Diplomasi emosional: Bagaimana rasa marah dan takut dapat membentuk arah kebijakan global
- Written by Atin Prabandari, Lecturer, Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada

● Memanasnya konflik di Timur Tengah menunjukkan bagaimana emosi dan kemarahan kolektif membentuk arah kebijakan global.
● Emosi kolektif seperti kemarahan, ketakutan, dan kebanggaan dimobilisasi untuk memperkuat posisi tawar dan menekan lawan.
● Emosi dapat memperdalam, mempertahankan, bahkan mentransformasi tatanan politik.
Bulan Juni lalu, konflik Israel-Iran membuat dunia sempat tegang.
Serangan besar-besaran Israel terhadap fasilitas nuklir Iran telah menewaskan lebih dari 1.060 orang[1], termasuk personel medis dan warga sipil. Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke sasaran militer di Israel[2].
Amerika Serikat (AS) juga meluncurkan operasi Midnight Hammer dengan menyerang tiga fasilitas nuklir Iran. Lalu Iran membalas dengan menyerang Pangkalan Militer AS di Qatar.[3][4]
Cina dan Rusia mengutuk keras tindakan AS dan Israel[5]. Kedua negara menawarkan diri sebagai penengah[6] untuk meredakan ketegangan.
Read more: Kemesraan Rusia-Cina: membaca misi Putin dalam memperluas pengaruh di Asia[7]
Tekanan internasional juga muncul karena khawatir konflik akan meluas. Ini akhirnya mendorong AS untuk memfasilitasi gencatan senjata[8], yang kemudian kembali dilanggar Israel.
Meski Iran telah mengumumkan berakhirnya perang 12 hari[9] dengan Israel, bukan berarti konflik semacam ini tidak akan terjadi kembali, bahkan dalam waktu dekat.
Eskalasi tersebut secara nyata menunjukkan bagaimana emosi dan kemarahan kolektif membentuk arah kebijakan global.
Respons terkoordinasi ini mencerminkan penggunaan emosi kolektif seperti kemarahan dan kecemasan sebagai alat diplomasi. Ini bertujuan untuk membangun solidaritas dengan negara-negara berkembang dan menantang dominasi Barat.
Peran emosi dalam politik global
Para ilmuwan terkemuka dalam studi psikologi emosi dan hubungan internasional menegaskan bahwa emosi bukan sekadar fenomena psikologis individual, melainkan kekuatan sosio-politik[11] yang aktif membentuk identitas dan komunitas politik.
Emma Hutchison, dalam studinya tentang komunitas afektif[12], menjelaskan bahwa emosi, terutama dalam konteks trauma, dapat menyatukan individu lintas batas geografis dan budaya, menciptakan solidaritas kolektif yang membentuk respons politik.
Read more: 4 penjelasan psikologis terjadinya aksi solidaritas kolektif bela Palestina: bukan hanya tentang agama[13]
Dalam konflik Iran-Israel, pemandangan korban sipil yang berjatuhan, narasi ancaman eksistensial, dan retorika keras dari berbagai pihak menjadi penggerak emosional yang mengikat komunitas nasional dan transnasional.
Studi tersebut menekankan bahwa emosi memiliki dimensi ganda[14]—dapat memperkuat dan menyamarkan struktur kekuasaan yang ada, sekaligus sebagai upaya untuk menolak dan mentransformasi kekuasaan tersebut.
Dalam konteks konflik Iran-Israel, emosi kolektif (seperti kemarahan, ketakutan, dan kebanggaan) tidak hanya muncul secara spontan, tetapi juga dimobilisasi secara strategis oleh negara-negara untuk memperkuat posisi tawar, membangun legitimasi domestik, dan menekan lawan.
Dalam studi hubungan internasional juga ada “aturan perasaan” (feeling rules)[16], yakni rujukan norma-norma sosial yang menentukan bagaimana emosi seharusnya dirasakan dan diekspresikan dalam konteks tertentu.
Aturan perasaan ini membentuk ekspektasi emosional publik sekaligus mengarahkan perilaku emosional aktor negara. Ini termasuk bagaimana sikap pemimpin politik, diplomat, dan pejabat tinggi, dalam merespons peristiwa global.
Read more: Politik emosi: ketika politikus mempermainkan mental publik, bagaimana rakyat mengatasinya?[17]
Misalnya, aktor negara diharapkan menunjukkan kemarahan atas serangan, mengungkapkan solidaritas terhadap sekutu, atau menampilkan ketegasan dalam menghadapi ancaman.
Respons emosional dan kebijakan global
AS menampilkan determinasi dan respons militer tegas terhadap ancaman nuklir Iran. Negara ini pun memakai retorika emosional yang kuat untuk membenarkan aksi militer sekaligus menggalang dukungan domestik dan sekutu Barat.
Presiden Donald Trump secara terbuka menyebut serangan balasan Iran sebagai “sangat lemah” dan “dapat diprediksi”[18], seraya menegaskan kesiapan dan kekuatan militer AS untuk merespons secara tegas.
Trump secara aktif menggunakan retorika emosional seperti “decisive” (ketegasan) dan “unmatched strength” (kekuatan yang tak tertandingi)[19] untuk membingkai konflik dalam kerangka ketegasan dan keunggulan AS, serta membangkitkan kebanggaan nasional dan rasa aman di tengah masyarakat AS.
Laporan dari PBB dan media internasional[20] menyebutkan bahwa seruan global untuk mengurangi konflik, serta kecemasan kolektif akan potensi perang yang lebih luas, sangat memengaruhi keputusan AS untuk beralih ke diplomasi dan negosiasi gencatan senjata.
Strategi ini sejalan dengan temuan studi[22] yang menegaskan bahwa emosi dalam politik global dapat mengarahkan penolakan dan merombak struktur kekuasaan. Emosi juga memperkuat posisi mereka di panggung internasional.
Dimensi emosional dalam diplomasi kontemporer
Studi tersebut[23] juga menekankan pentingnya mengamati bentuk-bentuk perasaan sehari-hari, sehingga membingkai cara kita memandang dunia dan bertindak.
Dalam konteks konflik Iran–Israel, emosi sehari-hari, mulai dari ketakutan warga sipil, kemarahan kolektif, hingga kebanggaan nasional, tidak sekadar menjadi latar belakang psikologis. Emosi ini juga menjadi kekuatan politis yang aktif membentuk pilihan kebijakan dan respons diplomatik.
Konsep ini juga relevan untuk memahami bagaimana emosi dapat memperdalam, mempertahankan, atau bahkan mentransformasi tatanan politik.
Read more: Israel, Iran, dan AS: Mengapa tahun 2025 menjadi titik balik tatanan internasional[24]
Emosi yang dimobilisasi pasca-trauma[25], seperti rasa kehilangan atau solidaritas, sering kali memperkuat kembali struktur politik yang ada.
Namun, dalam situasi tertentu, trauma kolektif justru dapat melahirkan budaya emosional baru yang mendorong pergeseran dalam identitas nasional maupun solidaritas lintas negara.
Implikasi untuk stabilitas global
Pengalaman konflik Iran-Israel menunjukkan bahwa diplomasi emosional dan kemarahan kolektif telah menjadi faktor determinan dalam membentuk respons dan arah kebijakan global.
Tindakan Trump untuk memfasilitasi gencatan senjata setelah 12 hari konflik menunjukkan: selain bisa menambah ketegangan, emosi juga dapat menjadi katalis untuk menurunkannya ketika digunakan secara tepat.
Konflik tersebut menunjukkan bahwa emosi kolektif dan diplomasi emosional adalah kekuatan nyata yang memengaruhi arah kebijakan global.
Emosi secara halus membentuk cara masyarakat dan negara berpikir, merespons, dan diarahkan secara politik. Karena itu, untuk benar-benar memahami dinamika politik global, kita perlu melihat emosi sebagai bagian penting dari kekuasaan dan cara kerja politik dunia.
References
- ^ telah menewaskan lebih dari 1.060 orang (news.detik.com)
- ^ Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke sasaran militer di Israel (www.cbsnews.com)
- ^ Midnight Hammer (www.straitstimes.com)
- ^ Iran membalas dengan menyerang Pangkalan Militer AS di Qatar. (www.bbc.com)
- ^ Cina dan Rusia mengutuk keras tindakan AS dan Israel (www.aljazeera.com)
- ^ menawarkan diri sebagai penengah (edition.cnn.com)
- ^ Kemesraan Rusia-Cina: membaca misi Putin dalam memperluas pengaruh di Asia (theconversation.com)
- ^ memfasilitasi gencatan senjata (www.aljazeera.com)
- ^ berakhirnya perang 12 hari (news.detik.com)
- ^ saeediex/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ kekuatan sosio-politik (www.cambridge.org)
- ^ komunitas afektif (www.cambridge.org)
- ^ 4 penjelasan psikologis terjadinya aksi solidaritas kolektif bela Palestina: bukan hanya tentang agama (theconversation.com)
- ^ dimensi ganda (www.cambridge.org)
- ^ Gil Cohen Magen/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ “aturan perasaan” (feeling rules) (www.jstor.org)
- ^ Politik emosi: ketika politikus mempermainkan mental publik, bagaimana rakyat mengatasinya? (theconversation.com)
- ^ “sangat lemah” dan “dapat diprediksi” (www.reuters.com)
- ^ “decisive” (ketegasan) dan “unmatched strength” (kekuatan yang tak tertandingi) (www.whitehouse.gov)
- ^ Laporan dari PBB dan media internasional (www.aljazeera.com)
- ^ EQRoy/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ temuan studi (www.taylorfrancis.com)
- ^ Studi tersebut (www.taylorfrancis.com)
- ^ Israel, Iran, dan AS: Mengapa tahun 2025 menjadi titik balik tatanan internasional (theconversation.com)
- ^ Emosi yang dimobilisasi pasca-trauma (www.cambridge.org)
- ^ Artsytopia/Shutterstock (www.shutterstock.com)
Authors: Atin Prabandari, Lecturer, Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada