Pola belanja Gen Z 2025 dan 2026: ‘Self-reward’ tetap jadi prioritas utama
- Written by Patria Laksamana, Associate Professor of Marketing, Director of Research and Community Service, Perbanas Institute
● Sejumlah parameter penting ekonomi makro 2025 mencatat pertumbuhan negatif.
● Tapi ada fenomena anomali peningkatan belanja ekonomi pengalaman.
● Gen Z dan generasi Alfa menganggap belanja pengalaman sudah bukan lagi gaya melainkan kebutuhan.
Logikanya, jika kondisi ekonomi sedang suram dan harga-harga naik, masyarakat akan mengurangi belanja untuk fokus bertahan hidup dan menunda kesenangan.
Namun, temuan terbaru justru menunjukkan pola yang lebih kompleks—bahkan paradoksal.
Alokasi belanja para Gen Z untuk pengalaman (experiential spending) seperti leisure (wisata), gaya hidup, dan barang mewah tertentu tidak kenal kondisi dan justru cenderung terus meningkat.
Padahal, sejumlah parameter ekonomi makro penting tahun ini seperti konsumsi rumah tangga, impor bahan baku[1], dan konsumsi listrik industri[2] kompak melemah.
Pun dengan target penjualan mobil[3] tahun ini yang dipangkas menjadi 780 ribu unit dari target awal 900 ribu unit.
Fenomena ini menarik untuk dibahas bersama. Normalkah fenomena peningkatan belanja pengalaman di tengah tekanan ekonomi saat ini?
Read more: Loyonya perekonomian dan banjir Sumatra berpotensi tekan Harbolnas dan wisata akhir tahun[5]
‘Self-reward’ nomor satu
Melansir ASEAN Consumer Sentiment Study (ACSS) 2025 dari UOB[6], para Gen Z menjadi katalisator utama konsumsi ekonomi pengalaman, lebih dari 50% dari total yang ada.
Padahal, jumlah Gen Z di survei tersebut[7] hanya 31%. Milenial menjadi generasi terbanyak dengan 42%. Sebanyak 27% sisanya diwakili oleh gen X dan baby boomers.
Tren ini menegaskan bagaimana Gen Z amat mengamini teori experience economy atau ekonomi pengalaman[8]. Dorongan transaksinya bukan lagi pada kepemilikan barang, melainkan pada emosi dan ingatan yang dihasilkan dari konsumsi.
Sebagai generasi[10] yang tumbuh dalam lingkungan digital, serba cepat, dan penuh ketidakpastian mereka sangat menghargai momen, interaksi sosial, dan pengalaman yang bisa dibagikan.
Read more: 'Degrowth': Melawan industrialisasi dan konsumsi berlebihan demi masa depan yang berkelanjutan[11]
Tak heran, kafe-kafe dan tempat wisata yang viral selalu ramai. Begitu juga dengan tiket konser artis dunia seperti Blackpink[12] yang selalu ludes terjual meski berharga jutaan rupiah.
Hal ini juga sejalan dengan teori lipstick effect[13], yaitu satu fenomena yang menjelaskan mengapa konsumen tetap membeli produk kecil yang bersifat affordable luxury (seperti lipstik, kosmetik, atau kopi premium) di saat kondisi ekonomi memburuk.
Boros tapi hemat
Memasuki 2026, pola konsumsi ini kemungkinan akan terus belanjut. Gen Z[14] akan terus berperan penting dalam tren ini.
Secara demografi, Gen Z dan sebagian generasi sesudahnya yakni Generasi Alpha masih dalam usia produktif. Secara proporsi pun, baik di tingkat global dan nasional, kaum muda ini merupakan yang paling banyak jumlahnya dibandingkan para seniornya.
Sebagai pasar masa depan, beragam riset[15] menunjukkan bahwa generasi muda paling kuat mengasosiasikan pengeluaran pengalaman sebagai kebutuhan, bukan sekadar gaya hidup tambahan.
Read more: FOMO berpotensi menyeret kelas menengah jatuh ke lubang kemiskinan[16]
Namun, bukan berarti muda-mudi Tanah Air berbelanja pengalaman secara sporadis. Gen Z juga menyadari tekanan ekonomi[17] yang ada dan lebih selektif meski tetap rela membayar untuk pengalaman yang relevan secara emosional, personal, dan autentik.
Sekitar enam dari sepuluh konsumen[18] merasa biaya hidup meningkat dan daya beli tertekan. Mayoritas dari mereka menunda pembelian besar, mengurangi belanja non-esensial, serta lebih aktif mencari promosi dan diskon.
Banyak di antara mereka justru disiplin dalam menabung, berinvestasi, dan mengelola keuangan. Makna belanja pengalaman[19] yang dianut para Gen Z adalah cara konsumen mempertahankan rasa kontrol, kebahagiaan, dan kualitas hidup.
Namun di sisi lain, optimisme terhadap kondisi ekonomi pribadi dan masa depan tidak sepenuhnya hilang. Banyak konsumen masih percaya bahwa situasi finansial mereka akan membaik.
Artinya, meski secara rasional menahan pengeluaran tertentu, mereka tidak sepenuhnya kehilangan kepercayaan diri sebagai konsumen. Dengan kata lain, konsumen bukan berhenti membelanjakan uang, tetapi mengubah prioritasnya[20].
Peluang pasar yang tercipta
Geliat belanja para Gen Z dan juga Gen Alpha masih kuat. Namun, tantangannya bukan sekadar memprediksi daya beli, tetapi mengantisipasi pergeseran makna nilai dari “murah” menjadi “pantas dan bermakna”.
Perubahan perilaku ini berimplikasi besar bagi pelaku bisnis dan pemilik merek di Indonesia. Pertama, menjual produk saja tidak lagi cukup. Konsumen kini membeli cerita, emosi, dan makna di balik produk. Brand yang hanya mengandalkan harga murah atau diskon agresif berisiko kehilangan relevansi.
Kedua, value proposition atau nilai utama yang ditawarkan menjadi kunci. Di tengah konsumen yang semakin rasional, harga harus dikomunikasikan bersama nilai—apakah itu kualitas pengalaman, kenyamanan, identitas, atau emosi yang ditawarkan.
Ketiga, segmentasi generasi tidak bisa lagi digeneralisasi. Strategi yang efektif bagi Gen X atau bahkan Baby Boomers tidak selalu relevan bagi Gen Z. Brand perlu memahami bahwa konsumen muda memandang konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup dan ekspresi diri.
Keempat, pengalaman omnichannel menjadi semakin penting. Kombinasi pengalaman online dan offline—dari digital engagement hingga interaksi fisik—mampu memperkuat hubungan emosional dengan konsumen.
Karena itu para pelaku bisnis perlu menekankan konsep affordable premiumisation[21] (produk premium tapi terjangkau), personalisasi berbasis data, serta pengalaman yang mampu memberikan timbal balik yang menyentuh aspek emosional.
Read more: Maraknya 'Rojali' hingga 'Roh halus': Tren sesaat atau perlambatan ritel?[22]
Brand yang mampu menggabungkan efisiensi biaya dengan storytelling, komunitas, dan pengalaman yang bisa menjawab kebutuhan gen Z dan gen Alfa, akan lebih tahan banting terhadap gejolak ekonomi.
Sebaliknya, merek yang gagal membaca sinyal ini berisiko tertinggal. Bukan karena produknya tidak dibutuhkan, tetapi karena tidak lagi memberi alasan emosional dan relevan bagi konsumen terbesar yakni gen Z dan gen Alfa.
References
- ^ konsumsi rumah tangga, impor bahan baku (nasional.kontan.co.id)
- ^ konsumsi listrik industri (www.inanews.co.id)
- ^ penjualan mobil (www.gaikindo.or.id)
- ^ ahmad16firdaus/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ Loyonya perekonomian dan banjir Sumatra berpotensi tekan Harbolnas dan wisata akhir tahun (theconversation.com)
- ^ ASEAN Consumer Sentiment Study (ACSS) 2025 dari UOB (www.uobgroup.com)
- ^ survei tersebut (www.uobgroup.com)
- ^ ekonomi pengalaman (www.forbes.com)
- ^ Ariksyam/ Shutterstock.com (www.shutterstock.com)
- ^ generasi (www.mckinsey.com)
- ^ 'Degrowth': Melawan industrialisasi dan konsumsi berlebihan demi masa depan yang berkelanjutan (theconversation.com)
- ^ Blackpink (www.tempo.co)
- ^ lipstick effect (www.forbes.com)
- ^ Gen Z (www.campaignindonesia.id)
- ^ riset (www.campaignindonesia.id)
- ^ FOMO berpotensi menyeret kelas menengah jatuh ke lubang kemiskinan (theconversation.com)
- ^ tekanan ekonomi (www.uobgroup.com)
- ^ enam dari sepuluh konsumen (www.uobgroup.com)
- ^ Makna belanja pengalaman (www.ey.com)
- ^ mengubah prioritasnya (www.uobgroup.com)
- ^ affordable premiumisation (www.euromonitor.com)
- ^ Maraknya 'Rojali' hingga 'Roh halus': Tren sesaat atau perlambatan ritel? (theconversation.com)
Authors: Patria Laksamana, Associate Professor of Marketing, Director of Research and Community Service, Perbanas Institute




