Cerita dari Banda Aceh: Ketika warung kopi menjadi ruang ketahanan sosial saat bencana
- Written by Rizanna Rosemary, Lecturer at Department of Communication Studies, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala
● Warung kopi (warkop) di Banda Aceh menjadi titik bertahan warga untuk listrik, informasi, dan koneksi sosial saat bencana.
● Dalam krisis, warkop mencairkan batas sosial dan mempertemukan warga lintas usia, kelas, dan profesi.
● Pengalaman ini menegaskan bahwa warkop adalah infrastruktur sosial penting saat sistem formal tidak berfungsi.
Ketika badai Senyar melanda Aceh[1] dan memutus listrik serta jaringan komunikasi, kehidupan di Banda Aceh seolah terhenti. Kota yang biasanya bergerak dalam ritme aktivitas warganya berubah menjadi gelap dan sunyi.
Kantor pemerintahan Aceh beralih fungsi menjadi posko bencana banjir[2]. Kegiatan belajar-mengajar terhenti karena adanya instruksi meliburkan[3] sekolah sementara. Komunikasi pun terganggu sehingga banyak orang tak dapat mengetahui atau memastikan kabar keluarga di luar daerah[4].
Namun, di tengah kelumpuhan itu, terdapat satu ruang yang tetap bertahan. Warung kopi (warkop)—tempat yang sehari-hari identik dengan obrolan santai dan aroma kopi hangat—menjelma menjadi ruang di mana koneksi sosial yang terputus perlahan tersambung kembali.
Ketika semua padam, warkop tetap menyala
Banda Aceh sering disebut sebagai “kota seribu warung kopi”[5]. Sebutan ini lahir dari tradisi panjang berkumpul, berbagi cerita, dan membangun jejaring sosial lewat secangkir kopi.
Namun, ketika bencana datang, peran warkop bergerak jauh melampaui fungsi awalnya sebagai tempat singgah.
Saat listrik padam total dan sinyal telepon hilang berjam-jam, warkop berubah menjadi semacam titik penopang informasi bagi warga. Sebab, banyak warkop di Banda Aceh memiliki genset dan jaringan internet mereka sendiri [6].
“Kami ke warkop bukan cuma mau isi baterai, tapi cari kabar tentang keluarga kami yang sudah lima hari terputus kontak. Di sini lebih cepat tahu apa yang sebenarnya terjadi.” (Aidil, warga Banda Aceh yang sudah lima hari kehilangan kontak dengan keluarganya di Aceh Tamiang)
Masyarakat datang ke warkop dengan berbagai alasan: mencari perkembangan terbaru soal banjir, bekerja, ‘menumpang’ mengisi daya smartphone, atau sekadar membutuhkan tempat aman untuk meredakan kecemasan.
“Di rumah gelap dan enggak ada sinyal sama sekali. Begitu lihat lampu warkop masih hidup, rasanya lega sekali—seperti ada tempat untuk bernapas. Apalagi saya harus segera mengirimkan berita.” (Nova, jurnalis media nasional di Banda Aceh)
Dalam situasi bencana, warkop menjadi ruang pertama yang menyediakan dua hal yang paling dibutuhkan: informasi dan koneksi sosial.
Identitas sosial mencair dalam situasi darurat
Di Banda Aceh, warung kopi pada umumnya menjadi ruang bagi orang dewasa—pegawai, pekerja lapangan, atau komunitas. Namun, dalam situasi bencana, bukan hanya aktivitas sosial yang bergeser ke warung kopi, kegiatan akademis pun ikut berpindah ke sana.
Di berbagai sudut warkop, pelajar SMA, mahasiswa, hingga dosen tampak duduk berdampingan, mengerjakan tugas, mengikuti ujian daring, atau sekadar membuka platform pembelajaran kampus.
Dengan perpustakaan, kampus, dan ruang-ruang belajar lain tertutup karena listrik padam—sementara tuntutan akademis tetap berjalan—warkop menjadi jembatan yang memungkinkan proses belajar tetap berlanjut.
“Kalau saya lebih suka duduk di warkop tradisional, selain harga makanan dan minumannya lebih terjangkau, tidak ada yang peduli kalau kita pakai seragam sekolah, tidak seperti di café-café.” (Raifa, salah satu siswi kelas XI, SMA Swasta di Banda Aceh)
Read more: Riset: masyarakat Indonesia lebih gemar 'ngopi' di kafe lokal walau kafe asing bertebaran[7]
Di beberapa warkop, suasananya bahkan menyerupai kelas darurat kecil. Pelajar yang sebelumnya tak saling kenal duduk bersama, saling membantu membuka file tugas atau mencari sinyal yang stabil.
Dinamika ini memperlihatkan bagaimana ruang publik yang sederhana mampu beradaptasi cepat, menyesuaikan diri dengan kebutuhan warga di tengah krisis.
Perubahan ini menunjukkan bagaimana identitas sosial dapat mencair ketika struktur formal tidak lagi berfungsi.
Di tengah pemadaman listrik dan terputusnya komunikasi, batas-batas sosial—antara tua dan muda, mahasiswa dan pekerja, warga biasa dan pejabat, maupun mereka yang berstatus ekonomi berbeda—menjadi jauh lebih lentur. Mereka duduk di meja yang sama, saling berbagi colokan, bertukar kabar, dan menguatkan satu sama lain tanpa memandang latar belakang.
Warkop dalam kondisi seperti ini membuktikan dirinya sebagai ruang publik informal yang mampu mengambil alih peran perekat sosial: menyatukan kelompok-kelompok masyarakat yang dalam keadaan normal mungkin jarang terhubung secara egaliter. Ruang ini menjadi tempat perjumpaan lintas kelas, lintas generasi, dan lintas profesi.
Warung kopi di Aceh punya fungsi sosial yang sudah mengakar kuat[8], dan situasi bencana kali ini kembali menegaskan peran penting tersebut.
Warkop sebagai ruang publik adaptif
Berdasarkan observasi penulis, dalam situasi darurat seperti badai Senyar, warung kopi mengambil peran yang jauh melampaui fungsi utamanya sebagai tempat menikmati kopi.
Ruang ini berubah menjadi titik berkumpul masyarakat dan menjalankan beberapa fungsi sekaligus: sebagai ruang untuk saling menguatkan secara emosional; tempat belajar darurat; dan pusat informasi ketika saluran resmi tidak berjalan dengan baik.
Ketiga fungsi tersebut menegaskan bahwa warkop adalah bagian dari infrastruktur sosial Aceh. Ketika sistem formal dan teknologi tidak mampu bekerja, ruang-ruang informal seperti inilah yang justru menjadi penopang keberlanjutan aktivitas warga sehari-hari.
Pengalaman Banda Aceh memberi catatan penting bagi kota-kota lain di Indonesia yang juga berhadapan dengan risiko bencana. Infrastruktur formal memerlukan dukungan cadangan berbasis masyarakat[9]. Ruang publik informal dapat menjadi penyangga ketika sistem resmi berhenti berfungsi.
Bencana kerap membuka hal-hal yang selama ini tidak terlalu terlihat—bahwa kita sangat bergantung pada ruang sosial yang sederhana tapi memiliki daya tahan kuat.
Di Banda Aceh, warung kopi menegaskan hal itu.
Ia tidak lagi hanya menjadi tempat menikmati kopi Gayo, tetapi menjadi simbol bahwa solidaritas, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi tetap bertahan meski listrik padam dan jaringan internet hilang.
Read more: Kopi gayo mendorong pemulihan Aceh, tapi menyisakan persoalan lingkungan[10]
References
- ^ badai Senyar melanda Aceh (usk.ac.id)
- ^ beralih fungsi menjadi posko bencana banjir (www.indojayanews.com)
- ^ instruksi meliburkan (www.kompas.id)
- ^ tak dapat mengetahui atau memastikan kabar keluarga di luar daerah (www.metrotvnews.com)
- ^ “kota seribu warung kopi” (www.detik.com)
- ^ memiliki genset dan jaringan internet mereka sendiri (waspadaaceh.com)
- ^ Riset: masyarakat Indonesia lebih gemar 'ngopi' di kafe lokal walau kafe asing bertebaran (theconversation.com)
- ^ fungsi sosial yang sudah mengakar kuat (faktaaceh.org)
- ^ dukungan cadangan berbasis masyarakat (ir.uitm.edu.my)
- ^ Kopi gayo mendorong pemulihan Aceh, tapi menyisakan persoalan lingkungan (theconversation.com)
Authors: Rizanna Rosemary, Lecturer at Department of Communication Studies, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala




