Asian Spectator

Men's Weekly

.

Dari NIKI hingga No Na: Indonesia punya bakat, tapi pemerintahnya tak bisa jadi ‘support system’

  • Written by Darynaufal Mulyaman, Lecturer in International Relations, Indonesian Christian University (UKI)
Dari NIKI hingga No Na: Indonesia punya bakat, tapi pemerintahnya tak bisa jadi ‘support system’

● Muncul nama-nama musisi Indonesia yang menjadi representasi baru wajah musik tanah air di kancah global.

● Mereka berhasil di tengah absennya dukungan negara.

● Pemerintah harus punya inisiatif strategis untuk memperkuat ekonomi kreatif.

Beberapa tahun terakhir, nama-nama seperti NIKI, Rich Brian, dan No Na muncul sebagai representasi baru[1] wajah musik Indonesia di kancah global. Mereka tampil di festival internasional[2], trending di platform streaming[3], dan menggandeng nama-nama besar[4] dalam kolaborasi[5] lintas negara[6].

Perlu kita garis bawahi bahwa perjalanan mereka bukanlah hasil dari program pemerintah atau dukungan institusi. Mereka merintis jalur sendiri, memanfaatkan platform seperti YouTube, SoundCloud, hingga TikTok, untuk memperkenalkan karya mereka ke dunia.

Bahkan No Na, yang kini dikenal lewat gaya musik eksperimental dengan lirik campuran bahasa, tumbuh di luar sistem. Tidak ada[7] dana riset, pelatihan resmi, atau roadmap industri kreatif yang mengiringi mereka dari awal. Mereka adalah contoh keberhasilan individu di tengah absennya dukungan struktural.

Namun, keberhasilan mereka secara tidak langsung tetap ikut mengharumkan nama Indonesia sebagai negara. Mereka akan dianggap mewakili kesuksesan Indonesia[8]mewakili kesuksesan Indonesia[9].

Padahal, peran negara sendiri bagi mereka masih dipertanyakan.

Punya bakat, tidak punya sistem

Di Indonesia, kita punya bakat, kita punya pasar, tetapi kita tidak (atau belum) punya sistem. Dan ini tidak hanya terjadi di sektor musik.

Film Jumbo yang sukses secara kritik dan komersial[10], misalnya, juga lahir di luar dukungan signifikan dari negara. Dukungan yang dimaksud termasuk bantuan pendanaan, insentif hak kekayaan intelektual, infrastruktur industri perfilman animasi yang memadai, kebijakan berbasis edukasi kemampuan animasi atau perfilman, atau fasilitasi kerja sama industri perfilman animasi.

Ilustrasi tangan memegang ponsel dengan tampilan layar putar Spotify. Kharis Ardi/Shutterstock[11]

Ini menandakan bahwa potensi kreatif[12] kita sebenarnya besar, hanya saja masih berjalan sendiri-sendiri. Dan dalam dunia yang semakin kompetitif seperti sekarang, berjalan sendiri artinya tertinggal[13].

Perlu inisiatif politik

Sepertinya ada kesalahan persepsi di level kebijakan negara. Pop culture (budaya populer) masih dianggap sebagai hiburan semata. Padahal, dalam konteks global hari ini, budaya populer bisa menjadi instrumen politik, ekonomi, bahkan diplomasi[14].

Kementerian yang mestinya jadi tulang punggung, seperti Kemenpar, Kemenekraf maupun Kemendiktisaintek, Kemenkop, Kemen-umkm, dan Kemenbud, memang sering berbicara soal pentingnya ekonomi kreatif. Namun sampai hari ini, masyarakat belum bisa melihat adanya cetak biru yang konkret.

Belum ada regulasi yang kuat, insentif yang jelas, atau infrastruktur pendukung yang memadai. Apa yang kita miliki saat ini lebih mirip kumpulan festival dan lomba musiman atau momen viral semata, ketimbang kebijakan industri.

Pemerintah Indonesia setidaknya harus menjajaki kemitraan publik-swasta dan inisiatif strategis lainnya untuk memperkuat ekonomi kreatif.

Korea Selatan bisa jadi contoh yang tepat untuk belajar bagaimana memberdayakan budaya lokal. Di sana, K-pop bukan hanya genre musik, film, game, atau sekadar genre budaya populer, tetapi juga kebijakan negara[15].

Pemerintah mereka membangun lembaga seperti Korea Creative Content Agency (KOCCA)[16], menyusun strategi ekspor budaya, hingga menyediakan dana untuk produksi dan promosi global. Musik, film, dan drama jadi bagian dari diplomasi.

Hasilnya, produk budaya Korea kini bukan hanya dikonsumsi, tapi juga dijadikan gaya hidup oleh jutaan orang di seluruh dunia.

Seharusnya pemerintah Indonesia setidaknya punya inisiatif politik untuk fokus pada penciptaan ekosistem yang mendukung industri kreatif melalui infrastruktur, pendanaan, sektor penelitian dan pengembangan, serta dukungan hukum dan kebijakan.

Tampilan close-up poster film animasi Jumbo di bioskop dengan latar belakang yang blur. Desain konsep fotografi seni. awstoys/Shutterstock[17]

Negara harus serius

Jika serius, Indonesia bisa punya “Indo-pop” yang benar-benar terstruktur. Bukan hanya sebagai istilah, tapi sebagai ekosistem. Bukan hanya musisi, tapi juga penulis lagu, produser, videografer, manajer tur, hingga pelaku ekonomi kreatif lainnya bisa mendapatkan ruang tumbuh.

Kita bisa menjadikan budaya sebagai sektor unggulan yang menyerap tenaga kerja, menghasilkan devisa, dan membentuk citra positif Indonesia di mata dunia. Indonesia dapat membentuk genre budaya populernya sendiri.

Namun untuk itu, Indonesia perlu mengubah cara pandang. Negara tidak boleh hanya menjadi penonton dari kesuksesan kaum muda ini dan mengambil kreditnya untuk kepentingan pribadi pejabatnya. Negara harus menjadi fasilitator yang membangun jalan, menyediakan bahan bakar, dan memberi arah.

Indonesia perlu yakin dan percaya bahwa budaya adalah bagian dari pembangunan. Jika hari ini kita membiarkan Jumbo, NIKI, Rich Brian, dan No Na serta potensi lainnya bergerak sendiri, mungkin esok hari, kita akan kehilangan generasi berikutnya yang punya potensi serupa, tetapi tidak punya keberuntungan yang sama.

References

  1. ^ representasi baru (www.detik.com)
  2. ^ tampil di festival internasional (www.cnnindonesia.com)
  3. ^ trending di platform streaming (www.insertlive.com)
  4. ^ menggandeng nama-nama besar (twntythree.com)
  5. ^ kolaborasi (www.tempo.co)
  6. ^ lintas negara (www.merahputih.com)
  7. ^ Tidak ada (www.liputan6.com)
  8. ^ mewakili kesuksesan Indonesia (nasional.kompas.com)
  9. ^ mewakili kesuksesan Indonesia (nasional.kompas.com)
  10. ^ sukses secara kritik dan komersial (industri.kontan.co.id)
  11. ^ Kharis Ardi/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  12. ^ potensi kreatif (www.kompas.id)
  13. ^ berjalan sendiri artinya tertinggal (sciencebusiness.net)
  14. ^ instrumen politik, ekonomi, bahkan diplomasi (repository.uph.edu)
  15. ^ kebijakan negara (www.aa.com.tr)
  16. ^ Korea Creative Content Agency (KOCCA) (www.kocca.kr)
  17. ^ awstoys/Shutterstock (www.shutterstock.com)

Authors: Darynaufal Mulyaman, Lecturer in International Relations, Indonesian Christian University (UKI)

Read more https://theconversation.com/dari-niki-hingga-no-na-indonesia-punya-bakat-tapi-pemerintahnya-tak-bisa-jadi-support-system-256622

Magazine

Dari NIKI hingga No Na: Indonesia punya bakat, tapi pemerintahnya tak bisa jadi ‘support system’

Ilustrasi seperangkat alat musik modern untuk latihan band musik di sebuah studio.Ari_Achmad Rizal/Shutterstock● Muncul nama-nama musisi Indonesia yang menjadi representasi baru wajah musik tana...

AI bisa mengancam seniman dan melanggar hak cipta: Perlu diregulasi, bukan dilarang

Ilustrasi tulisan AI vs Seni menunjukkan konsep Kecerdasan Buatan yang menciptakan konten generatif berdasarkan seni yang dibuat oleh manusia. faithie/Shutterstock● Kehadiran AI akan berdampak p...

Anak aktif akses internet: Pentingnya mengukur ‘kedewasaan digital’ anak

Ilustrasi anak menggunakan internetRon Lach/Pexels, CC BY-NCTeknologi tak lagi bisa dilepaskan dari kehidupan kita. Anak-anak zaman sekarang telah menjadi “warga asli” dunia digital alias ...