Akibat stigma terhadap LGBTQ+, perempuan menjadi korban pernikahan ‘kamuflase’
- Written by Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

● Kuatnya stigma terhadap LGBTQ+ memicu pernikahan tidak jujur dan membuat perempuan menjadi korban.
● Perempuan berisiko mengalami beban mental dari pasangan, keluarga, dan lingkungan sekitarnya.
● Indonesia memerlukan regulasi untuk melindungi perempuan, serta pekerjaan rumah untuk meredam stigma terhadap LGBTQ+.
Fenomena pernikahan individu LGBTQ+ untuk menutupi orientasi seksual mereka semakin banyak disorot. Kasus-kasus ini terutama melibatkan laki-laki homoseksual yang menikahi perempuan heteroseksual tanpa memberikan informasi yang jujur mengenai identitas seksual mereka.
Misalnya, kisah selebgram Meylisa Zaara. Pada Juli 2023[1] lalu ia mengungkapkan bahwa suaminya ternyata seorang gay. Kasus serupa dialami selebgram Nessa Salsa, yang membagikan cerita pahitnya ke media sosial pada September 2024 lalu[2].
Banyak perempuan baru menyadari situasi ini setelah menikah, sering kali melalui tanda-tanda seperti minimnya ketertarikan fisik atau emosional dari suami mereka. Ketidaktahuan ini membuat perempuan berada dalam posisi yang sangat rentan secara emosional, sosial, dan psikologis.
Artikel ini akan membahas latar belakang fenomena ini, dampaknya terhadap perempuan yang menjadi korban, serta langkah-langkah yang sebaiknya mereka ambil ketika menghadapi situasi tersebut.
Latar belakang dan faktor pendorong
Dalam masyarakat konservatif, stigma terhadap kaum LGBTQ+ sangat tinggi. Tekanan sosial dan budaya membuat banyak individu LGBTQ+ merasa bahwa menikah dan memiliki anak merupakan kewajiban sosial.
Menurut survei Pew Research Center 2019[3], hanya 9% masyarakat di Indonesia yang menyatakan menerima kaum LGBTQ+ secara terbuka. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan sosial untuk mematuhi norma-norma heteronormatif (mengutamakan heteroseksual) yang masih mendominasi banyak budaya di dunia.
Alhasil, pernikahan sering dianggap sebagai cara untuk “memperbaiki” citra mereka di mata keluarga dan masyarakat.
Selain itu, ketakutan akan diskriminasi menjadi alasan utama lainnya. Laporan Human Rights Watch tahun 2022[5] menunjukkan bahwa individu LGBTQ+ di negara-negara konservatif mengalami diskriminasi dalam pekerjaan atau lingkungan sosial. Pernikahan dianggap sebagai “tameng” untuk melindungi diri dari situasi ini.
Beberapa individu LGBTQ+ juga mungkin masih dalam proses menerima orientasi seksual mereka sendiri. Dalam kebingungan ini, mereka mencoba untuk hidup sesuai norma masyarakat dengan menikahi perempuan heteroseksual sebagai upaya untuk menutupi orientasi seksual mereka yang sebenarnya.
Dampak bagi perempuan yang menjadi korban
Perempuan yang terjebak dalam pernikahan ini sering mengalami berbagai dampak negatif.
Menyadari bahwa pasangan mereka menyembunyikan sesuatu yang mendasar (seperti orientasi seksual) dapat memunculkan perasaan dikhianati dan kehilangan kepercayaan terhadap ikatan pernikahan[6]. Mereka sering kali merasa tertipu dan dimanfaatkan dalam hubungan yang seharusnya dibangun atas dasar kejujuran dan saling menghargai.
Ketegangan emosional akibat hubungan yang tidak harmonis dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi, terutama jika perempuan merasa terisolasi tanpa dukungan sosial.
Bagi sebagian perempuan, pengalaman ini meninggalkan luka psikologis mendalam yang sulit disembuhkan[7]. Ini turut memengaruhi hubungan mereka di masa mendatang dan pandangan mereka terhadap pernikahan secara keseluruhan.
Read more: Pelemahan perlindungan terhadap perempuan di era reformasi dalam agenda RUU PKS dan RKUHP[8]
Minimnya ketertarikan dari pasangan juga dapat membuat perempuan merasa tidak diinginkan atau tidak cukup menarik[9], sehingga dapat merusak kepercayaan diri mereka. Hasil pengolahan data Indonesia Family Life Survey[10] yang saya lakukan (tidak dipublikasi), mendapati bahwa perempuan yang merasa dikhianati dalam pernikahan memiliki kemungkinan 1,5 kali lebih besar untuk mengalami trauma emosional dibandingkan mereka yang tidak.
Trauma yang dialami perempuan akibat pernikahan seperti ini sering kali bersifat kompleks. Mereka tidak hanya menghadapi kenyataan bahwa pasangan mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda, tetapi juga tekanan sosial untuk mempertahankan pernikahan, terutama di lingkungan yang masih menganggap perceraian sebagai hal tabu.
Sementara itu, apabila ingin mengakhiri pernikahan, mereka juga kemungkinan menghadapi tantangan hukum. Ini terutama dalam sistem hukum yang tidak secara eksplisit mengakui pernikahan yang didasari oleh penipuan orientasi seksual sebagai alasan perceraian yang sah[11].
Langkah-langkah bagi perempuan
Perempuan yang menghadapi situasi ini perlu terlebih dahulu mengenali dan menerima kenyataan bahwa pasangan mereka mungkin telah menyembunyikan sesuatu yang mendasar. Jika terdapat tanda-tanda yang mencurigakan, penting bagi perempuan untuk meminta klarifikasi dari pasangan dengan komunikasi terbuka.
Namun, jika komunikasi tidak menghasilkan kejelasan atau justru memperburuk situasi, perempuan perlu mencari dukungan dari profesional seperti psikolog atau konselor.
Mencari dukungan hukum juga sangat saya sarankan. Konsultasi dengan pengacara dapat memberikan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dalam pernikahan tersebut, termasuk kemungkinan perceraian dan perlindungan hukumnya.
Dalam beberapa kasus, perempuan yang menghadapi tekanan dari keluarga atau lingkungan mungkin juga memerlukan dukungan dari lembaga perlindungan perempuan atau komunitas yang peduli terhadap isu ini. Mengakses bantuan dari psikolog atau konselor juga bisa membantu mereka memproses perasaan dan mengembangkan strategi untuk mengatasi situasi tersebut.
Meningkatkan kesadaran dan perlindungan bagi korban
Fenomena ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran mengenai transparansi dalam pernikahan. Pendidikan pranikah sebaiknya mencakup aspek komunikasi dan transparansi agar calon pasangan dapat lebih terbuka mengenai identitas dan ekspektasi mereka.
Selain itu, pemerintah dan organisasi sosial perlu membuka akses mudah ke layanan konseling dan hukum. Tujuannya agar perempuan yang mengalami situasi ini tidak kesulitan memperoleh bantuan.
Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi yang lebih jelas mengenai hak-hak perempuan dalam pernikahan. Harapannya, mereka memiliki jalan keluar yang aman jika berada dalam situasi ini.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi perempuan yang menjadi korban, termasuk dengan menghilangkan stigma terhadap mereka yang memilih untuk bercerai akibat situasi ini.
Terakhir, persoalan ini turut berakar dari kuatnya stigma dan persekusi masyarakat kita terhadap LGBTQ+. Upaya bersama untuk meredam hal tersebut dan menghargai orientasi seksual setiap individu semestinya menjadi pekerjaan rumah yang juga perlu kita tuntaskan.
References
- ^ Pada Juli 2023 (www.viva.co.id)
- ^ Nessa Salsa, yang membagikan cerita pahitnya ke media sosial pada September 2024 lalu (wolipop.detik.com)
- ^ Pew Research Center 2019 (www.thejakartapost.com)
- ^ (Billy Hanggara/Shutterstock) (www.shutterstock.com)
- ^ Human Rights Watch tahun 2022 (www.hrw.org)
- ^ dikhianati dan kehilangan kepercayaan terhadap ikatan pernikahan (www.taylorfrancis.com)
- ^ luka psikologis mendalam yang sulit disembuhkan (www.taylorfrancis.com)
- ^ Pelemahan perlindungan terhadap perempuan di era reformasi dalam agenda RUU PKS dan RKUHP (theconversation.com)
- ^ tidak diinginkan atau tidak cukup menarik (www.taylorfrancis.com)
- ^ Indonesia Family Life Survey (www.rand.org)
- ^ sistem hukum yang tidak secara eksplisit mengakui pernikahan yang didasari oleh penipuan orientasi seksual sebagai alasan perceraian yang sah (www.hukumonline.com)
- ^ (Tzido Sun/Shutterstock) (www.shutterstock.com)
Authors: Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)