Riset: ‘Influencer’ belum maksimal bawa fesyen Indonesia ‘go internasional’, perlu arahan pemerintah
- Written by Ina Ratriyana, PhD candidate School of Film, Media, and Journalism, Monash University, Melbourne, Australia, Monash University

● Riset menunjukkan peran ‘influencer’ dalam mengglobalkan fesyen Indonesia belum efektif.
● Kebanyakan ‘influencers’ membagikan pengalamannya sebagai bentuk hiburan ketimbang unsur diplomasi.
● Pemerintah dan ‘influencers’ perlu kesepakatan, kajian, dan negosiasi tentang narasi yang ingin dibangun.
Sejak tahun 2020, lonjakan nilai ekspor industri fesyen Indonesia cukup tinggi, bahkan mampu mendukung hingga 2,4% [1] distribusi pasar global pada tahun 2021.
Melihat fesyen sebagai pasar yang menggiurkan, pemerintah Indonesia tampaknya ingin memasuki celah industri fesyen internasional sesegera mungkin. Ambisi ini dilakukan dengan “mempekerjakan” influencers untuk membantu boosting nama Indonesia di pasar fesyen dunia.
Memang, influencer memiliki keunggulan kuat dalam hal memengaruhi audiens. Mereka mampu menciptakan teks dan narasi visual yang dapat memengaruhi orang untuk mengikuti gaya hidup atau cara berfikir mereka.
Tak heran, pemerintah memberikan dukungan dana[2] pada sejumlah influencer untuk mengikuti New York Fashion Week pada 2021 dan Paris Fashion Week pada 2022, dengan menggandeng beberapa merek fesyen dan skincare lokal seperti ERIGO, Scarlett, dan ThreeSecond.
Namun, riset[3] terbaru kami justru menunjukkan bahwa peran influencer dalam mengglobalkan fesyen Indonesia tidak—atau belum—efektif. Sehingga, yang terlihat justru inkonsistensi budaya dan kebingungan. Artinya, influencers perlu arahan yang jelas dalam membangun narasi yang dapat menjadi nation branding.
Inkonsistensi dan ketidakseragaman
Riset[4] mengenai penggunaan influencer oleh pemerintah ini saya lakukan dengan mengamati konten media sosial dari 48 akun yang terdiri dari 32 influencers dan 16 merk lokal yang disponsori oleh pemerintah Indonesia di tahun 2021 dan 2022. Sebanyak 944 Instagram post dan 201 videos menjadi objek pengamatan saya guna melihat narasi Indonesia dalam ranah fesyen.
Riset saya tersebut menghasilkan dua temuan.
Pertama, dari kedua fashion week, tidak ada konsistensi tentang ‘aspek budaya Indonesia’ seperti apa yang ingin diusung. Keduanya fokus pada streetwear (pakaian santai jalanan), yang mana pasarnya sudah didominasi oleh Amerika Serikat (AS). Dari total 1.021 unggahan, hanya 25 unggahan yang menunjukkan budaya dan fesyen yang memiliki identitas Indonesia.
Kedua, tidak ada keseragaman teks atas narasi “Indonesia” yang ingin dibangun. Kebanyakan influencers membagikan pengalamannya sebagai bentuk “traveling” dalam hashtag #VakansikeParis daripada membawa nama negara Indonesia.
Akibatnya, alih-alih menyedot atensi pasar internasional, dua fashion week ini justru menjadikan merk lokal sebagai incaran masyarakat lokal Indonesia saja. Narasi fesyen Indonesia go internasional tidak bisa terbangun karena traffic sosial media para influencers justru menyasar pengguna sosial media di Indonesia.
Sepertinya para influencers ini kebingungan menerjemahkan maksud politik dari pemerintah. Sehingga, narasi tentang “Indonesia” yang mumpuni di bidang fesyen jadi terkubur dibalik konten lifestyle dan travelling para influencers tersebut.
Kekuatan ‘influencer’ bagi negara
Sangat disayangkan jika strategi pemerintah “merekrut” influencers untuk memperkenalkan fesyen Indonesia ke pasar global menjadi tidak efektif.
Patut digarisbawahi bahwa bekerja sama dengan influencers tidak selalu merugikan. Influencer [5] punya kekuatan besar memengaruhi orang. Dengan jumlah followers mulai dari 5 ribu hingga lebih dari 5 juta, mereka sudah bisa menjadi ambassador (duta) sebuah merek. Mereka bisa memberikan efek[6] yang positif maupun negatif bagi merek tersebut .
Dengan terus menerus melakukan hal tersebut, para influencer akan mendapatkan sejumlah followers (pengikut) yang angkanya akan dimonetisasi oleh sosial media menjadi sejumlah uang.
Hanya saja, hal ini membutuhkan pemahaman pemerintah terlebih dahulu akan identitas influencers itu sendiri.
Di satu sisi, butuh angle yang jelas bagaimana narasi atas negara itu ingin dibangun. Influencers pun harus sadar bahwa dirinya menjadi “simbol negara” saat bekerja dengan pemerintah sehingga narasi yang dibangun harus mampu merefleksikan budaya dan identitas Indonesia.
Tentunya mempekerjakan influencers juga memiliki risiko tersendiri, terutama bila mereka tidak mampu menjaga prioritas konten dan narasi mereka sehingga membahayakan integritas negara[7] .
Di sisi lain, sebelum memutuskan bekerja sama dengan pemerintah, influencers butuh memahami terlebih dahulu identitas mereka (self-identity).
Seringkali, influencers harus menyesuaikan lifestyle mereka dalam konten sosial media dengan ideologi yang ingin disampaikan negara. Terlebih ketika the self (identitas diri) tidak sesuai dengan identitas negara[8]. Ini tentunya akan mengakibatkan inkonsistensi dan kebingungan pengguna media sosial.
Untuk fashion influencer, fesyen mereka adalah identitas diri mereka. Ini sulit untuk dimodifikasi mengikuti keinginan pemerintah. Butuh pertimbangan matang dari si influencer itu sendiri sebelum memutuskan melakukan kerja sama atau tidak dengan pemerintah[9], terutama menimbang dinamika politik yang akan mempengaruhi kariernya ke depan.
Apakah pemerintah masih butuh ‘influencers’?
Kerja sama pemerintah dengan influencer bertujuan membentuk narasi tentang negara. Tujuan pemerintah adalah membonceng traffic para influencer di media sosial sehingga pemerintah berada dalam putaran sirkulasi[10] sosial media.
Tentunya kerja sama semacam tidak akan selalu mulus. Cukup banyak tugas rumah yang harus dikerjakan—baik oleh pemerintah maupun influencers—untuk memahami bahwa “dipekerjakan” oleh pemerintah berhubungan erat dengan kemampuan diplomasi mereka tidak hanya ke pengguna media sosial domestik namun juga internasional.
Kerja sama dan kolaborasi bukanlah hal yang salah dan sah saja untuk dilakukan. Hanya saja, menggabungkan kebijakan pemerintah dengan influencers membutuhkan kajian yang tidak sederhana, terutama ketika berbicara tentang media sosial yang sangat dinamis dan cepat sekali berkembang. Diperlukan kesepakatan, kajian, dan negosiasi terus menerus tentang apa narasi yang ingin dibangun melalui media sosial.
References
- ^ 2,4% (www.indonesia-investments.com)
- ^ dana (nasional.kompas.com)
- ^ riset (brill.com)
- ^ Riset (brill.com)
- ^ Influencer (www.emerald.com)
- ^ efek (intellectdiscover.com)
- ^ integritas negara (journals.sagepub.com)
- ^ identitas negara (ijoc.org)
- ^ pemerintah (ualresearchonline.arts.ac.uk)
- ^ sirkulasi (journals.sagepub.com)
Authors: Ina Ratriyana, PhD candidate School of Film, Media, and Journalism, Monash University, Melbourne, Australia, Monash University