Gagal mendamaikan: ASEAN memang dirancang bukan untuk menyelesaikan konflik regional
- Written by Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro

● Struktur ASEAN tidak dirancang untuk menangani ketegangan regional.
● Keheningan ASEAN bukan kelemahan, melainkan strategi menjaga stabilitas politik dan integrasi ekonomi elite regional.
● Perbatasan menjadi cermin paling jujur yang memperlihatkan kontradiksi struktural ASEAN.
Konflik perbatasan merupakan fenomena klasik yang terus berulang dalam politik internasional.
Hampir setiap kawasan di dunia pernah mengalaminya, meski masing-masing punya cara penanganan yang berbeda.
Uni Eropa, misalnya, memiliki perangkat hukum Court of Justice of the European Union (CJEU)[1], yang memungkinkan putusan pengadilan mengikat bagi negara anggotanya.
Sementara Uni Afrika mempunyai Peace and Security Council[2] dengan mandat resmi untuk melakukan mediasi hingga intervensi terbatas.
Di Asia Selatan, konflik India–Pakistan memang tidak pernah terselesaikan. Namun ketegangan tetap terkendali terutama melalui prinsip deterensi nuklir. Mekanisme ini bukan berasal dari lembaga supranasional, melainkan dari keseimbangan kekuatan strategis, ditopang oleh Kesepakatan Simla 1972[3] sebagai kerangka bilateral dan forum regional South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC).
Tapi ASEAN berbeda dengan itu semua. Organisasi ini berulang kali terlihat tidak mampu menyelesaikan konflik internal, terutama sengketa perbatasan.
Insiden terbaru di Ta Muen Thom, perbatasan Thailand–Kamboja, dipicu oleh ledakan ranjau[4]. ASEAN hanya merespons[5] seperti pola lama dengan seruan menahan diri, ajakan berdialog, dan pernyataan normatif yang diulang dalam berbagai pernyataan ketua saat itu.
Pertemuan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dengan pemimpin Kamboja dan Thailand, 28 Juli 2025.Konflik besar seperti sengketa kuil Preah Vihear bahkan mesti berakhir di Mahkamah Internasional, bukan mekanisme regional.
Dengan kata lain, ASEAN lebih sering mendelegasikan penyelesaian sengketa kepada pihak luar atau membiarkannya di tingkat bilateral.
Fenomena ini kerap dianggap sebagai kelemahan atau defisit kapasitas kelembagaan. Namun, jika ditilik dari perspektif Critical International Relations (CIR)[6], masalahnya jauh lebih mendasar.
ASEAN tidak dibentuk untuk menghentikan konflik
Akademisi politik internasional asal Kanada, Robert Cox, mengatakan bahwa lembaga internasional bukanlah arena netral, melainkan hasil sedimentasi sejarah[7] yang mencerminkan kepentingan sosial dan politik tertentu.
Dalam kerangka ini, ASEAN berhasil menjalankan fungsinya, yakni menjaga stabilitas regional agar selaras dengan kompromi politik dan ekonomi elite kawasan.
Sejak didirikan pada 1967[8], ASEAN beroperasi di bawah dua prinsip fundamental: non-intervensi dan konsensus. Prinsip ini ditegaskan kembali dalam ASEAN Charter[9] dan Treaty of Amity and Cooperation[10].
Secara historis, ASEAN lahir dari kebutuhan elite Asia Tenggara pasca-kolonial untuk menjamin kelangsungan rezim domestik tanpa ancaman intervensi dari luar.
Prinsip tersebut menjadikan ASEAN bukan arena transformasi yang deliberatif, melainkan forum koordinasi antarnegara untuk mengelola berbagai perbedaan di kawasan tanpa ketegangan yang terbuka.
ASEAN dapat dipahami sebagai sarana hegemoni[13] konsensual. Ia membangun kesepakatan di antara negara anggota tidak melalui transformasi radikal, tetapi melalui prosedur dan bahasa simbolik yang menyamarkan kontradiksi mendasar.
Hegemoni di sini bukan berarti ketiadaan konflik, melainkan kemampuan menyerap konflik ke dalam mekanisme untuk mempertahankan tatanan yang ada.
Karena itu, bagi ASEAN, konflik perbatasan bukanlah persoalan yang harus diselesaikan secara substantif, melainkan potensi gangguan yang harus diredam agar tidak mengganggu stabilitas.
ASEAN dan revolusi pasif
Perbatasan menjadi ruang yang memperlihatkan betapa jelasnya logika penyelesaian konflik ASEAN. Secara formal, perbatasan menjadi simbol kedaulatan negara dan legitimasi kontrol teritorial.
Namun, secara material, ia merupakan titik strategis dalam akumulasi kapital: lokasi pembangunan koridor logistik, zona ekonomi khusus, serta ruang pertemuan antara pasar domestik dan arus modal internasional.
Bagi negara, perbatasan adalah penanda eksistensi politik. Bagi elite, ia adalah simpul ekonomi yang vital. Karena itu, menyentuh isu ini berarti mempertaruhkan kompromi dasar ASEAN: stabilitas harus dijaga, konflik yang muncul harus dibekukan.
Hasilnya adalah kebuntuan kelembagaan yang dikonstruksi secara sengaja.
ASEAN tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik, tetapi untuk mengelola. Tidak pula lembaga ini hadir untuk mentransformasi, tetapi untuk menetralkan ketegangan.
Dampak dari logika ini pada akhirnya ditanggung oleh komunitas perbatasan: kehidupan mereka dimiliterisasi, perdagangan informal terganggu, dan jaringan kekerabatan lintas batas terputus. Namun, penderitaan warga perbatasan jarang masuk ke dalam pembahasan di kawasan.
Di sinilah paradoks ASEAN. Organisasi ini memproyeksikan citra stabilitas, tetapi hanya dengan membuat sebagian besar ketegangan menjadi tak terlihat.
Video dokumenter “Neraka Perbatasan” yang mengulas persoalan bisnis ilegal di Asia Tenggara. Amat sedikit perbincangan di ASEAN seputar persoalan ini, yang telah menimbulkan banyak korban.ASEAN berbicara tentang persatuan, tetapi bahasanya prosedural, bukan substantif. Ia mengklaim membangun perdamaian, tetapi definisi yang dipakai sebatas ketiadaan perang terbuka, bukan keadilan sosial atau keamanan manusia.
Dalam istilah pemikir Antonio Gramsci, ini adalah revolusi pasif[14]: sebuah tatanan yang mengintegrasikan elite tanpa mengubah relasi kekuasaan, mengubah krisis menjadi ritual diplomatik yang justru memperkuat status quo.
Kasus Thailand–Kamboja dengan jelas memperlihatkan pola ini. ASEAN bukan sekadar gagal, melainkan berfungsi sebagaimana ia dirancang: sebagai manajer stabilitas, bukan peacebuilder atau pembangun perdamaian.
Keheningan ASEAN adalah strategi, bukan kesalahan. Dengan kata lain, regionalisme Asia Tenggara terikat pada kompromi historis yang sejak awal menekankan kelangsungan rezim dan integrasi pasar, bukan solidaritas lintas negara atau perwakilan yang inklusif.
Membayangkan ulang ASEAN dalam kerangka emansipatoris (pembebasan dan persamaan hak) membutuhkan lompatan konseptual dan politik. ASEAN seharusnya tidak cukup dipahami sebagai instrumen stabilisasi rezim, tetapi harus menjadi ruang representasi dan keadilan. Ini menuntut pergeseran dari hegemoni konsensus elite menuju solidaritas warga yang melibatkan komunitas perbatasan, masyarakat sipil, dan kelompok marjinal.
Hanya dengan demikian keamanan regional dapat berarti lebih dari sekadar absennya perang antarnegara. Keamanan juga harus mencakup keadilan, representasi, dan perlindungan bagi mereka yang hidup di pinggiran kekuasaan.
References
- ^ Court of Justice of the European Union (CJEU) (european-union.europa.eu)
- ^ Peace and Security Council (au.int)
- ^ Kesepakatan Simla 1972 (bhutto.org)
- ^ ranjau (www.tempo.co)
- ^ merespons (asean.org)
- ^ Critical International Relations (CIR) (www.e-ir.info)
- ^ melainkan hasil sedimentasi sejarah (www.tandfonline.com)
- ^ pada 1967 (asean.org)
- ^ ASEAN Charter (asean.org)
- ^ Treaty of Amity and Cooperation (asean.org)
- ^ (Wikimedia/Asean.org) (commons.wikimedia.org)
- ^ CC BY (creativecommons.org)
- ^ sarana hegemoni (www.jstor.org)
- ^ revolusi pasif (bura.brunel.ac.uk)
Authors: Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro