Asian Spectator

Men's Weekly

.

Riset: Bagaimana melibatkan perempuan muda secara bermakna dalam kegiatan pemberdayaan?

  • Written by Annisa R. Beta, Senior Lecturer in Cultural Studies, School of Culture and Communication, Faculty of Arts, The University of Melbourne
Pemberdayaan perempuan muda

Sulit, Kak, menyampaikan apa yang kami sebenarnya rasakan. Ketika ada sesi pertemuan untuk membahas masalah, sumber masalahnya juga ada di ruang yang sama. Jadi, kami pun sungkan menyampaikan apa yang ada di pikiran kami sebenarnya.

Demikian ujar salah satu perempuan muda yang menjadi kolaborator penelitian kami.

Kata-kata ini disampaikan di salah satu lokakarya penelitian yang kami jalankan bersama 60 perempuan muda berusia 18-24 tahun yang berdomisili di Jadebotabek, Yogyakarta, dan Lombok.

Lebih dari satu tahun (2023-2024), kami bekerja sama dengan perempuan muda yang memiliki pengalaman lama terlibat dalam gerakan akar rumput dan program pemberdayaan gender. Banyak dari mereka telah bertahun-tahun mengorganisir komunitas digital, aksi kolektif, dan kegiatan edukasi bagi sesama perempuan muda.

Melalui diskusi, diary digital, wawancara mendalam, serta analisis tematik yang refleksif[1], para kolaborator muda kami membagikan refleksi personal tentang makna dan pengalaman mereka terkait pemberdayaan, yang dipertajam melalui dialog aktif di lokakarya. Kedekatan dan rasa percaya (rapport) pun perlahan tumbuh.

Perempuan muda yang terlibat dalam penelitian ini adalah pemimpin (young leaders) yang pengalamannya selayaknya didengarkan dan dimaknai dengan serius. Sayangnya, mereka belum sepenuhnya didengarkan, dipahami, dan diberikan ruang aman untuk berbicara.

Perspektif biner dalam pelibatan perempuan muda

Memang, sudah banyak organisasi masyarakat sipil (OMS), organisasi nirlaba (non-profit), dan berbagai yayasan yang beritikad baik mulai melibatkan perempuan muda secara lebih bermakna. Namun, berdasarkan diskusi kami, perubahan pelibatan ini cenderung drastis–menuntut mereka untuk cepat berdaya dan mampu melakukan banyak hal demi menjawab setiap tantangan yang terjadi.

Perempuan muda seringkali dilibatkan dengan banyak aksi dan advokasi, tetapi kesiapan mereka secara personal tidak dipertimbangkan. Pada akhirnya, mereka cenderung ‘diarahkan’ oleh orang-orang dewasa.

Jika sebelumnya perempuan muda dipandang sebagai kelompok rentan yang membutuhkan bantuan dalam menghadapi berbagai masalah–seperti perkawinan anak, terbatasnya akses pendidikan, dan tingginya risiko kekerasan–kini semakin banyak pendekatan yang justru menekankan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan sendiri dan memimpin komunitasnya.

Dua perspektif pelibatan yang jauh berbeda ini disebut oleh Anita Harris, salah satu pemikir utama di bidang kajian anak perempuan, sebagai pendekatan ‘at-risk’ girls (anak perempuan berisiko) dan ‘can-do’ girls (anak perempuan serba bisa)[2].

Sayangnya, perubahan perspektif ini cenderung berasumsi bahwa perempuan muda dengan latar belakang yang berbeda dapat terlibat dalam model program yang sama, tanpa mengkaji terlebih dahulu pengalaman hidup mereka. Tidak jarang, orang dewasa yang memimpin program-program penelitian atau intervensi tersebut lebih ingin mendahulukan dampak yang terkesan positif di laporan kegiatan dan penelitian daripada benar-benar mencoba memahami kebutuhan perempuan muda.

Hasil wawancara dan diskusi dengan kolaborator muda kami memperlihatkan bahwa keterlibatan mereka cenderung dianggap hanya untuk memenuhi checklist semata.

Salah satu kolaborator mengatakan bahwa manajer program lebih banyak tertarik dengan kisah sukses daripada mendengarkan tantangan dan kesulitan melakukan program. Kesan positif dari kisah sukses cenderung menekankan bahwa anak perempuan atau perempuan muda yang terlibat sudah lebih berdaya, berani berbicara, dan tidak takut melawan norma sosial.

Relasi kuasa dan ruang aman

Pemberdayaan perempuan muda
Peserta berbagi ide dalam lokakarya terkait pemberdayaan perempuan muda. Annisa R. Beta, CC BY[3]

Melibatkan perempuan muda secara bermakna harus dimulai dari proses awal penelitian, seperti rekrutmen. Dalam rekrutmen peserta penelitian ini, sejak awal asisten peneliti menekankan bahwa mereka boleh menerima atau menolak untuk terlibat dalam penelitian.

Meskipun ini terkesan biasa saja, banyak penelitian yang melibatkan orang muda cenderung bersifat kurang terbuka dan memberikan kesan bahwa penelitian bersifat wajib diikuti karena mereka sudah ‘terpilih’. Misalnya, peneliti datang dengan segala sesuatu yang telah diputuskan sebelumnya dan langsung meminta orang muda untuk menandatangani persetujuan penelitian.

Ada pula rekrutmen yang diperoleh dari sekolah atau kampus yang bersifat penunjukan. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan bahwa orang muda adalah individu dengan agensi yang kompeten.[4]

Kesibukan sekolah, kuliah atau bekerja memang menjadi tantangan terbesar dalam proses rekrutmen. Namun, penting sekali untuk melihat perempuan muda sebagai entitas yang bebas atas dirinya dan segala pendapatnya, sehingga keputusan yang diambil oleh para perempuan muda sesuai dengan keinginannya secara penuh.

Selain itu, proses penelitian sejak awal perlu dipaparkan secara rinci, termasuk hak-hak yang akan diperoleh oleh perempuan muda yang terlibat. Keterbukaan perlu dibangun sejak awal untuk memahami harapan juga kekhawatiran mereka.

Kepekaan tim peneliti terhadap relasi kuasa–hubungan dengan kekuasaan berat sebelah–juga sangat penting. Misalnya, memahami bahwa ada jarak antara orang muda dan orang dewasa dalam kerja-kerja pemberdayaan. Mengakrabkan diri, mendengarkan pengalaman, dan berempati adalah upaya yang dapat dilakukan untuk membangun rasa percaya.

Dalam hal ini, orang dewasa tidak menempatkan dirinya sebagai sosok yang paling tahu, tetapi ingin belajar dan mendengarkan pengalaman. Membangun kedekatan untuk berbagi pengalaman akan membuat perempuan muda merasa tidak sendiri dan tidak berputus dalam mendorong agenda bersama.

Selain itu, menciptakan ruang aman untuk berdiskusi dan menghargai privasi adalah kunci keberhasilan dalam proses bekerja sama dengan para perempuan muda yang terlibat dalam penelitian ini. Ruang aman bukanlah ruang yang sekadar dicap “aman”, namun dibangun dari kedekatan, kepercayaan, dan kenyamanan tim peneliti bersama kolaborator.

Ruang ini harus terbuka terhadap kegelisahan perempuan muda yang terlibat. Sebagai contoh, dalam penelitian ini, ruang aman yang kami bangun bersama berhasil memberikan perempuan muda kenyamanan untuk berbicara lebih terbuka terkait konteks budaya lokal dan stigma terkait orang muda yang mereka alami.

Ruang aman juga perlu memberikan kesempatan terbuka untuk benturan opini dan juga kritik. Mereka juga sebenarnya berharap ada self-assessment sebelum program pemberdayaan perempuan dijalankan agar berdampak.

Penciptaan ruang aman untuk berdiskusi bersama ternyata juga menyadarkan kolaborator muda bahwa tidak banyak komunitas perempuan muda di lingkungannya.

Keberlanjutan

Dari setidaknya kepekaan terhadap relasi kuasa dan penciptaan ruang aman yang bermakna, jaringan (networking) dan persahabatan yang terjalin antara perempuan muda yang terlibat setelah tim peneliti selesai melakukan pekerjaan lapangan (fieldwork) menjadi ruang aman dengan lini masa yang jauh lebih panjang daripada masa proyek penelitian.

Perempuan muda yang terlibat selalu bisa kembali untuk saling menguatkan dan merawat advokasi. Seperti ujaran salah satu kolaborator kami:

Kita akan menjadi lentera yang menerangi sekeliling, bukan lilin yang menerangi sekeliling dengan membakar dirinya.

Bekerja sama dengan kolaborator muda artinya berkomitmen untuk menghargai dan mendengarkan secara penuh suara mereka, dan memberikan ruang untuk perempuan muda tumbuh menjadi diri mereka sendiri.

Orang-orang dewasa dalam penelitian perlu menciptakan ruang aman yang seringkali tidak ditawarkan oleh masyarakat kepada orang muda. Peneliti dewasa perlu semakin peka untuk mengerti dan tidak memaksakan kehendak agar proses kolaborasi dapat terbentuk dengan baik dan bermakna.

Authors: Annisa R. Beta, Senior Lecturer in Cultural Studies, School of Culture and Communication, Faculty of Arts, The University of Melbourne

Read more https://theconversation.com/riset-bagaimana-melibatkan-perempuan-muda-secara-bermakna-dalam-kegiatan-pemberdayaan-251725

Magazine

Pasanganmu percaya hoaks dan teori konspirasi? Ini 5 tip untuk menghadapinya

The current socio-political environment has created a context where conspiracy narratives about COVID-19, vaccines, election fraud and other misinformation appear to be flourishing everywhere.(Shutter...

Riset: Bagaimana melibatkan perempuan muda secara bermakna dalam kegiatan pemberdayaan?

Sulit, Kak, menyampaikan apa yang kami sebenarnya rasakan. Ketika ada sesi pertemuan untuk membahas masalah, sumber masalahnya juga ada di ruang yang sama. Jadi, kami pun sungkan menyampaikan apa yang...

Refleksi film Jumbo: Apresiasi perlu, tenggelam dalam euforia jangan

● Meskipun sukses secara komersial, Jumbo menimbulkan kekhawatiran soal kesesuaian konten untuk penonton anak.● Klasifikasi usia “semua umur” untuk film ini kurang pas.● ...