6 bulan Makan Bergizi Gratis: Program kesehatan atau bantuan sosial?
- Written by Muammar Syarif, Podcast Producer

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) jadi program mercusuar pemerintahan Prabowo-Gibran yang sudah berlangsung selama lebih dari enam bulan. Inisiatif ini menyasar kelompok-kelompok yang rentan mengalami kekurangan gizi, seperti anak-anak sekolah (SD, SMP, SMA dan sederajat), para santri, balita, hingga ibu hamil dan menyusui.
Sejauh ini, pemerintah mengklaim sudah menjangkau lebih dari 5,5 juta penerima manfaat[1]. Namun, program ini tidak sewangi itu di lapangan.
Kasus keracunan makanan terhadap siswa[2], kadar gizi makanan muncul di permukaan. Pelaksanaan program dianggap terburu-buru, hingga pengelolaan anggaran dan risiko korupsi menjadi problem yang masih menyelimuti pelaksanaan MBG selama 1 semester terakhir.
Setelah berjalan selama 6 bulan, perbaikan apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan program ini?
Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berdiskusi dengan Riandy Laksono, seorang peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) untuk membahas topik ini.
Riandy melihat adanya ketimpangan antara target dan pencapaian yang menunjukkan adanya permasalahan struktural dalam perencanaan dan pelaksanaan. Meskipun pemerintah telah berupaya mengamankan anggaran, persoalan tata kelola dan efektivitas penyaluran dana masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Ia berpendapat Badan Gizi Nasional selaku lembaga baru yang mengelola program ini masih beradaptasi dengan mekanisme manajemen keuangan negara. Alhasil, masih banyak hal terkait pelaksanaan yang perlu diperbaiki sehingga program Makan Bergizi Gratis dapat berjalan lebih baik.
Tidak hanya itu, dana untuk MBG ternyata berasal dari pengalihan dari sektor lain seperti infrastruktur dan operasional kementerian yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas kebijakan fiskal. Ketidaksiapan struktur pelaksana dan kurangnya koordinasi antar-sektor berisiko menjadikan MBG sebagai program yang kontraproduktif.
Ini menimbulkan dilema kebijakan: apakah MBG dirancang sebagai program kesehatan publik atau sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi? Ketidakjelasan ini menciptakan tarik-ulur pelaksanaan teknis yang berpotensi memperburuk efisiensi program di lapangan.
Riandy menekankan bahwa penyediaan makanan bergizi tidak cukup hanya dilihat dari jumlah penerima, tetapi juga dari aspek keamanan pangan dan kandungan gizi yang sesuai standar. Ia berharap pemerintah bisa fokus terhadap kualitas makanan yang diberikan sehingga pada akhirnya target untuk memperbaiki kualitas pelajar di Indonesia dalam aspek gizi bisa terpenuhi melalui program ini.
Menurutnya, keterlibatan masyarakat sipil dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas program pemerintah juga tak kalah penting. Pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih inklusif, termasuk menerima kritik dari para ahli dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan dan kesehatan.
Pembentukan mekanisme pengaduan publik yang transparan serta pelibatan aktif masyarakat dalam pemantauan program menjadi langkah strategis untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan.
Riandy menambahkan Program berbasis niat baik perlu didukung dengan desain kebijakan berbasis bukti dan evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya. Dengan arah kebijakan yang lebih terintegrasi, diharapkan program-program ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi mampu mendorong perubahan nyata dalam kualitas hidup generasi masa depan.
Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
References
- ^ menjangkau lebih dari 5,5 juta penerima manfaat (www.bgn.go.id)
- ^ Kasus keracunan makanan terhadap siswa (www.bbc.com)
Authors: Muammar Syarif, Podcast Producer