Harbolnas 2025: ketika emosi, ketakutan, dan diskon bertemu di persimpangan
- Written by Resya Arva Vradana, Podcast Producer, The Conversation
Desember mungkin menjadi momen yang identik dengan penutup tahun atau malah momen berlibur sekaligus hari natal dan pergantian tahun. Tetapi ada satu hal yang kini juga tidak lepas dari bulan Desember, yaitu Harbolnas atau Hari Belanja Online Nasional.
Menjelang Harbolnas 2025, perilaku konsumen Indonesia menunjukkan dinamika yang unik. Meskipun kondisi ekonomi nasional tidak sepenuhnya stabil, tingkat kepercayaan konsumen terutama di kota-kota besar masih berada di angka indeks yang relatif tinggi, yakni di atas 120.
Hal ini mencerminkan optimisme sebagian masyarakat, khususnya kelompok dengan pendapatan tetap yang merasa cukup aman untuk melakukan belanja akhir tahun.
Namun, kondisi ideal tersebut tidak berlaku bagi semua kelompok. Konsumen dari sektor informal atau masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana cenderung lebih berhati-hati. Bagi mereka, Harbolnas bukan lagi momentum konsumsi besar-besaran, melainkan kesempatan untuk memaksimalkan diskon dan membeli barang-barang yang benar-benar penting.
Dalam episode SuarAkademia kali ini, The Conversation Indonesia berbincang-bincang dengan Nuzul Solekhah, Peneliti Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas dari BRIN untuk membahas secara mendalam fenomena Harbolnas dan bagaimana keterkaitannya dengan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat hari ini.
Nuzul menjelaskan, perbedaan perilaku belanja selama Harbolnas sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi. Kelas menengah atas cenderung membeli barang mewah atau kebutuhan sekunder, sementara kelompok lain lebih fokus pada kebutuhan pokok.
Di sisi lain, bencana di Sumatra ikut menambah kompleksitas situasi yang terjadi dengan menekan sektor UMKM, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lokal.
Selanjutnya, Nuzul menyoroti bagaimana tekanan ekonomi mendorong orang melakukan pembelian kecil namun bermakna, misalnya produk skincare yang memberi rasa nyaman di tengah ketidakpastian. Fenomena ini merupakan bagian dari “ekonomi emosional” yang tidak hanya didorong kebutuhan praktis, tetapi juga kebutuhan psikologis.
Disinggung juga bahwa kapitalisme modern menciptakan ritme perayaan, promosi, dan event diskon yang terus berjalan, termasuk Harbolnas. Perayaan ini membentuk pola konsumsi dan identitas sosial masyarakat, menjadikan belanja sebagai aktivitas emosional sekaligus sosial.
Selain faktor ekonomi, pada tahun 2025 ini kondisi lingkungan menjadi tantangan yang tidak kalah besar. Ancaman cuaca ekstrem dimana-mana dan pemulihan infrastruktur di daerah terdampak bencana sangat berpotensi mengganggu aktivitas logistik dan minat belanja masyarakat.
Sementara itu, perubahan preferensi belanja dan penurunan aktivitas wisata menunjukkan bahwa Harbolnas tahun ini tidak bisa dilepaskan dari konteks ekologis dan sosial.
Nuzul menekankan bahwa memahami perilaku konsumen masa kini membutuhkan pendekatan multi-disiplin yang melihat hubungan antara ekonomi, psikologi, budaya, dan kondisi lingkungan. Nuzul menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ekonomi digital yang berkelanjutan, serta memperhatikan kesejahteraan pekerja di sektor logistik dan pariwisata.
Menurut Nuzul sendiri, Harbolnas 2025 bukan sekadar pesta diskon, tetapi cermin dari dinamika sosial ekonomi Indonesia. Perilaku konsumsi yang terjadi sendiri dipengaruhi oleh tekanan ekonomi, kondisi lingkungan, identitas sosial, dan kebutuhan emosional masyarakat itu sendiri.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi. Kamu bisa mendengarkan episode SuarAkademia lainnya yang terbit setiap pekan di Spotify, Youtube Music dan Apple Podcast.
Authors: Resya Arva Vradana, Podcast Producer, The Conversation




