Pertemanan itu penting: bagaimana kalau kita enggak punya teman sama sekali?
- Written by Laura Eramian, Associate Professor, Department of Sociology and Social Anthropology, Dalhousie University

Semua nama partisipan dalam artikel ini merupakan nama samaran.
Bagaimana jadinya jika kita tidak mempunyai banyak teman atau tidak memiliki teman sama sekali—meski hubungan sosial adalah kunci hidup berarti? Ini menjadi pertanyaan utama dalam penelitian terbaru kami[1] tentang pertemanan modern di kota Kanada Atlantik.
Pertemanan menjadi topik yang sedang disorot banyak pihak: mulai dari jurnalis[2] sampai ahli fisika[3]. Beragam ahli menganggap bahwa memiliki koneksi sosial berupa hubungan pertemanan merupakan hal penting dalam menjalani hidup dan melawan “epidemi kesepian[4].”
Sayangnya, tak semua orang cukup beruntung untuk memiliki pertemanan yang memuaskan. Andrew, mahasiswa berusia 20-an tahun yang terlibat dalam penelitian kami, mengklaim bahwa ia tak memiliki teman. Ia bercerita:
“Aku sering merasa sedih dan kesepian. Namun, satu sisi aku juga merasakan perasaan damai karena aku cukup introverted. Aku memang ingin memiliki waktu sendirian. Aku agak kesulitan dalam mengalami masa-masa menikmati punya teman dan capek banget menghadapi teman. Dua hal itu selalu bertentangan.”
Pengalaman Andrew mewakili permasalahan mendalam yang dialami banyak orang tentang pertemanan di masa modern. Hubungan pertemanan memang diperlukan. Namun, budaya barat juga mengapresiasi kesendirian[5] dan menghargai perilaku introvert.
Pandangan terkait kesendirian ini memang memberikan justifikasi terhadap keinginan kita akan ketenangan. Namun, tetap saja pandangan tersebut tak membuat seseorang langsung baik-baik saja hidup tanpa teman. Pandangan yang bertentangan ini bisa jadi justru membuat kita bingung akan bagaimana harus mengatur pertemanan.
Menjadi orang dewasa tanpa teman
Melalui riset, kami mewawancarai 21 laki-laki dan perempuan untuk memahami pengalaman mereka menjalani hidup tanpa teman. Lebih dari setengah partisipan sedang dalam fase krisis “quarter life” alias berada pada usia 20-30an. Mereka merupakan profesional muda, pelajar, sampai pekerja upah minimum.
Beberapa partisipan memiliki hubungan keluarga, pekerjaan, atau pasangan yang sangat baik. Beberapa lainnya benar-benar terisolasi secara sosial. Namun, semua partisipan memandang bahwa kondisi tak memiliki teman merupakan sebuah masalah. Atau setidaknya, kondisi itu mereka perlu pikirkan maupun klarifikasi pada orang lain.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sendirian tidak selalu kesepian[6]. Setiap orang juga dapat memiliki pandangan yang berbeda tentang kesendirian[7].
Kami menetapkan partisipan dengan kriteria “orang-orang yang tak memiliki teman”, bukan orang-orang yang “kesepian. Kriteria ini kami tetapkan karena tidak ingin berasumsi bahwa seseorang yang tak memiliki teman pasti kesepian. Kami justru ingin memahami bagaimana mereka menjalani hidup tanpa teman.
Mengapa beberapa orang sulit untuk berteman
Partisipan penelitian kami menceritakan berbagai tantangan yang mereka alami dalam menjalin pertemanan,, sekaligus bagaimana rasanya tak memiliki teman.
Umumnya, mereka mengalami hambatan berteman karena kehilangan kontak dengan teman akibat perubahan sekolah, pekerjaan, atau berhenti menggunakan media sosial. Ada juga partisipan yang merasa kecewa oleh teman di masa lalu atau memprioritaskan hal lain selain pertemanan.
Misalnya Tim, seorang pengacara berusia pertengahan 30 tahun. Ia menjelaskan ada banyak hal yang bisa menjadi "tolak ukur” hidup yang baik. Ia memaparkan bahwa ia tak memiliki teman karena memilih mengalokasikan waktu pada karier dan keluarga.
Melissa, seorang asisten administratif di usia 20-an tahun. Ia merasa selalu berada di hubungan pertemanan yang tak berimbang karena selalu lebih banyak memberi dibanding menerima.
Andrew menjelaskan bahwa ia tak lagi punya teman di universitasnya setelah pindah tempat tinggal. Ia tak bisa menjalin pertemanan karena pembatasan kesehatan masyarakat akibat pandemi COVID-19.
Meski begitu, pandemi tak semerta-merta menciptakan hambatan pertemanan. Sebagian besar partisipan kami menyatakan bahwa mereka memang tidak memiliki teman sebelum pandemi sehingga karantina wilayah tidak memengaruhi apa pun.
Tak punya teman bukan berarti kesepian
Penelitian kami menemukan bahwa ada dua tema dominan dari para partisipan tentang perbedaan kondisi tak memiliki teman dengan kesepian. Mereka melaporkan perasaan kesepian yang intens dan merasa menderita tak memiliki teman, tetapi memunculkan kesempatan untuk menjadi mandiri dan bebas.
Kami menemukan bahwa pada dasarnya, tidak ada perbedaan mencolok antara partisipan yang mengklaim diri mereka kesepian maupun tidak. Justru mereka sering kali menyampaikan cerita yang berlawanan: merasa kesepian tanpa teman atau merasa baik-baik saja sendirian atau mengandalkan diri sendiri.
Melissa misalnya, bercerita tentang rasa kesepian mendalam yang ia alami. Namun, ia juga dengan bangga menjelaskan bagaimana ia mengandalkan dirinya sendiri untuk menghadapi segala masalah karenatak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri.
Read more: Lonely extroverts, happy hermits: why being alone isn't the same as being lonely – and why it matters[8]
Tanpa membahas level kesepian yang dirasakan partisipan, bagi partisipan yang sedang dalam fase krisis “quarter life”, mereka sering merasa malu atau dicap negatif karena tak memiliki teman. Beberapa partisipan bahkan berpikir bahwa ada yang salah pada diri mereka.
Jika kamu merasakan perasaan serupa, kamu tidak sendirian. Beberapa orang cenderung menyalahkan diri atau merasa malu karena tak memiliki teman. Namun, sebagai seorang peneliti sosial, kami percaya bahwa penyebab individu tak memiliki teman atau kesepian tak serta-merta karena pilihan individu.
Menjalin pertemanan bukanlah sekadar tantangan personal
Solusi untuk menyambung hubungan sosial tidak semudah bertanya, “kenapa orang-orang ini tidak langsung berkenalan dan berteman?”
Memang, pertemanan terlihat seperti pilihan pribadi dan dipengaruhi oleh kecocokan antarindividu. Namun, seperti hubungan sosial lainnya, pertemanan juga dapat dipengaruhi dan dibatasi oleh struktur masyarakat kita yang lebih luas[9].
Jika epidemi kesepian terjadi, kita tidak bisa semata-mata menyalahkan individu karena memilih untuk tidak punya teman atau menyalahkan media sosial atau teknologi lainnya sebagai penghambat.
Kita juga perlu melihat kondisi struktural[10] di balik hubungan pertemanan, mulai dari kurangnya infrastruktur sampai kegagalan kebijakan[11]. Kondisi struktural memerlukan solusi yang kolektif, tidak bisa diselesaikan dengan pilihan individu saja.
Pertanyaan yang lebih mendalam adalah: apakah semua orang memiliki akses untuk menjalin pertemanan? Apakah ada cukup tempat publik gratis dan inklusif yang memungkinkan orang-orang bertemu dan menjalin pertemanan? Bagaimana pengaruh jadwal kerja yang padat dan tak bisa diprediksi membuat orang dewasa-muda kesulitan memulai pertemanan[12]?
Kamu mungkin menyadari beberapa tantangan menjalin pertemanan ini dalam hidupmu sendiri dan merasa kesepian. Itu barangkali bukan karena kita tidak berusaha berteman, tetapi karena memang kondisi kita tak mendukung untuk berteman.
Jika masyarakat kita menganggap pertemanan sangat penting untuk menghalau rasa kesepian, maka kita harus melakukan lebih banyak upaya untuk menciptakan ruang dan kebijakan yang memungkinkan koneksi sosial.
References
- ^ penelitian terbaru kami (doi.org)
- ^ jurnalis (us.macmillan.com)
- ^ ahli fisika (www.harpercollins.com)
- ^ epidemi kesepian (theconversation.com)
- ^ mengapresiasi kesendirian (www.penguinrandomhouse.ca)
- ^ sendirian tidak selalu kesepian (doi.org)
- ^ pandangan yang berbeda tentang kesendirian (doi.org)
- ^ Lonely extroverts, happy hermits: why being alone isn't the same as being lonely – and why it matters (theconversation.com)
- ^ dipengaruhi dan dibatasi oleh struktur masyarakat kita yang lebih luas (theconversation.com)
- ^ kondisi struktural (doi.org)
- ^ kurangnya infrastruktur sampai kegagalan kebijakan (doi.org)
- ^ kesulitan memulai pertemanan (theconversation.com)
Authors: Laura Eramian, Associate Professor, Department of Sociology and Social Anthropology, Dalhousie University