Target pengurangan emisi Indonesia memang lebih ambisius, tapi ratingnya paling rendah
- Written by Robby Irfany Maqoma, Environment Editor

Koalisi lembaga penelitian global, Climate Action Tracker (CAT), merilis hasil analisis terbaru seputar dokumen target iklim nasional Indonesia, yakni Nationally Determined Contribution (NDC) 2022.[1][2]
NDC merupakan janji tertulis negara peserta Perjanjian Paris – kesepakatan iklim internasional yang disepakati pada 2015 – untuk berkontribusi dalam menahan pemanasan suhu bumi ke angka maksimum 1,5 °C pada 2030 mendatang.
Dalam NDC terbaru (yang disebut sebagai Enhanced NDC)[3], Indonesia bertekad mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030.
Angka tersebut lebih besar dibandingkan target dalam dokumen updated NDC yang terbit pada 2021 yakni sebesar 29% dan 41% untuk unconditional dan conditional .
Meski lebih ambisius, analisis Climate Action Tracker mengkategorikan target pengurangan emisi terbaru Indonesia sebagai “Critically Insufficient” alias amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global. Kategori ini merupakan nilai terendah dari skala penilaian yang disepakati dalam Climate Action Tracker.
Adapun kategori di atas berarti, “Jika semua negara di dunia mengikuti cara Indonesia, maka kenaikan suhu akan mencapai 4°C,” ujar anggota CAT Country Assessment Team dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Anindita Hapsari, dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (6/12) lalu.
Strategi yang belum manjur
Dalam NDC 2022, Indonesia telah merencanakan sejumlah langkah pengurangan emisi. Misalnya, penambahan rencana kapasitas energi terbarukan dari 7,4 Gigawatt (GW) menjadi 20,9 GW pada 2030. NDC terbaru juga mencantumkan rencana pemerintah untuk proyek pembangkit listrik tenaga surya atap bangunan.
Pemerintah juga menggenjot target angka pertumbuhan hutan alam (annual growth rate) dari 0,71 ton karbon per ha per tahun menjadi 0,98 ton karbon per ha per tahun.
Ada pula sejumlah aksi lain seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah, upaya produksi semen ramah lingkungan, hingga upaya menekan deforestasi hingga delapan tahun ke depan.
Namun serangkaian strategi itu ternyata masih jauh dari memadai. Sebagaimana dianalisis Climate Action Tracker, Indonesia akan tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1.710-1.805 megaton setara CO2 (MTCO2e) per tahun pada 2030.
Angka ini jauh lebih besar dari pada target emisi tahunan yang selaras dengan Perjanjian Paris, yakni tak lebih dari 1.000 MTCO2e per tahun.
“Kalau mau disebut ambisius, targetnya harus sufficient” ujar Anindita.
Banyak pekerjaan rumah
Menurut anggota tim penilai CAT lainnya, Shahnaz Firdausi, Indonesia masih memiliki ruang perbaikan untuk menggenjot rencana pengurangan emisinya. Salah satu kunci pentingnya, kata dia, adalah penggunaan batu bara.
Indonesia berencana menekan habis penggunaan batu bara (coal phase out) pada 2050.[4] Namun dalam perjalanannya, penggunaan listrik dari energi batu bara[5] – berdasarkan rencana PT PLN – tetap akan mencapai 64% pada 2030. Setelah itu, barulah sumbangan energi batu bara perlahan-lahan menurun.
Nah, rencana di atas, menurut Shahnaz, masih belum selaras dengan target dalam Perjanjian Paris. Jika Indonesia memang berniat berkontribusi dalam menahan laju suhu global sebesar 1,5 °C pada 2030, maka pada tahun yang sama penggunaan batu bara haruslah tak melebihi 10% dari kapasitas listrik nasional.
“Seharusnya, unabated coal-fired power plant (PLTU), tak lebih dari 10% pada 2030,” kata dia. Adapun yang dimaksud unabated coal-fired power plant adalah PLTU yang tak dilengkapi teknologi peredam emisi.
Pekerjaan rumah lainnya adalah penggunaan kendaraan listrik yang baru mencapai 2.300 unit per 2020 – 80% di antaranya adalah kendaraan roda dua. Angka ini masih sangat kecil jika dibandingkan target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)[6] sebesar 900 ribu kendaraan listrik pada 2020.
Read more: Mengurai sisi gelap mobil listrik: dari tambang nikel, batu bara, hingga limbah kendaraan[7]
Untuk mencapai sektor energi yang bersih pada 2030, Indonesia juga memiliki pekerjaan besar. Misalnya, penggunaan listrik energi terbarukan tahun 2021 masih sekitar 13,5% dibandingkan sumber energi lainnya. Padahal, berdasarkan rencana PLN, listrik dari energi terbarukan di Indonesia seharusnya sudah mencapai 23% pada 2025.
Untungnya, Indonesia sudah memiliki bekal kebijakan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. “Sudah ada regulasi tarif energi terbarukan dalam Perpres No. 112 Tahun 2022[8] yang bertujuan untuk memudahkan pengembangannya berdasarkan ceiling prices (harga jual tertinggi energi terbarukan) dan negosiasi harga jual berdasarkan teknologi dan kapasitas (pembangkit listrik),” kata dia.
Sementara di sektor kehutanan, Indonesia sebenarnya berhasil mengurangi angka kehilangan hutan sejak lima tahun terakhir. Namun, Indonesia masih perlu mewaspadai ancaman deforestasi akibat ekspansi komoditas tertentu seperti kelapa sawit.
References
- ^ Climate Action Tracker (CAT) (climateactiontracker.org)
- ^ Nationally Determined Contribution (NDC) 2022. (theconversation.com)
- ^ NDC terbaru (yang disebut sebagai Enhanced NDC) (unfccc.int)
- ^ (coal phase out) pada 2050. (money.kompas.com)
- ^ penggunaan listrik dari energi batu bara (gatrik.esdm.go.id)
- ^ Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) (www.esdm.go.id)
- ^ Mengurai sisi gelap mobil listrik: dari tambang nikel, batu bara, hingga limbah kendaraan (theconversation.com)
- ^ Perpres No. 112 Tahun 2022 (peraturan.bpk.go.id)
Authors: Robby Irfany Maqoma, Environment Editor