Asian Spectator

Men's Weekly

.

Refleksi film Jumbo: Apresiasi perlu, tenggelam dalam euforia jangan

  • Written by Lukas Deni Setiawan, Dosen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Refleksi film Jumbo: Apresiasi perlu, tenggelam dalam euforia jangan

● Meskipun sukses secara komersial, Jumbo menimbulkan kekhawatiran soal kesesuaian konten untuk penonton anak.

● Klasifikasi usia “semua umur” untuk film ini kurang pas.

● Perlu keseimbangan antara keberhasilan bisnis dan kedalaman narasi yang relevan serta ramah anak.

Sudah nonton film Jumbo (2025)[1]?

Film animasi lokal yang satu ini berhasil menarik perhatian jutaan penonton sejak tayang perdana pada 31 Maret 2025 lalu. Dalam 17 hari pertama, Jumbo sukses meraih 4 juta penonton—menjadi film animasi terlaris se-Asia Tenggara. Saat ini, per 22 Mei 2025, posisinya nyaris mendekati rekor film terlaris Indonesia dengan total 9,8 juta penonton.[2][3]

Apresiasi positif pun mengalir deras di media sosial, baik melalui komentar maupun tagar #FilmJUMBO, #JUMBO, dan #BuzzerJUMBO; ulasan di berbagai platform seperti letterboxd[4] dan imdb[5]. Tak sedikit sineas, pelaku industri film, pemerhati anak, dan media yang menyebut kehadiran Jumbo sebagai harapan baru bangkitnya animasi Indonesia[6].

Namun, di tengah banjir apresiasi dan pujian untuk Jumbo, penting untuk tetap mengulik sisi lain dari film ini. Sebagai film yang banyak ditonton anak[7], pencapaiannya tidak berhenti pada angka dan keuntungan finansial, tapi juga mencakup isu relevansi, narasi, dan kesesuaian isi cerita dengan penonton, termasuk anak sebagai salah satu segmennya.

Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan. Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar. Kesenjangan cerita dengan realita Cerita Jumbo dibuka dengan persoalan anak-anak. Seorang anak yang dijuluki ‘Jumbo’ sering dianggap sebagai biang kekalahan timnya saat bermain. Don—nama asli Jumbo—dirisak oleh sebagian teman-temannya yang berasal dari lingkungan kurang mampu dan terancam penggusuran. Don digambarkan sebagai anak yang gemar membaca dan berasal dari keluarga berada. Don lantas ingin membuktikan dirinya dengan mengikuti pertunjukan bakat. Ia mau menampilkan sandiwara panggung yang terinspirasi dari buku dongeng peninggalan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Plot cerita berkembang di antara kondisi tersebut. Awalnya, muncul konflik seputar pertemanan atau persaingan khas anak-anak dalam lomba. Namun perlahan, muncul konflik sosial seperti penggusuran lahan pertokoan untuk pembangunan jalan. Kedua konflik tersebut terjadi di lingkungan yang sama dan melibatkan orang-orang yang saling berkaitan. Cerita menjadi semakin kompleks tatkala sesosok hantu cilik bernama Meri memasuki plot. Meri merupakan arwah gentayangan yang mencari pertolongan karena konflik penggusuran makam.
Film Jumbo mendapatkan review yang sangat baik di berbagai kanal, termasuk IMDB. Peace-loving/shutterstock[8]

Di ranah konsumsi[9], yaitu situasi di mana aktivitas menonton dan pemaknaan terhadap isi film menjadi pusat perhatian, kita bisa bertanya: apakah alur cerita yang berlapis-lapis dan konflik sosial yang kompleks berbalut nuansa horor ini cukup ramah untuk anak-anak, terutama usia sekolah dasar?

Pada salah satu pemutaran, misalnya, penulis menyaksikan seorang anak berusia 7-8 tahun tiba-tiba menjerit dan melompat dari kursinya. Ia memeluk ibu yang ada di sebelahnya sambil membenamkan wajah dan berucap lirih: “Takut … takut ….”.

Pengalaman itu terjadi saat adegan perburuan hantu hampir mencapai puncaknya. Visual yang cenderung gelap, mimik salah satu tokoh yang mengancam serta audio yang mencekam, berkombinasi membangun adegan tersebut.

Sang ibu terlihat mencoba menenangkan anak tersebut hingga ketegangannya mereda, yaitu ketika adegan perburuan hantu itu berakhir, saat musik terdengar lebih santai dan visual beranjak terang.

Ini menunjukkan bahwa tidak semua anak siap menerima tampilan audiovisual yang intens. Misalnya, adegan menakutkan dan mengancam, harus dipertimbangkan kadarnya supaya anak-anak TK dan SD tidak terkejut dan tercekam dalam waktu yang lama. Jadi, penting melihat lebih detail sejauh mana konten film benar-benar sesuai dengan usia sasaran.

Penonton anak lebih sesuai[10] disuguhi kisah dengan gagasan, relasi, dan bahasa yang tidak kompleks; protagonisnya adalah anak-anak; dan mengandung pelajaran moral. Misalnya seperti serial Desa Timun[11], Serdadu Apel Emas[12], Ndogmu & Ndogku[13], Boncengan[14], Gazebo[15], dan sebagainya[16].

Sistem rating kurang sesuai

Film Jumbo dimasukkan dalam kategori semua umur (SU) oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Dengan kategori ini,[17] berarti Jumbo dianggap layak untuk ditonton di semua usia.

Namun, menurut kami, film ini lebih cocok masuk di kategori Bimbingan Orang Tua (parental guidance[18]) karena ceritanya cukup kompleks dan memuat beberapa adegan yang memerlukan pendampingan orang dewasa untuk memahaminya. Sayangnya, sistem klasifikasi film kita[19] tidak mengakomodasi kategori tersebut.

Film ini memunculkan banyak pertanyaan bagi anak, misalnya: (1) Alat apa itu yang dipakai untuk menangkap hantu? Mengapa radio dipakai untuk menangkap hantu? (2) Mengapa Don bisa berbicara dengan orang tuanya yang sudah meninggal? (3) Apa itu penggusuran? Mengapa mereka digusur? Kenapa kepala desanya menjadi orang jahat?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tentu membuka ruang diskusi yang bagus, selama ada pendamping orang dewasa yang ikut menonton dan siap menjawab beragam lontaran pertanyaan dari sang anak dengan bijak. Artinya, kategori Bimbingan Orang Tua lebih tepat untuk film ini.

Kritik itu perlu

Film Jumbo memang hadir persis saat dibutuhkan, di tengah kelangkaan tontonan anak[20] di negeri ini. Terlebih, sudah puluhan tahun tontonan animasi dibanjiri produk Amerika, Jepang, termasuk Upin-Ipin-nya negeri jiran Malaysia.

Dari kacamata bisnis, kelangkaan ini menjanjikan keuntungan besar bagi investor. Apalagi, talenta lokal di bidang animasi bisa dibilang cukup mumpuni[21] dan resilien[22]. Pasar dalam negeri pun menjanjikan[23].

Dengan asumsi pendapatan dari tiap tiket bioskop adalah Rp14 ribu[24], maka pendapatan kotor film Jumbo hingga akhir April mencapai lebih dari Rp390 miliar.

Namun, jika kesuksesan finansial menjadi satu-satunya ukuran, maka aspek kualitas konten bisa tergeser. Artinya, kebanggaan “ideologis” (atau euforia) atas produk dalam negeri harus dibarengi dengan tanggung jawab naratif, baik secara ekonomi, politik, dan budaya.

Kritik terhadap Jumbo bukan untuk mengecilkan pencapaiannya, melainkan untuk memperluas perspektif. Jumlah penonton memang patut diapresiasi, tapi bukan segalanya. Diskursus ini diharapkan membuka jalan bagi kemunculan film-film animasi selanjutnya dengan cerita-cerita yang lebih relevan, terutama bagi penonton anak-anak.

Read more: Film Jumbo dan realitas 'bullying' di Indonesia[25]

References

  1. ^ Jumbo (2025) (www.imdb.com)
  2. ^ film animasi terlaris se-Asia Tenggara (www.tempo.co)
  3. ^ film terlaris Indonesia dengan total 9,8 juta penonton. (filmindonesia.or.id)
  4. ^ letterboxd (letterboxd.com)
  5. ^ imdb (www.imdb.com)
  6. ^ harapan baru bangkitnya animasi Indonesia (www.tempo.co)
  7. ^ banyak ditonton anak (lifestyle.kompas.com)
  8. ^ Peace-loving/shutterstock (www.shutterstock.com)
  9. ^ ranah konsumsi (boutique.gestiondesarts.hec.ca)
  10. ^ lebih sesuai (journal.uin-alauddin.ac.id)
  11. ^ Desa Timun (indonesiana.tv)
  12. ^ Serdadu Apel Emas (indonesiana.tv)
  13. ^ Ndogmu & Ndogku (indonesiana.tv)
  14. ^ Boncengan (youtu.be)
  15. ^ Gazebo (youtu.be)
  16. ^ dan sebagainya (childrenandmedia.org.au)
  17. ^ kategori ini, (www.bbfc.co.uk)
  18. ^ parental guidance (www.motionpictures.org)
  19. ^ sistem klasifikasi film kita (lsf.go.id)
  20. ^ kelangkaan tontonan anak (theconversation.com)
  21. ^ mumpuni (tirto.id)
  22. ^ resilien (ainaki.or.id)
  23. ^ menjanjikan (theconversation.com)
  24. ^ Rp14 ribu (filmindonesia.or.id)
  25. ^ Film Jumbo dan realitas 'bullying' di Indonesia (theconversation.com)

Authors: Lukas Deni Setiawan, Dosen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/refleksi-film-jumbo-apresiasi-perlu-tenggelam-dalam-euforia-jangan-255806

Magazine

Akibat stigma terhadap LGBTQ+, perempuan menjadi korban pernikahan ‘kamuflase’

(Daniid/shutterstock)● Kuatnya stigma terhadap LGBTQ+ memicu pernikahan tidak jujur dan membuat perempuan menjadi korban.● Perempuan berisiko mengalami beban mental dari pasangan, keluarga...

Pasanganmu percaya hoaks dan teori konspirasi? Ini 5 tip untuk menghadapinya

The current socio-political environment has created a context where conspiracy narratives about COVID-19, vaccines, election fraud and other misinformation appear to be flourishing everywhere.(Shutter...

Riset: Bagaimana melibatkan perempuan muda secara bermakna dalam kegiatan pemberdayaan?

Sulit, Kak, menyampaikan apa yang kami sebenarnya rasakan. Ketika ada sesi pertemuan untuk membahas masalah, sumber masalahnya juga ada di ruang yang sama. Jadi, kami pun sungkan menyampaikan apa yang...