‘Selain donatur, dilarang ngatur’: Dilema perempuan antara otoritas tubuh dan kuasa ekonomi
- Written by Tria Anggita Hafsari, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

● Frasa “selain donatur, dilarang ngatur” menjadi cara perempuan membangun otoritas atas tubuhnya.
● Frasa tersebut mengandung logika kapitalistik: yang punya uang, punya kuasa bicara.
● Perempuan layak didengar dan punya otoritas atas tubuhnya, dengan atau tanpa ‘donatur’.
“Selain donatur, dilarang ngatur” dilontarkan oleh seorang influencer dan langsung menjadi tren di media sosial di Indonesia, memicu perdebatan sengit di antara warganet.
Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa hanya mereka yang memberi dukungan materi yang berhak “mengatur” atau memberi masukan kepada perempuan.
Terdengar lucu dan unik, frasa tersebut mencerminkan cara masyarakat memandang otoritas, kontribusi, dan posisi seseorang dalam relasi sosial—terutama ketika diucapkan oleh perempuan dalam ruang publik digital.
Faktanya, di balik frasa tersebut, terdapat dua makna yang sebenarnya merupakan tekanan ganda bagi perempuan.
Makna pertama menunjukkan bagaimana perempuan membangun benteng pertahanan atas otoritas tubuhnya. Makna kedua, di sisi lain, kita juga perlu hati-hati sebelum memvalidasinya. Sebab, frasa ini pun memiliki makna yang dapat merendahkan posisi perempuan di ruang publik, terutama dalam konteks kuasa ekonomi.
Strategi perlawanan atas otoritas tubuh
Di Indonesia, perempuan masih sering berada dalam posisi ambigu di ruang publik[1].
Di satu sisi, mereka dituntut tampil ideal, terkontrol, dan layak dikagumi. Di sisi lain, ketika mereka menunjukkan kuasa atau otonomi atas tubuh dan hidupnya sendiri, tak jarang mereka justru dianggap arogan, tidak tahu diri, atau “terlalu bebas”[2].
Media sosial memperparah dinamika ini. Platform seperti Instagram dan TikTok menempatkan perempuan dalam sorotan publik secara konstan, dengan tuntutan tampil sempurna, berbagi kisah pribadi, namun juga siap menerima komentar yang kadang melampaui batas.
Sebuah riset[4] menyebut ini sebagai kondisi panoptik digital, di mana perempuan terus diawasi dan dinilai oleh publik, didisiplinkan secara halus oleh norma-norma gender dan kesopanan.
Dalam konteks ini, ucapan “selain donatur, dilarang ngatur” bisa dilihat sebagai upaya simbolik perempuan untuk menetapkan batas atas tubuh dan kehidupannya. Ia menegaskan kendali diri.
Frasa tersebut dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap oversurveillance publik terhadap kehidupan perempuan. Ini merupakan bentuk resistensi simbolik[5], yaitu ketika perempuan menggunakan bahasa populer untuk membangun batas atas tubuh dan hidupnya.
Hal itu sejalan dengan penelitian tahun 2023[6] tentang pandangan atas tubuh perempuan yang menunjukkan bahwa perempuan di ruang digital sering mengembangkan taktik pertahanan terhadap kritik atas tubuhnya.
Ini adalah strategi perlawanan mereka atas tuntutan-tuntutan terhadap tubuh mereka dan cara mereka bernegosiasi dengan sistem digital yang tidak netral.
Namun, kita juga harus pahami bahwa strategi itu tetap berlangsung dalam struktur relasi yang tidak seimbang.
Ketimpangan kapitalistik
Meski terdengar lekat dengan konteks emansipasi perempuan, frasa “selain donatur, dilarang ngatur” tetap bersandar pada logika kapitalistik: yang punya uang, punya kuasa bicara. Logika ini membatasi hak bicara hanya kepada mereka yang memiliki kuasa ekonomi.
Ini sama saja dengan menormalisasi relasi kuasa berdasarkan daya beli, yang mensyaratkan perempuan tunduk pada pihak yang memberi sokongan finansial. Ini adalah cerminan logika transaksional dan hubungan patronase.
Hubungan patronase, dalam banyak kasus, tidak menguntungkan bagi perempuan. Riset tahun 2023[7] terkait gerakan digital perempuan menunjukkan bahwa meski ada upaya emansipasi, posisi perempuan masih kerap dikonstruksi sebagai penerima, bukan pengatur.
Istilah “donatur” dalam konteks tersebut pun menyiratkan bahwa nilai seseorang dalam hubungan sosial diukur dari daya belinya.
Pada akhirnya, kalimat “selain donatur, dilarang ngatur” memang menunjukkan bagaimana perempuan memperjuangkan agensi. Namun, dalam kerangka sistem, mereka tetap berada dalam posisi subordinat.
Memahami perlawanan vs kuasa
Pemberdayaan perempuan di ruang digital tampaknya belum bisa dilepaskan dari kritik terhadap sistem ekonomi-politik yang melandasinya. Jika demikian, artinya ada struktur yang perlu diubah.
Pernyataan “selain donatur, dilarang ngatur” seharusnya tidak hanya dibaca secara harfiah atau emosional, tetapi juga sebagai pintu masuk untuk memahami bagaimana perempuan menavigasi relasi kuasa dalam dunia digital yang kompleks.
Ia adalah bentuk negosiasi antara kebutuhan untuk mempertahankan kendali atas ruang pribadi dan tekanan dari masyarakat yang selalu menuntut keterbukaan, keramahan, dan kepatuhan dari perempuan.
Ucapan semacam ini tidak bisa dinilai sebagai benar atau salah secara moral tanpa melihat konteks strukturalnya.
Perempuan hari ini menghadapi lanskap digital yang tidak netral. Algoritme media sosial, norma budaya, serta harapan publik seringkali bertemu dalam cara yang membentuk ruang bicara yang sempit bagi perempuan.
Maka, ketika perempuan menegaskan batasnya—walau dengan cara yang tampaknya elitis atau materialistik—itu juga merupakan respons terhadap dunia yang kerap menolak memberikan mereka ruang aman untuk eksis secara utuh.
Feminisme di era digital sering bersinggungan dengan pasar[10], sehingga perjuangan perempuan dikemas dalam logika branding dan nilai jual yang kerap mengaburkan makna perjuangan itu sendiri.
Feminisme menjadi “layak jual” ketika sesuai dengan narasi yang dapat diterima pasar, tetapi bisa dengan cepat disisihkan ketika dinilai terlalu “mengganggu”.
Hal yang sebenarnya perlu kita pertanyakan lebih jauh adalah mengapa perempuan harus menyebut “donatur” untuk dihargai pendapatnya, dan mengapa batas pribadi mereka hanya bisa ditegaskan melalui relasi transaksional.
Seharusnya perempuan berhak sepenuhnya atas otoritas dirinya dan layak kita dengarkan, dengan atau tanpa orang lain yang “membiayai” hidupnya.
References
- ^ posisi ambigu di ruang publik (idereach.com)
- ^ dianggap arogan, tidak tahu diri, atau “terlalu bebas” (www.researchgate.net)
- ^ MDV Edwards/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Sebuah riset (doi.org)
- ^ resistensi simbolik (doi.org)
- ^ penelitian tahun 2023 (doi.org)
- ^ Riset tahun 2023 (doi.org)
- ^ My July/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ MDV Edwards/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Feminisme di era digital sering bersinggungan dengan pasar (doi.org)
Authors: Tria Anggita Hafsari, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)