Riset: Populasi hewan langka anoa dan babirusa di pulau kecil lebih tangguh, meski jumlahnya sedikit
- Written by Sabhrina Gita Aninta, Postdoctoral research fellow, University of Copenhagen

● Populasi satwa di pulau kecil terbukti lebih tangguh secara genetik meski jumlahnya sedikit.
● Pulau kecil dapat menjadi habitat alami yang penting bagi kelangsungan hewan langka.
● Perlindungan ekosistem pulau kecil mendesak untuk dimasukkan dalam kebijakan konservasi nasional.
Populasi satwa di pulau kecil sering kali dianggap rapuh dan sulit bertahan hidup. Akibatnya, perlindungan keanekaragaman hayati di daratan pulau-pulau kecil kerap diabaikan pemerintah[1].
Pulau-pulau kecil pun terus dieksploitasi[2] (seperti yang terjadi di Raja Ampat). Bahkan, pulau kecil banyak yang dijual[3] secara terbuka di situs Private Island.
Padahal, penelitian terbaru kami dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences[4] menemukan bahwa populasi hewan di pulau kecil justru sebenarnya memiliki kualitas tinggi.
Kami melakukan studi genetik[5] terhadap dua satwa khas Sulawesi, yakni anoa (kerabat kerbau kerdil) dan babirusa (babi liar bertaring).
Hasilnya, meskipun jumlahnya kecil dan keragaman genetiknya rendah, populasi babirusa dan anoa di pulau-pulau kecil ternyata lebih tangguh dibandingkan populasi di pulau besar. Ketangguhan ini membuat peluang kelangsungan hidup mereka lebih panjang.
Dengan demikian, pulau-pulau kecil bisa menjadi tempat perlindungan alami bagi hewan langka (refugia), sehingga harus menjadi prioritas perlindungan.
Read more: Tak boleh ada pengecualian, seluruh izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil harus dicabut[6]
Populasi kecil, tapi tahan banting
Asumsi umum menganggap satwa besar di pulau kecil mudah punah lantaran jumlah satwanya sedikit, rawan perkawinan sedarah (inbreeding), dan ruang geraknya terbatas. Kondisi ini dianggap bisa mempercepat hilangnya keragaman genetik.
Namun, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kejadiannya tidak selalu sesederhana itu. Melalui pendekatan genomik[7], kami melacak jejak sejarah populasi anoa dan babirusa dari generasi ke generasi.
Kami mengumpulkan sampel DNA 67 individu anoa dan 46 ekor babirusa yang berasal dari berbagai lokasi di Kepulauan Wallacea, yakni Pulau Sulawesi (bagian utara dan tenggara) dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Buton dan Togean.
Hasilnya, populasi anoa dan babirusa di pulau Buton dan Togean memang memiliki keragaman genetik lebih rendah atau lebih homogen. Namun, mereka memiliki kemampuan untuk menyingkirkan mutasi-mutasi gen yang berbahaya (purging).
Jadi, populasi hewan di pulau kecil yang telah terisolasi dalam waktu yang sangat lama ini sudah melewati proses seleksi alam ketat dan menyisakan hewan paling tangguh secara genetik.
Sebaliknya, populasi satwa di daratan utama Sulawesi justru menyimpan “beban genetik” yang lebih berat karena berbagai gangguan dari aktivitas manusia. Perambahan hutan, tambang, serta perburuan membuat habitat mereka terus menyusut dan terfragmentasi. Secara genetik, populasi ini banyak membawa gen yang berpotensi merusak ketahanan hidup mereka di masa depan.
Berdasarkan indikator-indikator Kerangka Biodiversitas Global Kunming-Montreal (2022)[8], ukuran keragaman genetik unik populasi suatu spesies (Ne) penting untuk memastikan ketahanan spesies. Untuk menghindari kepunahan, populasi sebaiknya punya Ne lebih besar dari 500[9] atau setara 5.000 individu dalam ukuran sensus.
Namun, data menunjukkan bahwa populasi hewan yang kecil juga bisa bertahan hidup dalam waktu lama. Tentu saja, hal ini pun bergantung pada seberapa besar gangguan yang terjadi di habitat mereka, seperti perburuan, kerusakan habitat, atau penyakit menular.
Untuk itu, kita perlu meninjau ulang pendekatan translokasi atau pemindahan satwa antar populasi (dari satu populasi donor ke populasi penerima) untuk meningkatkan keberagaman genetik.
Read more: Membangun 'big data' keanekaragaman hayati kita[11]
Pulau kecil, tempat berlindung spesies langka
Studi kami telah menunjukkan bahwa hewan di pulau kecil lebih tangguh meski berjumlah sedikit.
Sayangnya, hingga kini habitat pulau kecil masih luput dalam perencanaan pembangunan nasional.
Meskipun konservasi pulau kecil sudah ada dalam peraturan perundangan, pada kenyataannya banyak pulau-pulau terluar kita dibagi-bagikan begitu saja[12] untuk dikeruk sumber daya alamnya, tanpa ada jaminan perlindungan ekosistem.
Kepulauan Wallacea merupakan satu dari sekian banyak kepulauan kecil di Indonesia yang menjadi laboratorium alam[13]. Di sinilah evolusi melahirkan spesies-spesies unik selama jutaan tahun—yang tak akan bisa digantikan jika punah.
Upaya konservasi di Indonesia sepatutnya memberi perhatian lebih pada pengelolaan habitat alami di pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil ini pun bisa menjadi tempat berlindung bagi satwa langka, yang biaya operasionalnya jauh lebih murah sekaligus efisien ketimbang penangkaran buatan.
References
- ^ diabaikan pemerintah (mongabay.co.id)
- ^ terus dieksploitasi (mongabay.co.id)
- ^ dijual (www.tempo.co)
- ^ penelitian terbaru kami dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (www.pnas.org)
- ^ studi genetik (www.pnas.org)
- ^ Tak boleh ada pengecualian, seluruh izin tambang di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil harus dicabut (theconversation.com)
- ^ genomik (theconversation.com)
- ^ Kerangka Biodiversitas Global Kunming-Montreal (2022) (www.gbf-indicators.org)
- ^ punya Ne lebih besar dari 500 (www.gbf-indicators.org)
- ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
- ^ Membangun 'big data' keanekaragaman hayati kita (theconversation.com)
- ^ dibagi-bagikan begitu saja (betahita.id)
- ^ laboratorium alam (theconversation.com)
Authors: Sabhrina Gita Aninta, Postdoctoral research fellow, University of Copenhagen