Asian Spectator

.
Business Advice

.

Kenapa pelibatan laki-laki dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke anak begitu penting?

  • Written by Marya Yenita Sitohang, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Kenapa pelibatan laki-laki dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke anak begitu penting?

Artikel ini untuk memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember.

Pertumbuhan HIV di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di dunia, dengan peningkatan kematian akibat AIDS naik 60% [1] dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun: dari 24.000 pada 2010 ke 38.000 pada 2018.

Peningkatan kasus HIV tidak hanya ditemukan pada kelompok berisiko[2] seperti lelaki seks dengan lelaki, pekerja seks, dan pengguna jarum suntik. Hampir separuhnya (46%)[3] justru ditemukan pada kelompok tidak berisiko, termasuk ibu rumah tangga.

Peningkatan penularan HIV pada ibu rumah tangga memperbesar peluang penularan HIV menyebar pada penduduk pada umumnya[4]. Penularan HIV bisa terjadi dari ibu ke anak[5] saat masa kehamilan, melahirkan, dan menyusui.

Salah satu masalahnya adalah ibu dengan HIV di Indonesia cenderung terlambat mengetahui status HIV-nya[6]. Bahkan, sebagian dari mereka baru mengetahui status HV-nya ketika suaminya sudah sakit keras bahkan meninggal karena AIDS.

Lalu, bagaimana melibatkan pasangan (suami) dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) ketika deteksi HIV pada ibu dan pasangannya seringkali terlambat?

Studi tentang keterlibatan pasangan dalam PPIA yang telah dilakukan di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan berdampak positif terhadap penurunan penularan HIV dari ibu ke anak. Pelibatan ini juga meningkatkan kesehatan ibu[7] dengan HIV secara fisik maupun mental saat masa kehamilan, melahirkan dan menyusui.

Mengapa pencegahan gagal?

Meski Indonesia telah melakukan upaya PPIA sejak hampir dua dekade yang lalu, cakupan pelayanannya cenderung stagnan[8] dengan semakin banyak penularan HIV dari ibu ke anak.

Pelayanan PPIA yang terdiri dari pemeriksaan HIV, pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menekan viral load, konsultasi terkait metode melahirkan dan menyusui yang aman bagi ibu dan anak, telah terintegrasi[9] dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak sejak 2012.

Integrasi pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak diharapkan dapat meningkatkan akses ibu pada pelayanan HIV. Upaya ini juga dapat menghindari stigma karena setiap ibu hamil yang mengakses pelayanan prenatal akan mendapatkan pemeriksaan HIV.

Namun demikian, pada 2020, hanya sebagian ibu hamil[10] yang mendapatkan pemeriksaan HIV dan hanya 30% di antaranya yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi ini masih sangat jauh dari target yang ditetapkan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS)[11] demi mengeliminasi penularan HIV, dengan cakupan 90% pemeriksaan HIV dan 90% pengobatan ARV.

Banyak penelitian[12] yang telah berupaya untuk mengeksplorasi penyebab rendahnya akses dan pemanfaatan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Keterlibatan pasangan[13] menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan ibu untuk memanfaatkan pelayanan PPIA.

Dukungan pasangan, baik secara emosional, finansial dan fisik, mampu meningkatkan akses terhadap pemeriksaan HIV dan kepatuhan pengobatan ARV para ibu.

Negara-negara di benua Afrika, yang memiliki prevalensi HIV yang cukup signifikan, telah banyak mengeksplorasi keterlibatan pasangan dalam PPIA, faktor-faktor yang mendukung atau menghambat keterlibatan pasangan, serta dampak dari keterlibatan dalam membantu mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.

Di Indonesia, keterlibatan pasangan belum diupayakan secara mendalam dan umumnya hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi akses dan pemanfaatan pelayanan PPIA.

Tantangan dan manfaat melibatkan pasangan

Pelayanan PPIA yang umumnya diberikan pada ibu hamil merupakan bagian dari kesehatan ibu dan anak yang kerap dipandang sebagai urusan perempuan semata.

Padahal, budaya patriarki sering menempatkan pengambilan keputusan di tangan laki-laki, termasuk terkait akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh perempuan.

Studi di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat menurunkan penularan tersebut. Pelibatan ini juga bermanfaat positif bagi kesehatan ibu[14] dengan HIV, baik secara fisik maupun mental dari masa kehamilan hingga menyusui.

Keterlibatan pasangan[15] itu bentuknya mendukung ibu dalam mengakses pelayanan kesehatan berupa dukungan emosional. Misalnya, mengingatkan kapan ibu harus mengunjungi pelayanan kesehatan dan mengantarkan ke fasilitas kesehatan. Pasangan juga hadir pada saat kunjungan, ikut mendiskusikan kesehatan ibu dan anak termasuk metode melahirkan yang aman, pemenuhan gizi, perilaku seksual yang aman, serta memberi dukungan dalam kepatuhan pengobatan ARV.

Keterlibatan pasangan ini perlu dijaga agar tidak memperkuat persepsi peran laki-laki sebagai ‘pelindung’ perempuan dan meningkatkan kesenjangan ‘kuasa’ antara perempuan dan laki-laki.

Kabar baiknya, suami-suami Indonesia telah didorong untuk terlibat dalam pelayanan antenatal atau pemeriksaan kehamilan dan persiapan kelahiran melalui kampanye suami siaga sejak 1999[16]. Hasilnya[17], sebagian besar dari mereka telah terlibat dalam pelayanan antenatal dengan menemani saat pemeriksaan kehamilan maupun mendiskusikan rencana melahirkan.

Keterlibatan pasangan dalam pelayanan antenatal cukup berbeda dengan pelayanan PPIA karena HIV yang masih berkaitan erat dengan stigma di kalangan masyarakat, petugas kesehatan, bahkan di antara pasangan.

Stigma ini sering mencegah pemeriksaan HIV oleh ibu dan pasangannya serta meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga karena pasangan yang positif HIV dianggap tidak setia. Ini yang menjelaskan ibu dengan HIV di negeri ini cenderung terlambat terdeteksi status HIV-nya.

Perlu riset lebih banyak

Dampak positif dari keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) telah terbukti dalam studi di negara lain[18].

Namun dengan keterlambatan deteksi HIV di Indonesia, kita perlu meneliti soal keterlibatan pasangan dalam PPIA.

Kajian tentang relevansi, konteks, dan dampak keterlibatan pasangan pada akses dan cakupan pemeriksaan HIV pada ibu dan perempuan usia reproduktif perlu diperbanyak.

Permasalahan HIV di Indonesia begitu kompleks karena melibatkan banyak faktor. Mulai dari sistem pelayanan kesehatan, komitmen politik, stigma dan diskriminasi, dukungan pasangan dan keluarga, serta pengetahuan dan kesadaran individu.

Studi terkait keterlibatan pasangan dalam PPIA akan lebih memberikan pengetahuan dan ‘amunisi’ bagi pembuat kebijakan dan pelaksana program PPIA sebelum memutuskan untuk lebih mendorong keterlibatan suami. Misalnya, dengan memperkuat lagi program suami siaga khususnya di kalangan keluarga dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah.

Kita juga perlu meningkatkan kesetaraan gender dan menantang nilai gender tradisional bahwa kesehatan ibu dan anak hanyalah urusan perempuan. Selain itu, pelayanan kesehatan ibu dan anak perlu dimodifikasi agar lebih ‘ramah’ pada ibu dengan HIV serta pasangannya.

References

  1. ^ peningkatan kematian akibat AIDS naik 60% (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  2. ^ kelompok berisiko (www.unaids.org)
  3. ^ Hampir separuhnya (46%) (www.kemkes.go.id)
  4. ^ menyebar pada penduduk pada umumnya (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  5. ^ dari ibu ke anak (apps.who.int)
  6. ^ terlambat mengetahui status HIV-nya (theconversation.com)
  7. ^ meningkatkan kesehatan ibu (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  8. ^ cakupan pelayanannya cenderung stagnan (data.unicef.org)
  9. ^ telah terintegrasi (siha.kemkes.go.id)
  10. ^ hanya sebagian ibu hamil (siha.kemkes.go.id)
  11. ^ target yang ditetapkan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS) (www.unaids.org)
  12. ^ penelitian (www.researchgate.net)
  13. ^ Keterlibatan pasangan (apps.who.int)
  14. ^ bermanfaat positif bagi kesehatan ibu (www.ncbi.nlm.nih.gov)
  15. ^ Keterlibatan pasangan (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  16. ^ sejak 1999 (assets.researchsquare.com)
  17. ^ Hasilnya (academic.oup.com)
  18. ^ studi di negara lain (www.ncbi.nlm.nih.gov)

Authors: Marya Yenita Sitohang, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Read more https://theconversation.com/kenapa-pelibatan-laki-laki-dalam-mencegah-penularan-hiv-dari-ibu-ke-anak-begitu-penting-195448

Magazine

Disparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?

Ilustrasi korban kekerasan seksual.Tinnakorn jorruang/ShutterstockPraktik hukum di Indonesia masih menunjukkan adanya disparitas pemidanaan, yakni ketika ada dua orang atau lebih melakukan tindak pida...

8 aspek penting untuk memastikan keberlanjutan industri nikel dari hulu ke hilir

Isu mengenai hilirisasi nikel Indonesia tengah panas beberapa tahun ke belakang. Ambisi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sentra produksi baterai kendaraan listrik (EV) dunia membuat akt...

Gangguan dismorfik tubuh: apa yang perlu kita ketahui tentang kondisi kesehatan mental ini

Selebritas Megan Fox dalam sebuah wawancara dengan Sports Illustrated mengungkapkan bahwa dia memiliki dismorfik tubuh (body dysmorphia). Fox mengatakan: “Saya tidak pernah melihat diri saya sep...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion