AI bisa mengancam seniman dan melanggar hak cipta: Perlu diregulasi, bukan dilarang
- Written by Arif Perdana, Associate Professor in Digital Strategy and Data Science, Monash University

● Kehadiran AI akan berdampak pada ekosistem hak cipta dan masa depan pekerja seni.
● AI tidak hanya meniru karya, tetapi juga meniru gaya.
● Tidak perlu melarang AI dalam ruang kreatif, hanya perlu regulasi yang fokus pada keadilan, transparansi, dan kompensasi.
Perang antara kecerdasan buatan (AI) dan pekerja kreatif kini tengah memanas di seluruh dunia. Pemerintah Inggris, misalnya, berencana mengubah undang-undang hak cipta[1] untuk memudahkan perusahaan teknologi menggunakan karya seniman tanpa izin. Ini memicu gelombang perlawanan dan protes publik di sana.
Hal serupa sangat mungkin terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk di Indonesia. AI mengancam pekerja seni di Indonesia dengan mengambil gaya seni tanpa izin, seperti melalui AI generatif (MidJourney, DALL-E), ini tentunya berdampak pada berkurangnya peluang komisi ilustrator dan desainer[2]. Perusahaan beralih ke AI untuk iklan, menggantikan seniman, model, dan fotografer[3].
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang legalitas sebuah mesin memanfaatkan karya orang lain, menjiplak, atau bahkan ciptaan AI lain, dalam proses pembuatan suatu karya.
Umumnya, kerangka hukum yang berlaku saat ini di banyak negara menyatakan bahwa hanya manusia yang dapat dianggap sebagai pencipta sebuah karya dan berhak atas hak cipta. Ketentuan ini menimbulkan persoalan ketika karya dihasilkan oleh AI, sebab AI tidak diakui memiliki kedudukan hukum yang sama dengan manusia[4].
Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO)[5] tengah berupaya merumuskan aturan terkait perlindungan kekayaan intelektual yang bersinggungan dengan AI dan inovasinya.
Cepat atau lambat, kehadiran AI akan berdampak pada ekosistem hak cipta dan masa depan pekerja seni. Dunia butuh desain regulasi AI yang seimbang.
Meniru karya dan gaya
AI generatif bekerja dengan “memakan” jutaan karya manusia, bisa berupa novel, lagu, lukisan, artikel berita untuk menghasilkan konten baru yang tampak orisinal. Dan parahnya, perusahaan AI melakukan ini secara masif untuk keuntungan komersial tanpa kompensasi kepada pencipta asli yang berbeda dengan penggunaan wajar (fair use[6]) untuk penelitian atau pendidikan.
Contoh nyata adalah tren viral AI yang meniru gaya visual Studio Ghibli[8]. Hanya dalam satu jam setelah tren ini merebak, OpenAI mencatat satu juta pengguna baru. Betapa cepat dan masif AI dapat meniru hasil kerja budaya yang diciptakan selama puluhan tahun, tanpa seizin penciptanya dan kompensasi sedikit pun.
AI tidak hanya meniru karya, tetapi juga meniru gaya. Di sinilah letak problematika hukum: gaya bukanlah ekspresi yang dilindungi oleh hak cipta, namun justru menjadi celah yang dimanfaatkan AI.
Ancaman seniman
Para seniman merasakan ancaman eksistensial. Ketika AI dapat menciptakan musik mirip grup band Coldplay atau novel bergaya J.K Rowling dalam hitungan detik, nilai karya asli tereduksi.
Lebih memprihatinkan, ketika AI menghasilkan karya berdasarkan peniruan gaya seniman tertentu, penghasilan pekerja kreatif terancam anjlok. Industri kreatif Inggris menyumbang 125 miliar Euro (Rp2.323 triliun) per tahun[9] pada ekonomi–tetapi seluruh fondasi ekonomi ini goyah jika AI dibiarkan “mencuri” konten tanpa batasan.
Selain itu, AI juga menciptakan ketimpangan ekonomi dalam industri kreatif yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kemampuan memproduksi konten dalam jumlah masif, AI secara sistematis menurunkan nilai ekonomi karya seni.
Seorang musisi bisa menghabiskan berbulan-bulan menciptakan album, sementara AI dapat menghasilkan ratusan ragam lagu dengan gaya serupa hanya hitungan jam.
Disparitas produktivitas ini bukan hanya mengancam mata pencaharian, tetapi juga mendistorsi seluruh struktur penghargaan dalam industri kreatif. Ketika kuantitas menenggelamkan kualitas, karya-karya bernilai tinggi berisiko tenggelam dalam lautan konten AI yang generik namun fungsional.
Mereduksi kreativitas
Dulu, kamera fotografi dianggap ancaman bagi seni lukis. Namun, alih-alih menghancurkan, fotografi justru mendorong seni lukis ke arah baru, lahirnya impresionisme, ekspresionisme, dan abstraksi. Teknologi sebelumnya menjadi alat bagi seniman, bukan pesaing yang meniru dan menggantikan mereka.
AI berbeda secara fundamental. Ia tidak sekadar meniru, tetapi “memahami” dan mereproduksi esensi kreatif manusia. AI dapat meniru cara Rembrandt menggunakan cahaya, gaya penceritaan Pramoedya Ananta Toer, atau retorika Sukarno, tanpa kredit atau kompensasi.
Secara hukum, gaya tidak dilindungi hak cipta, tetapi ekspresi spesifik dilindungi. AI mengaburkan batas ini dengan mengekstraksi nilai dari karya seniman.
Berbeda dari teknologi sebelumnya yang mendukung kreativitas manusia, AI memiliki potensi untuk tidak hanya membantu, tetapi juga menggantikan peran manusia dalam proses kreatif.
Kamera tetap membutuhkan fotografer untuk mengambil gambar, dan perangkat lunak desain masih memerlukan visi kreatif manusia untuk menghasilkan karya. Namun, AI dapat menciptakan karya secara mandiri, bahkan hanya dengan mengandalkan input sederhana seperti prompt dari pengguna.
Meskipun AI membutuhkan manusia untuk memberikan arahan, kemampuannya menghasilkan karya yang kompleks secara otomatis menimbulkan kekhawatiran baru. Tanpa regulasi yang jelas, kita berisiko melihat kreativitas manusia terdegradasi, sementara perusahaan teknologi meraup keuntungan dari hasil kreasi seniman tanpa pengakuan yang layak.
Perlu regulasi, bukan larangan
Ketimbang melarang AI dalam ruang kreatif, regulasi harus fokus pada keadilan, transparansi, dan kompensasi. Model opt-in, di mana perusahaan AI memerlukan izin eksplisit untuk melatih model dengan karya berhak cipta, jauh lebih etis dibanding pendekatan opt-out. Seperti sistem royalti musik, lisensi kolektif bisa menjadi jembatan agar seniman tetap punya kontrol dan memperoleh imbal hasil dari karya mereka.
WIPO menyoroti bahwa pelatihan AI kerap menggunakan data yang tidak jelas status hukum dan validasinya[12]. Hal tersebut mencakup karya berhak cipta, data pribadi, hingga konten ilegal. Tanpa keterbukaan soal data pelatihan, mustahil membangun kepercayaan. Oleh karena itu, transparansi atas sumber data dan mekanisme perlindungan hak cipta harus menjadi mandat regulasi, bukan sekadar imbauan.
Regulasi juga perlu membedakan penggunaan komersial dan nonkomersial. Untuk riset dan pendidikan, akses bisa dibuat lebih terbuka. Namun, aplikasi komersial wajib tunduk pada pengaturan ketat, termasuk kewajiban untuk menyimpan catatan pelatihan AI, seperti disarankan dalam dokumen WIPO.
AI generatif bisa menghasilkan karya menyerupai manusia. Namun tanpa aturan yang jelas, kekuatan ini bisa berbalik menjadi ancaman. Seperti kamera yang dulunya menimbulkan kegelisahan seniman, AI pun harus direspons dengan regulasi adaptif, bukan kepanikan.
Regulasi yang berpihak pada seniman, disertai edukasi soal hak digital, adalah fondasi agar AI dan kreativitas manusia dapat berkembang berdampingan, bukan saling menggantikan.
References
- ^ berencana mengubah undang-undang hak cipta (www.ukmusic.org)
- ^ ini tentunya berdampak pada berkurangnya peluang komisi ilustrator dan desainer (umsida.ac.id)
- ^ Perusahaan beralih ke AI untuk iklan, menggantikan seniman, model, dan fotografer (www.dw.com)
- ^ AI tidak diakui memiliki kedudukan hukum yang sama dengan manusia (papers.ssrn.com)
- ^ Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) (www.wipo.int)
- ^ fair use (www.forbes.com)
- ^ Nuva Frames/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ gaya visual Studio Ghibli (www.theregister.com)
- ^ Industri kreatif Inggris menyumbang 125 miliar Euro (Rp2.323 triliun) per tahun (www.gov.uk)
- ^ Stock-Asso/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ Stokkete/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ data yang tidak jelas status hukum dan validasinya (www.wipo.int)
Authors: Arif Perdana, Associate Professor in Digital Strategy and Data Science, Monash University