik bencana melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial. BNPB bisa bekerja sama dengan Basarnas, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), para relawan, hingga TNI dalam menyiapkan proses evakuasi dan tindakan penyelamatan sebelum tibanya siklon.
Read more: Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana[17]
Namun, prepositioning sepertinya tak nampak dalam Siklon Senyar kali ini. Hingga memasuki akhir minggu kedua, status bencana nasional masih diperdebatkan.
Kurangnya kemauan politik[18] menghasilkan celah besar dalam merespons dampak bencana. Selama beberapa hari, banyak warga nyaris berjuang sendirian.
Dampak pemotongan anggaran dan ketiadaan alokasi anggaran pencegahan[19] serta mitigasi bencana di BNPB juga membuat memperparah pincangnya mobilitas lembaga ini ke daerah.
Di lain pihak, pemerintah daerah tak punya cukup sumber daya untuk menangani dampak bencana.
Riuh kunjungan dan bantuan dari pusat baru muncul sejak Presiden Prabowo Subianto mengunjungi Tapanuli Tengah[20]. Itupun waktunya sudah berselang seminggu setelah banjir bandang melumpuhkan tiga provinsi di Sumatra.
Komitmen politik jangka panjang
Deklarasi bencana nasional yang lebih awal memberi ruang untuk respons dini.
Tujuan deklarasi bencana nasional bukanlah untuk menunjukkan bahwa suatu daerah ataupun negara lemah. Bukan pula untuk mengemis bantuan luar negeri.
Sebaliknya, selain sebagai bentuk akuntabilitas, deklarasi bencana menunjukkan bahwa negara bersedia mengupayakan pengurangan dampak bencana lebih dini, tanpa harus menunggu hitungan jumlah jenazah. Deklarasi juga menjadi tanda awal pemerintah berkomitmen melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi yang komprehensif.
Dengan skala bencana lintas provinsi seperti Siklon Senyar, tentu sumber daya pemerintah daerah—ditambah dengan keterbatasan akibat efisiensi anggaran—akan kurang mampu mengatasinya. Kekurangan anggaran ini bukan hanya untuk aksi tanggap darurat, tetapi juga untuk kepentingan pemulihan jangka panjang: rehabilitasi dan rekonstruksi multiyears di berbagai sektor yang rusak akibat banjir bandang dan longsor.
Dalam kondisi darurat, pemerintah akhirnya bergerak cepat mematok target pemulihan dalam seratus hari ke depan, “dengan tenggat waktu satu tahun agar publik dapat memantau kemajuan yang terukur menetapkan prioritas[22].”
Read more: Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana[23]
Walau terdengar progresif, keputusan tersebut dapat dibaca sebagai kebijakan yang tergesa-gesa. Sebab, saat sebagian wilayah masih terisolasi, perhitungan menyeluruh seputar kebutuhan pemulihan menjadi tidak memungkinkan.
Seharusnya, prioritas pemerintah dalam tiga bulan ke depan adalah memberikan ruang bagi penilaian kerusakan dan kehilangan secara komprehensif, termasuk identifikasi kebutuhan ‘blueprint’ pemulihan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa komitmen ini bukan sekadar untuk mempercepat pelaksanaan tanggung jawab pusat dalam pemulihan jangka panjang. Sebab, pemulihan yang sejati dan menyeluruh akan membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Penilaian ini juga krusial untuk menjawab pertanyaan: Apakah skala pemulihan bencana di 51 kabupaten/kota di Sumatra ini memerlukan lembaga khusus, mirip Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias[24] pasca-Tsunami 2004?
Yang jelas, komitmen semua pihak dalam menjamin pemulihan ekologis, perumahan, infrastruktur, ekonomi dan kesehatan para penyintas lebih mendesak untuk diutamakan, ketimbang secara teroganisir mencoba menciptakan narasi yang hanya menyalahkan curah hujan dan perubahan iklim.
References
- ^ delapan hari sebelumnya (www.cnnindonesia.com)
- ^ media (www.kompas.id)
- ^ Siklon Senyar (theconversation.com)
- ^ kerusakan lahan dan ekosistem hulu (theconversation.com)
- ^ gempa dangkal bermagnitudo 6,4 tanggal 27 November (geofon.gfz.de)
- ^ banjir bandang (gis.bnpb.go.id)
- ^ Alhasil (gis.bnpb.go.id)
- ^ bahwa banjir Sumatra hanya mencekam di media sosial (news.detik.com)
- ^ Indonesia belum siap dengan siklon tropis (www.kompas.tv)
- ^ Siklon Seroja (theconversation.com)
- ^ banyak penduduk kekurangan makanan (news.detik.com)
- ^ sejak 1986 (tropicalcyclone.bmkg.go.id)
- ^ kemauan politik (doi.org)
- ^ Amerika Serikat (www.cnn.com)
- ^ Australia (www.rnz.co.nz)
- ^ prepositioning (www.tandfonline.com)
- ^ Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana (theconversation.com)
- ^ Kurangnya kemauan politik (theconversation.com)
- ^ ketiadaan alokasi anggaran pencegahan (kumparan.com)
- ^ Presiden Prabowo Subianto mengunjungi Tapanuli Tengah (nasional.kompas.com)
- ^ (Cahyo/BPMI Setpres) (www.presidenri.go.id)
- ^ dengan tenggat waktu satu tahun agar publik dapat memantau kemajuan yang terukur menetapkan prioritas (en.antaranews.com)
- ^ Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana (theconversation.com)
- ^ Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias (bencanapedia.id)
Authors: Jonatan A Lassa, Senior Fellow (adjunct), Humanitarian Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University





